Tuesday, January 28, 2014

Nasionalisme Dalam Krangkeng Neolib, Oligarki & Kleptokrasi

Nasionalisme Dalam Krangkeng Neolib, Oligarki & Kleptokrasi
Oleh : Ubedilah Badrun
Akhir akhir ini mulai muncul elit politik dan elit pebisnis di Indonesia yang menanggalkan nasionalisme dalam praktik bisnis dan politiknya. Penulis masih ingat ada pejabat negara yang berkata “ katongi dulu nasionalismemu” untuk mengikuti arus dominasi asing di Republik ini. Nampaknya elit politik dan elit pebisnis republik ini berlindung dibalik kata kata itu agar kita percaya bahwa dia sedang menembunyikan nasionalisme nya untuk kepentingan nasionalisme yang lebih besar. Pada realitanya justru persembunyian nasionalisme itu makin terkubur dan elit politik dan elit pebisnis itu larut dalam gelombang neoliberalisme yang menggerus Republik ini. Implikasi dari makin terkuburnya nasionalisme itu adalah wajah ekonomi kita yang terus dililit utang yang terus bertambah hingga melampaui 2000 Triliun dan kini target pertumbuhan ekonomi juga tidak tercapai sehingga mau tidak mau negara juga akan menambah hutang lagi. Sementara sumber daya alam kita juga dikuasai asing hingga mencapai kurang lebih 75 %, serta sektor perbankan juga dikuasai asing mencapai 51 %. Angka kemiskinan juga belum berubah kisarannya antara 12 s.d. 15 %. Angka pengangguran usia produktif bahkan terburuk di Asia Pasifik. Lalu pantaskah elit politik dan pebisnis berkata “kantongi dulu nasionalismemu!” ?.Elit politik dan Pebisnis yang demikian itu sudah waktunya diakhiri. Terlalu besar social cost yang diderita rakyat akibat nihilnya nasionalisme di kepala dan hati elit politik dan elit pebisnis Republik ini. Nasionalisme kita telah dikungkung dalam krangkeng neoliberalisme, sementara rakyat sebagai pewaris sah hak kesejahteraan telah mereka kangkangi. Sesungguhnya elit politik dan elit pebisnis telah berdosa terhadap rakyat banyak yang kini mengalami derita ekonomi dan sosial. Jangan lagi kesampingkan nasionalisme dalam mengurus negeri ini. Bukankah Bung Karno pernah mengingatkan sejak awal sebelum Republik ini merdeka ketika di depan pengadilan Belanda melakukan pembelaan dengan judul Indonesia menggugat. Pada 18 Agustus 1930 itu Bung Karno mengatakan “ Zonder nasionalisme tiada kemajuan, zonder nasionalisme tiada bangsa” (Indonesia Menggugat, hlm 106). Poin penting dari penggalan pidato itu adalah bangsa ini ada karena semangat nasionalisme yang kuat dan semangat nasionalisme yang kuat itu pulalah yang bisa menjadi energi besar bagi kemajuan bangsa.

Selain nasionalisme dikungkung dalam krangkeng neolib, nasionalisme juga kini dikrangkeng oleh tumbuh suburnya oligarki. Nasionalisme ditinggalkan dalam praktek politik, dipasung dalam krangkeng tertentu, karena nafsu oligarki lebih dominan dalam praktek politik Republik ini. Oligarki dalam praktek politik dimaknai sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang karena motif mempertahankan kekayaan dan kekuasaan dengan berbagai cara. Para oligark berjaya dalam kekuasaan karena ditopang oleh apa yang dinamakan income defense industry yang implikasi lebih sistemiknya salah satunya dapat berupa konsesi penundaan kewajiban pajak pendapatan terhadap negara. Akuntan, konsultan hukum, aparat hukum, pengelola pajak ada yang dikendalikan oleh para oligark ini dan mereka menjadi bagian penting dari apa yang disebut income defense industry (Jeffrey A Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, 2011).

Jika meminjam perspektif Winters (2011) diatas maka Indonesia saat ini dalam praktek politiknya masuk kategori Oligarki Sultanistik yang bercirikan monopoli patron-klien. Pola pola seperti SBY Connection, ARB Connection, RR Connection, SMI Connection, SP Connection, dll yang didalamnya membangun pola patron-klien telah menjadi fakta politik yang dalam praktiknya dibangun dalam bingkai oligarki sultanistik. Mereka itulah yang mengendalikan jalannya ekonomi dan politik di republik ini. Demokrasi hanyalah formalitas untuk menutupi praktik ‘Oligarki sultanistik’ itu. Rakyat kembali hanya sebagai objek penderita dari kamuflase Demokrasi. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak lagi dipake dalam praktik politik di Republik ini. Demokrasi kita kehilangan originalitasnya. Praktek demokrasi liberalistik telah banyak menumbuh suburkan praktek money politic dan sekaligus makin memperkuat ‘oligarki sultanistik’. Dalam sistem yang demikian itu maka nasionalisme dan kepentingan nasional ditinggalkan.

Nasionalisme juga dikrangkeng ketika Kleptokrasi menjadi salah satu dari wajah ganda kekuasaan di Indonesia selain Oligarki. Lengkap sudah derita ekonomi politik Republik ini. Kleptokrasi adalah pola kekuasaan yang dikendalikan para maling, bentuknya berupa kerjasama licik yang dijalin antara aparat negara dan korporat. Antara keduanya berbagi peran dan berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan jahat itu (M.Mustofa, 2010). Tidak sedikit data untuk menunjukkan bahwa kleptokrasi memang terjadi di Indonesia. Lebih dari 147 kasus pola kleptokrasi ini terjadi di Indonesia. Peristiwa mutakhir yang masih lekat dalam ingatan kita antara lain adalah kasus Century, kasus Nazarudin Hambalang dan baru baru ini dalam kasus RR SKK Migas.

Dalam momentum 17 Agustus ini, sudah waktunya seluruh elit politik, elit pengusaha, dan bangsa Indonesia meninggalkan oligarki dan kleptokrasi dan merumuskan secara tegas apa hakekatnya kepentingan nasional dan bagaimana kepentingan nasional ditempatkan dalam praktek politik dan ekonomi negeri ini.
Ubedilah Badrun Direktur Eksekutif Puspol Indonesia.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<