Monday, May 23, 2011

Dinamika Politik Menjelang 2014

Dinamika Politik Menjelang 2014
Ubedilah Badrun

Menjelang 2014 trend politik di Indoneisa makin dinamis dan cenderung memanas. Kecenderungan dinamis dan memanasnya suhu politik Indonesia setidaknya dapat dianalisis dengan memahami enam area sensitif politik Indonesia saat ini. Enam area sensitif tersebut meliputi problem Etika elit politik, isu Amandemen UUD 1945, aksi Evaluasi Pemerintahan, aturan Pemilu 2014 dan serangan politik. Enam area sensitif inilah yang akan memicu dinamika politik hingga 2014 dan menentukan perubahan politik baik sebelumnya maupun sesudahnya.
Etika Elit Politik
Fenomena perilaku elit politik kita dalam lima tahun terakhir ini masih diwarnai sejumlah persoalan etika, hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa hal menyangkut ketidakmampuan elit politik mengelola modal legitimasi dari rakyat, ketidakmampuan menterjemahkan filosofi bangsa dalam berpolitik, rendahnya sensitifitas wakil rakyat maupun eksekutif pada penderitaan rakyat, ketidakmampuan mengelola konflik, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, tidak bisa membangun teamwork (gotong-royong), meluapnya kemarahan dalam menghadapi kritik, hilangnya kejujuran dalam komunikasi politik, dan memutarbalikan kesalahan menjadi kebenaran dengan politik pencitraan. Perilaku elit politik yang tidak etis dalam lima tahun terakhir ini menjalar ke arena etik dalam makna moralitas.
Hal tersebut dilihat dengan adanya perilaku amoral atau asusila dari para politisi, dari sekedar membuka file video porno sampai sebagai pelaku utama aktor video porno dan perilaku asusila lainya. Tidak sedikit kasus asusila yang merasuki wakil rakyat di parlemen. Seperti terjadi beberapa waktu lalu dalam kasus Amin Nasution, Yahya Zaini, Max Moein, Ahmad Tohari dan terakhir kasus Arifinto yang kemudian dengan cepat mengundurkan diri dari Anggota DPR. Tidak etisnya elit politik jauh sebelum kasus asusila tersebut, sesungguhnya telah terjadi praktik yang secara sistemik merugikan negara yakni kuatnya praktik korupsi. Bahkan korupsi yang paling memalukan terjadi di Kementrian terhormat yang menaungi agama-agama di Indonesia dan juga terjadi pada Kementrian terhormat yang mendidik anak bangsa dan membawa misi peradaban, bahkan korupsi juga terjadi pada lembaga wakil rakyat yang terhormat. Tidak tanggung-tanggung lembaga eksekutif paling top juga tersandera Century Gate dan ‘Abused Power’. Ini semua menyangkut etika elit politik kita yang akan terus memicu gejolak politik dalam tahun tahun kedepan. Semua lembaga negara sebagai penjaga paling otoritatif telah runtuh ditelan citra yang buruk dan meluasnya ketidakpercayaan publik (public distrust) pada lembaga otoritatif tersebut. Situasi public distrust akibat asusila politik ini jika tidak mampu dibenahi ia akan mendorong sikap protes masyarakat dan menjadi batu sandungan politik menjelang 2014, atau bahkan tidak hanya batu sandungan tapi juga bisa menjadi semacam tsunami politik menerjang karang kekuasaan.
Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 dalam beberapa tahun kedepan akan menjadi agenda politik nasional yang cukup serius. Kemungkinan besar akan terbelah menjadi dua kelompok politik, yakni kelompok politik yang menginginkan amandemen UUD’45 dan kelompok politik yang menginginkan kembali ke UUD 1945 asli. Kelompok politik yang menginginkan amandemen UUD 1945 didasari oleh realitas politik saat ini yang menyangkut pemilihan umum Presiden, pilkada, peran DPD, dan tentang hubungan ketatanegaraan antar lembaga negara. Tentang pemilihan presiden, sebagian kelompok politik ini menginginkan dibolehkannya calon independen karena menjadi presiden diyakini sebagai hak politik seluruh rakyat Indonesia. Tentang pilkada, kelompok ini sebagian menghendaki bahwa pilkada di tingkat Kabupaten tidak diperlukan karena ongkos besar politik dan kejenuhan politik ditingkat daerah, termasuk konflik politik yang cukup banyak di tingkat daerah. Pilkada cukup dilakukan di tingkat profinsi.
Sementara tentang peran DPD, ini disuarakan oleh anggota DPD yang memang minus peran legislasi padahal mereka adalah wakil rakyat yang suaranya harus didengar dalam menyusun setiap Undang-undang. Mereka juga dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Mereka menginginkan peran DPD layaknya senator di Amerika atau senator di Era Republik Indonesia Serikat (RIS) yang juga memiliki peran dalam setiap penyusunan Undang-Undang. Karena itu kelompok pro amandemen menginginkan dilakukannya amandemen tentang DPD ini. Tentang hubungan ketatanegaraan antar lembaga negara, kelompok politik pro amandemen juga mempertanyakan posisi lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi super body dalam membatalkan Undang-Undang. Mereka mempertanyakan posisi MK yang begitu kuat bisa membatalkan Undang-Undang yang sudah dibuat DPR dan Presiden, padahal MK dipilih melalui fit and proper test DPR, sementara DPR dan Presiden dipilih langsung oleh Rakyat yang memiliki legalitas dari rakyat yang lebih kuat dibanding MK. Realitas ini dinilainya sebagai ironi demokrasi, karena itu fungsi MK perlu diperbaiki.
Kelompok politik yang menghendaki amandemen UUD 1945 ini jumlahnya jauh lebih banyak dibanding kelompok politik yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli. Kelompok yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli meyakini bahwa arah politik nasional saat ini sudah terlalu liberal dan sudah keluar dari kaedah-kaedah politik kebangsaan Indonesia. Meski jumlahnya lebih sedikit dari yang pro amandemen namun kelompok politik yang menghendaki kembali ke UUD 1945 ini di dukung kuat oleh kelompok nasionalis sipil dan militer yang kuat. Realitas ini akan menjadi sumber dinamika politik yang menyita energi politik nasional. Jika realitas politik ini tidak mampu dikelola dengan baik oleh elit politik maka ia akan memicu meluasnya gerakan kembali ke UUD 1945 yang asli.
Evaluasi Pemerintahan
Momentum evaluasi pemerintahan tahunan di Indonesia yang paling dominan mempengaruhi politik nasional ada pada lima peristiwa, yakni momentum peringatan reformasi, momentum pidato tahunan Presiden, momentum hari buruh, momentum hari pendidikan nasional dan momentum sumpah pemuda. Pada momentum peringatan reformasi 21 Mei, seringkali dijadikan kelompok mahasiswa untuk melakukan refleksi tahunan untuk melakukan evaluasi terhadap praktik penyelenggaraan negara. Jika pada momentum peringatan reformasi ini ditemukan banyak pembelokan arah reformasi dimana agenda-agenda penting reformasi seperti pemberantasan korupsi, penegakan supremasi hukum, demokratisasi politik dan ekonomi tidak lagi sesuai dengn track nya maka kemungkinan besar mahasiswa akan kembali melakukan protes terhadap persoalan ini. Sebut saja misalnya kasus Century yang belum tuntas, kasus mafia pajak dan penggelapan pajak, kasus pemberitaan Wikileaks, dan masalah-masalah kemiskinan yang masih terus mendera rakyat Indonesia. Mahasiswa sebagai kekuatan sosial politik kelas menengah yang paling independen ia akan tetap muncul menyuarakan kepentingan rakyat banyak, karena panggilan moralnya yang setiap hari pada mereka diajarkan tentang objektivitas, rasionalitas, kejujuran, dan sejumlah budaya intelektual lainnya. Mahasiswa pada setiap zaman akan tetap menjadi kekuatan yang masih menakutkan bagi pemerintahan yang korup dan diktator.
Momentum evaluasi tahunan juga terjadi pada momentum pidato tahunan presiden yang dilakukan pada setiap tanggal 16 Agustus dihadapan paripurna DPR. Pada momentum ini semua kelompok politik, , akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum menyaksikan pidato langsung Presiden. Dalam pidato inilah berbagai analisis dilakukan oleh kelompok politik, akademisi, mahasiswa maupun masyarakat umum. Jika pidato presiden tidak mampu menjelaskan secara baik terutama menyangkut kebijakan politik, ekonomi dan berbagai masalah respon negatif dari mahasiswa, akademisi, bahkan termasuk dunia bisnis dapat memicu protes masyarakat. Oleh sebab itu pidato tahunan Presiden adalah arena terbuka munculnya kritik dari masyarakat luas.
Hari buruh yang jatuh pada 1 Mei dan hari pendidikan nasional 2 Mei juga menjadi momentum evaluasi tahunan yang sering dijadikan sebagai momentum perjuangan hak-hak buruh dan momentum perjuangan bagi para guru. Problem buruh dan guru saat ini masih didera persoalan yang sama menyangkut kesejahteraan. Tuntutan upah minimum propinsi yang layak bagi buruh masih “jauh panggang dari api”, harapan buruh untuk sejahtera masih ada dalam mimpi. Misalnya di DKI Jakarta Upah Minimum Propinsi (UMP) hanya Rp.1.290.000 tidaklah cukup bagi buruh untuk memikul beban hidup yang berat di Jakarta. Wal hasil penderitaan buruh nampaknya masih terus mewarnai Indonesia, karena itu protes para buruh dalam tahun tahun kedepan juga akan terus terjadi dan jika skala nya meluas akan turut mempengaruhi dinamika politik nasional.
Hari pendidikan nasional juga menjadi momentum penting evaluasi tahunan. Tidak sedikit problem yang mendera begitu berat di dunia pendidikan. Dari Problem kesejahteraan guru, banyaknya guru honorer yang belum diangkat, mandegnya uang tunjangan guru yang telah lulus sertifikasi, korupsi di lembaga dan kementrian pendidikan, hingga kapitalisasi pendidikan yang melahirkan diskriminasi di dunia pendidikan. Hal itu akan mewarnai protes komunitas akademis terhadap dunia pendidikan, baik yang dilakukan akademisi kampus, guru-guru, maupun yang dilakukan mahasiswa. Protes dunia pendidikan ini juga akan mewarnai dinamika politik nasional.
Momentum sumpah pemuda sering dijadikan kalangan kaum muda Indonesia untuk melakukan refleksi kritis tentang kabangsaan. Tidak sedikit problem kebangsaan yang mendera bangsa Indonesia, dari soal lemahnya kedaulatan politik, lemahnya kedaulatan ekonomi, sampai memudarnya nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks nasionalisme, koruptor juga bagi kaum muda sama dengan penghianat bangsa. Seorang koruptor adalah orang yang minus nasionalisme. Selain memahami problem-problem kebangsaan dan pada saat yang sama kaum muda juga sering menjadikan nilai-nilai kepeloporan pemuda era 1928 telah memberi inspirasi bagi lahirnya militansi pemuda untuk melakukan perjuangan membela rakyat. Momentum ini jika bersentuhan dengan politik ia bisa melahirkan gerakan protes militant dari kelas menengah pemuda Indonesia dalam tahun-tahun mendatang.
Aturan Pemilu 2014 dan Serangan Politik
Jika sampai menjelang 2014 tidak ada gejolak politik signifikan maka Pemilu 2014 akan berlangsung sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya dan pemenangnya sudah dapat diketahui sejak saat ini. Jika tidak ada tokoh muda alternatif yang visioner, memiliki integritas, dan memiliki leadership yang kuat dari calon independen, pemenang pemilu presiden kemungkinan besar akan dimenangkan dengan pola yang sama, yakni dimenangkan oleh sosok yang popular dan memiliki modal kapital yang besar. Bukan oleh mereka yang minus popularitas apalagi yang minus modal kapital. Hal menarik lain yang akan mewarnai dinamika politik menjelang pemilu 2014 adalah problematika menyangkut aturan main pemilu. Nampaknya yang akan banyak menyita energi politik sebelum pemilu adalah menyangkut batas Parliamentary Threshold (PT) yang dijadikan patokan untuk mendapatkan kursi di tingkat DPR RI dan DPRD. Jika perolehan kursi di DPRD ditentukan oleh partai yang lulus PT, tentu ini menjadi sumber picu politik baru. Selain soal PT, penggalangan koalisi politik juga akan mewarnai dinamika politik nasional. Koalisis politik ini bisa terjadi dimulai saat pembahasan aturan pemilu. Koalisi politik akan dilakukan semata-mata karena hal pragmatis kekuasaan. Hal ini bisa memicu protes dari massa partai maupun berbagai kalangan lainya.
Selain aturan pemilu 2014, serangan politik antar partai dan antar kekuatan politik juga akan menjadi menu sehari-hari. Makin mendekati pemilu maka makin santer dan intensif serangan-serangan politik dilancarkan para politisi. Hal ini dilakukan untuk melemahkan citra politik lawan dan sekaligus membangun citra politik diri dan partainya. Lebih berdampak sosial politik bahkan ekonomi jika arena serangan elit politik ini merambat ke massa akar rumput !
Ubedilah Badrun, pengajar Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Ketua Laboratorium Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<