Wednesday, June 01, 2011

Apa Yang Jalan Di tempat Dari Agenda Reformasi

Apa Yang Jalan di Tempat dari Agenda Reformasi
Oleh: Ubedilah Badrun
Tulisan ini dimuat di www.Detik.com 27 Mei 2011

Masih melekat diingatan penulis ketika bersama kawan-kawan dari kampus, kejalanan dan sampai gedung DPR/MPR melangkah tegap meneriakan yel perjuangan ”Revolusi...Revolusi...Revolusi sampai Mati!”. Gaung teriakan itu kini tinggal kenangan 13 tahun lalu 21 Mei 1998. Menjelang jatuhnya Soeharto teriakan Revolusi yang diteriakan mahasiswa berubah menjadi Reformasi. Ada pergeseran gerakan dari yang semula begitu radikal lalu berubah menjadi bahasa penguasa dan khalayak, bahasa yang diakomodir oleh penguasa saat itu dengan membentuk kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999. Reformasi adalah bahasa penguasa, Revolusi sebagai bahasa perjuangan di lapangan menjadi hilang, yang ada adalah Reformasi, sebuah konsepsi perubahan yang diyakini berbagai kalangan sebagai jalan tengah perubahan di Indonesia. Sebuah perubahan tatanan politik yang dilakukan secara gradual atau bertahap. Reformasi lalu dimaknai lebih jauh sebagai gerakan moral yang bertujuan untuk menata kembali perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berda-sarkan Pancasila, serta mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sebagai sebuah gerakan sosial ia lahir karena dua hal. Pertama karena faktor eksternal yaitu situasi krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, dan faktor melemahnya kepercayaan terhadap pemerintahan Presiden Suharto. Selain itu Nilai tukar rupiah terus merosot. Para investor banyak yang menarik investasinya. Inflasi mencapai titik tertinggi dan pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah selama pemerintahan Orde Baru. Reformasi kemudian meluas maknanya sebagai keseluruhan perubahan gradual di semua bidang kehidupan karena disadari betapa sistemiknya kerusakan dan persoalan bangsa saat itu. Kedua, faktor internal aktor gerakan sosial ia lahir karena munculnya kesadaran kolektif dari kaum terpelajar mahasiswa dan kaum cendekiawan untuk memperbaiki bangsanya yang kemudian didukung rakyat.
Kini setelah 13 tahun Reformasi berlalu, pertanyaan yang patut dimunculkan adalah apa yang jalan ditempat dari agenda reformasi 1998? Jika kita mengingat tuntutan mahasiwa pada saat itu setidaknya yang paling mendasar ada lima poin yakni (1) Amandemen UUD 1945, (2) Pemberantasan KKN , (3) Mengadili pelanggaran HAM , (4) Cabut Dwi Fungsi ABRI, (5) Demokratisasi, dan (6) otonomi daerah. Dari keenam poin tersebut ada dua poin yang masih jalan ditempat meskipun poin yang lainya juga masih menuai kritik dan kelemahan-kelemahan. Dua poin yang raportnya belum mencapai angka 5,5 tersebut adalah Pemberantasan KKN dan Mengadili Pelanggaran HAM (kasus Trisakti, Semanggi, Munir, dll). Dua agenda tersebut jalan ditempat setidaknya karena tiga hal. Pertama , karena elit lama yang tersangkut KKN dan pelanggaran HAM masih memiliki akses yang kuat terhadap elit politik dan elit penegak hukum saat ini. Hal ini menyulitkan upaya keras pemberantasan KKN dan pengadilan Pelanggaran HAM. Selain itu pelaku KKN makin meluas dan melebar di semua lini politik saat ini dari lingkaran eksekutif sampai lingkaran legislatif. Kedua, minimnya keberanian elit politik dan penegak hukum. Faktor penyebab pertama sebenarnya bisa diatasi jika ada keberanian dari elit politik dan penegak hukum saat ini untuk tidak tebang pilih dan siap mengambil resiko dari keputusannya. Ketiga, minimnya tekanan publik untuk pemberantasan KKN. Mahasiswa dan kaum intelektual seperti kehilangan ruh idealismenya. Tekanan publik yang dilakukan seperti pepatah ” hangat-hangat tai ayam”. Ia hanya panas dalam hitungan menit. Tekanan publik yang garang pada soal Korupsi dan pelanggaran HAM hanya pada momentum satu dua hari, atau pada momentum peringatan reformasi atau momentum hari anti korupsi sedunia dan hari deklarasi Hak Azasi Manusia se-dunia.
Mahasiswa setiap bulan Mei selalu ada agenda aksi untuk mengingatkan agenda Reformasi. Tetapi nampaknya tekanan publik yang dilakukan mahasiswa juga nampak hanya sebagai seremoni saja. Ketika agenda Reformasi jalan ditempat, dimanakah kaum intelektual? Ia sedang tertidur lelap diatas bantal-bantal beasiswa dan selimut proyek-proyek penelitian yang kontribusinya patut dipertanyakan bagi perbaikan bangsa. Hal lain juga terlihat bahwa kaum intelektual lebih suka menjadi selebriti ketimbang mendekati mereka yang papa dan yang secara ekonomi dan sistemik disakiti. Pertanyaan mendasar kemudian adalah siapa yang paling bertanggungjawab dari mandegnya agenda Reformasi? Para aktivis gerakan reformasi sudah mencoba untuk masuk dalam sistem, meskipun masih lapisan menengah kebawah, mereka masuk di parlemen maupun di eksekutif. Tetapi ternyata jamaah yang anti reformasi jauh lebih bergigi. Reformasi bukan pekerjaan mudah dan memerlukan waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Apalagi jika elit-elit politik baru yang terpilih adalah bagian dari jamaah yang anti reformasi. Lucunya jamaah yang sejatinya anti reformasi ini mengaku reformis dan menggunakan simbol-simbol reformasi, walhasil dua agenda reformasi menjadi jalan ditempat. Kemunafikan politik menjadi tontonan yang dianggap mafhum di Republik ini. Ketika para aktivis reformasi tidak bergigi, penguasa baru bagian dari masalah, dan kaum intelektual tertidur nyenyak, perubahan tidak akan pernah datang. Ia akan tertimbun masalah yang terus bertubi-tubi. Dalam situasi yang semacam ini setidaknya kita bangsa Indonesia patut mengoreksi diri siapapun kita untuk menjawab pertanyaan mau dibawa kemana arah bangsa ini? Lalu, mengapa diam?!
Ubedilah Badrun, Aktivis 1998, mantan Presidium FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta), saat ini bekerja sebagai pengajar Sosiologi Politik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<