Tuesday, January 28, 2014

Perbaiki Sistim Politik Kita

Perbaiki Sistim Politik Kita
Oleh: Ubedilah Badrun
Hiruk pikuk politik menjelang 2014 makin ramai. Sejumlah partai politik berlomba melakukan manufer politik dengan berbagai agenda politik, baik internal partai maupun agenda yang dikonsumsi untuk publik. Dari agenda pencalegan, pencitraan partai melalui sejumlah iklan di media, konvensi calon Presiden, sampai isu koalisi partai sebelum pemilu.Bahkan tak ketinggalan kampus juga ikut meramaikan hiruk pikuk itu dengan mengadakan seminar Dewan Guru Besar. Momentum 2014 nampaknya menjadi begitu sangat penting bagi perjalanan bangsa ini sehingga seluruh komponen bangsa menguras energi untuk memasuki episode sejarah baru Indonesia pasca 2014.

Dari sekian banyak hiruk pikuk menyambut 2014 itu hampir tidak ada yang mencermati sisi yang membahayakan dari sistim politik yang sedang dipraktekan. Semuanya seolah larut dalam euphora demokrasi yang saat ini berjalan. Logika stake holders politik masih meyakini bahwa jika menang pemilu semua masalah akan selesai. Dari soal dominasi asing di sektor pertambangan yang mencapai 75%, korupsi yang merajalela dengan total kerugian negara mencapai ratusan triliun, hingga utang luar negeri yang mencapai Rp.2.600 triliun dianggap akan bisa selesai setelah terpilih pemimpin baru pasca 2014. Penulis mencermati bahwa dengan sistim politik yang saat ini berjalan, pasca Pemilu 2014 diprediksi akan tetap menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Kapabilitas sistim politik saat ini sesungguhnya tidak mampu menghasilkan suatu rezim yang efektif mengatasi masalah dan mewujudkan tujuan negara. Mimpi besar mewujudkan tujuan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia itu akan tetap menjadi mimpi karena pemerintahan baru hasil pemilu 2014 tidak efektif. Dengan prediksi itu, sudah saatnya sistim politik kita harus diperbaiki.
Kapabilitas Sistim Politik Kita Lemah
Jika kita meminjam perspektif Gabriel A. Almond (1978) tentang kapabilitas sistim politik suatu negara dengan mencermati 5 kapabilitas maka Sistim politik Indonesia saat ini berada pada posisi yang lemah. Bahkan penulis memprediksi pasca pemilu 2014 juga kita akan melihat kapabilitas sistim politik yang sama. Gabriel A.Almond mengemukakan bahwa semakin mampu sistim politik merespon problem yang ada dalam suatu negara maka semakin maju sistim politik tersebut. Menurut Almond setidaknya ada 5 kapabilitas dari sistim politik yang bisa diamati, yaitu; (1) kapabilitas ekstraktif (kemampuan sistim politik mengelola sumber sumber material & manusiawi ), (2) kapabilitas regulatif (kemampuan sistim politik untuk mengendalikan perilaku warga), (3) kapabilitas distributif ( kemampuan sistim politik untuk mendistribusikan hal hal material, maupun memberi beragam peluang menguntungkan bagi warga), (4) kapabilitas simbolik (kemampuan secara simbolik untuk menunjukkan kekuatan atau eksistensi negara), (5) kapabilitas responsif ( kemampuan menanggapi input yang masuk dan memprosesnya menjadi output politik). Jika kita mencermati kapabilitas sistim politik kita dengan menggunakan perspektif tersebut maka fakta tentang dominasi asing disektor pertambangan hingga mencapai 75%, dan kurang lebih 90 % tanah dikuasai asing (AEPI, 2013) itu menunjukkan bahwa kapabilitas ekstraktif sistim politik kita lemah, sistim politik tidak mampu menghadirkan regulasi yang melindungi tanah air Indonesia dari dominasi asing. Efek lanjut dari lemahnya kapabilitas ekstraktif antara lain adalah angka kemiskinan kita yang dalam 9 tahun terakhir tidak berubah secara signifikan berada pada kisaran 12-15 %. Kapabilitas simbolik dan Kapabilitas internasional sistim politik kita juga lemah dengan menunjuk pada kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia maupun kasus sebelumnya kekalahan diplomatik wilayah Indonesia dari Malaysia. Secara ekonomi dengan merujuk data utang luar negeri Indonesia yang mencapai Rp.2.273,76 triliun (Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu,2013) juga menunjukkan lemahnya kapabilitas simbolik sistim politik kita di sektor keuangan. Kapabilitas sistim politik untuk mengendalikan perilaku warga (kapabilitas regulatif) juga nampak semakin lemah. Konflik sosial sepanjang 10 tahun terakhir ini secara kuantitatif dan kualitatif justru meningkat. Misalnya jumlah angka konflik sosial yang setiap tahun rata rata meningkat antara 5 sampai 10 kasus dengan jumlah total kasus konflik sosial pertahun rata rata mencapai antara 70 kasus sampai 80an kasus(Kemendagri, 2013), bahkan makin parah ketika konflik tersebut terjadi antara Polisi dan Tentara. Kapabilitas menanggapi input yang masuk dan memprosesnya menjadi output politik berupa undang undang (kapabilitas responsif) juga lemah, misalnya merujuk pada target program legislasi nasional (prolegnas) yang tidak tercapai seperti pada prolegnas tahun 2013 dengan target 76 RUU sampai dengan penutupan masa sidang I tahun 2013-2014 hanya 15 RUU yang sudah disyahkan. Bahkan pada periode 2009-2014 ini ada RUU yang sudah jadi Undang Undang kemudian dibatalkan oleh MK karena ada gugatan rakyat, seperti pada kasus UU Badan Hukum Pendidikan. Ini artinya kemampuan merespon input dan memprosesnya menjadi kebijakan nampak begitu lemah.

Praktek korupsi yang merajalela hingga merugikan negara mencapai kurang lebih rartusan triliun rupiah per tahun juga menunjukkan lemahnya sistim politik mencegah tumbuh suburnya parktek korupsi. Bahkan korupsi tumbuh subur dalam praktek politik. Lebih dari 60 % kepala daerah hasil pemilu yang berbiaya mahal itu tersangkut kasus korupsi. Sejumlah menteri juga tersangkut korupsi.Ratusan anggota legislatif juga tersangkut korupsi. Sistim politik saat ini berbiaya mahal hingga setiap kali pemilu biayanya mencapai 49.7 triliun (KPU & Kandidat). Caleg DPRD di tingkat daerah rata rata membutuhkan dana antara 100 sampai dengan 500 juta Rupiah, ditingkat pusat rata rata memerlukan dana 500 sampai 1,5 Milyar Rupiah, calon kepala daerah memerlukan dana antara 50 sampai 100 Milyar, untuk calon Presiden memerlukan dana antara 1 sampai 3 triliun Rupiah( Puspol Indonesia, 2013). Sistim politik yang berbiaya mahal ini telah mendorong praktek korupsi yang saat ini merajalela bahkan sampai pada jantung kekuasaan di Republik ini seperti pada kasus Bailout Bank Century dan kasus korupsi Hambalang yang merontokan Partai Demokrat sebagai partai berkuasa saat ini.
Apa Yang Harus Diperbaiki Dari Sistim Politik Kita
Fakta fakta diatas yang membuktikan lemahnya kapabilitas sistim politik kita seharusnya membuat kita miris, apalagi jika kita terus berulang melakukan kesalahan yang sama mempraktekan sistim politik yang sudah berjalan hampir 10 tahun ini dan bahkan akan terus dipakai pada pemilu 2014 nanti. Fakta fakta diatas mendorong penulis untuk ikut urun rembuk melalui tulisan ini agar sistim politik kita saat ini harus diperbaiki. Jika tidak mungkin dipakai untuk 2014 maka perbaikan sistim politik ini mungkin bisa digunakan pada pemilu berikutnya pada 2019. Bagaimana dan apa yang harus diperbaiki dari sistim politik kita?

Ada tiga pola perbaikan sistim politik kita yang mungkin bisa dilakukan. Pola Pertama, kembali menggunakan sistim politik berdasarkan UUD 1945 seperti ketika sebelum diamandemen dengan sedikit perubahan pada masa jabatan Presiden yaitu dibatasi hanya untuk 2 periode masa jabatan. Hal ini berarti hanya dilakukan semacam addendum (tambahan klausul yang terpisah tetapi secara hukum melekat) untuk pasal 7 UUD 1945. Addendum yang dimaksud adalah sebagai berikut :"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan". Dengan demikian masa jabatan Presiden menjadi terbatas hanya dua periode. Hal ini untuk menghindari absolutisme dan diktatorisme kekuasaan. Selebihnya sama dengan sistim politik pada masa sebelumnya. Sistim politik pada masa sebelumnya (Orla & Orba) adalah sistim politik yang memadukan perspektif teori politik modern dengan politik khas Indonesia.

Itulah sebabnya ada dua konsep penting dalam struktur politik kita yaitu konsep musyawarah (politik khas Indonesia) yang secara struktural berbentuk MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan konsep perwakilan/representasi (politik modern) yang secara struktural berbentuk DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sesungguhnya bisa membuat kapabilitas sistim politik terukur dan terarah karena MPR memiliki wewenang melalui musyawarah untuk menyusun Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai arah pembangunan, MPR juga yang memilih Presiden dan wakil Presiden, sekaligus juga MPR sebagai majelis tertinggi negara bisa melakukan impeachment terhadap Presiden jika Presiden melanggar konstitusi UUD 1945. Pola pertama ini juga diyakini bisa meminimalisir politik uang saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden karena pemilihan dilakukan di MPR dengan pantuan publik yang ketat dan keberadaan KPK yang kuat saat ini. Apakah pola pertama ini tidak demokratis? Tentu demokratis, karena pola pertama ini tetap menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR dari partai politik. DPR inilah yang dalam konsep trias politica sebagai lembaga legislatif membuat Undang Undang. Bagaimana dengan pemilihan anggota MPR? Untuk menjadi anggota MPR perlu diatur dalam Undang Undang tentang susunan dan kedudukan MPR dan DPR RI. Bisa saja misalnya dalam undang-undang tersebut dimungkinkah anggota DPR adalah juga anggota MPR dan anggota MPR juga bisa berasal dari utusan golongan dan daerah yang berasal dari perwakilan tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan perwakilan kesultanan seluruh Indonesia.
Pola pertama tersebut paling cocok dengan kultur politik Indonesia dan dengan basis ideologis yang jelas yakni Pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat sebagai politik khas Indonesia. Apa mungkin ini bisa dilakukan? Hal ini mungkin dilakukan karena bangsa ini pernah mempraktekkannya hampir setengah abad sejak Orde lama. Pertimbangan ongkos politik yang murah juga menjadi pertimbangan rasional untuk memilih pola pertama ini. Selain itu efektifitas pemerintahan juga bisa terjadi karena dukungan mayoritas parlemen terhadap Presiden dan Wakil Presiden saat pemilihan itu memungkinkan keduanya bisa bekerja efektif.

Pola Kedua, mempertahankan sebagian amandemen UUD 1945 dan menghapus sebagian hasil amandemen UUD 1945. Tentu hal ini dilakukan melalui sidang umum MPR dan dengan pola adendum.. Hal yang dipertahankan dari amandemen bisa saja adalah hanya pasal 6 A hasil amandemen ketiga dari ayat 1 sampai 5, dimana Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh rakyat. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi tuntutan mutakhir politik demokrasi modern. Selebihnya dari seluruh hasil amandemen UUD 1945 pertama, kedua dan keempat dihapus. Termasuk di dalamnya penghapusan pemilihan kepala daerah tingkat I maupun tingkat II. Dengan demikian struktur politiknya tetap sama seperti pola pertama tetapi perbedaanya hanya pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja yang dipilih langsung oleh rakyat. Pola ini memang bisa membuat Presiden dan Wapres tidak bekerja efektif karena bisa jadi Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih tidak didukung mayoritas anggota parlemen di MPR maupun DPR. Tetapi pola ini memenuhi harapan publik domestik maupun internasional tentang tuntutan demokrasi modern.

Pola Ketiga, mempertahankan hasil amandemen seperti saat ini tetapi melalui undang undang baru menyerahkan pemilihan kepala daerah pada DPRD tingkat Provinsi dan DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Sementara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dilaksanakan secara langsung. Selain itu Pemilu Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR, DPD, dan DPRD bisa dilakukan secara serentak sebagai cara untuk mengurangi ongkos politik (efisiensi). Jika pola ketiga ini terus menjadi pilihan sistim politik Indonesia maka yang perlu diperbaiki adalah pada keberadaan DPD. Dengan sistim parlemen bicameral saat ini peran DPD nampak tidak signifikan, sebagai senator selayaknya DPD diberikan juga wewenang untuk turut memiliki wewenang legislasi yang luas sebagaimana juga wewenang DPR. Selain itu perlu ada perubahan pada undang-undang politik berkaitan dengan parliamentary threshold yang 3,5 % menjadi 6 %. Karena dengan angka 6 % ini maka akan muncul partai politik yang memiliki suara dominan dan bisa meminimalisir koalisi pragmatis partai politik yang selama ini terjadi sejak 2004 lalu. Menaikan angka Parliamentary threshold menjadi 6 % ini menjadi keniscayaan politik jika kita ingin bangsa dan negara ini pemerintahannya bisa bekerja efektif dan mencapai tujuan negara yang ingin dicapai Republik ini. Tetapi jika tidak berubah angka Parliamentary threshold ini maka kapabilitas sistim politik kita akan tetap lemah dan dapat dipastikan pemerintahan tidak akan bisa bekerja efektif. Semoga tiga pola perubahan tersebut bisa menjadi agenda politik penting pada masa sidang MPR pasca pemilu 2014.
Ubedilah Badrun, Pengamat Sosial Politik UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dan Direktur Puspol Indonesia (Pusat Studi Sosial Politik Indonesia). .

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<