Monday, November 16, 2009

Pahlawan

Pahlawan

Oleh : Ubedilah Badrun

Setiap bangsa memiliki sejarahnya sendiri dan karenanya memiliki pahlawannya sendiri. Pahlawan bagi sebuah bangsa adalah spirit yang terus menyala dan menyejarah, ia memberi warna bagi sejarah bangsanya bahkan bagi sejarah kemanusiaan dan peradaban dunia. Namun seringkali karena kontribusinya pada suatu bangsa, sang pahlawan menjadi milik sebuah bangsa saja, ia bukan milik bangsa lain. Sebab bisa jadi pada sosok pahlawan yang sama, ia dinilai bukan pahlawan oleh bangsa lain, bahkan dinilai sebagai pemberontak. Sebut saja misalnya pada diri Pangeran Diponegoro, bagi bangsa Indonesia ia adalah pahlawan tetapi bagi bangsa Belanda ia adalah pemberontak. Namun secara substansial nilai-nilai universal yang diperjuangkan sang pahlawan pada tataran tertentu sesungguhnya bisa menjadikan sang pahlawan milik dunia.

Semangat anti penjajahan adalah nilai-nilai universal yang diperjuangkan para pahlawan pada dekade abad ke-19 hingga abad ke-20. Hanya sedikit orang yang menjadi pahlawan bagi dunia. Karenanya kepahlawanan seseorang sangat interpretatif, subyektif dan sekaligus hasil dari proses obyektivikasi sosial yang melingkupinya. Dalam konteks kepahlawanan ini, subyektifitas bisa berlaku bersamaan dengan obyektifitas. Karena itu sah-sah saja jika sebuah bangsa menentukan siapa-siapa pahlawan bangsanya. Pada momentum bulan November ini kita bangsa Indonesia sesungguhnya diingatkan kembali untuk merenungkan nilai-nilai kepahlawanan.

"Maju terus pantang mundur, lebih baik mati daripada dijajah. Merdeka atau Mati !!" Itulah kalimat yang berkali-kali berkumandang saat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Adalah Bung Tomo, sang pembakar semangat, yang mengumandangkannya ditengah-tengah pertempuran. Anti penjajahan dan kemauan untuk merdekalah yang menjadi nilai universal sehingga mampu menyatukan seluruh pemuda dan rakyat Surabaya untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu yang diboncengi Belanda. Merdeka atau mati adalah pilihan sang pahlawan, sebab pahlawan memang pada situasi tertentu seringkali dihadapkan pada pilihan yang paling beresiko, sebuah pilihan kemerdekaan untuk hidup mulia dan bermartabat atau bahkan kematian yang sempurna atau dalam bahasa agama disebut kesyahidan (martyrdom).

Merdeka adalah kewenangan individual maupun komunal untuk hidup bermartabat, hidup mulia, hidup dengan pilihan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaanya. Karena itu merdeka sesungguhnya merupakan nilai universal yang ada pada setiap manusia, yang diperjuangkan oleh para pahlawan. Kini, lebih dari 64 tahun lalu bangsa Indonesia telah menikmati buah dari perjuangan para pahlawan. Sebuah kemerdekaan bangsa. Ya, pahlawan memang selalu berkorelasi dengan buah perjuangannya, tiada pahlawan tanpa buah perjuangan. Saat ini atau esok buah perjuangan itu selalu ada.

Sayangnya memang buah perjuangan itu kadang tidak mampu dijaga oleh generasi berikutnya. Tidak sedikit kemerdekaan sebuah bangsa tergadaikan oleh kepentingan-kepentingan yang tak bermartabat. Kedaulatan bangsanya seolah digerogoti tanpa sadar oleh ulah generasi ke generasi. Menjual aset bangsa tanpa menjunjung tinggi kepentingan rakyat banyak adalah bentuk penggerogotan kemerdekaan dan kedaulatan. Ketergantungan Negara pada negera lain adalah hal lain yang juga berstatus sama. Kasus penjualan sampel Virus pada lembaga asing bisa menjadi contoh penghambaan kepada Negara besar.

Ya, persoalannya memang ada pada generasi baru yang hidup di zaman berbeda dengan pahlawan tempo dulu. Spirit kepahlawanan telah terkikis oleh tumpukan kepentingan-kepentingan, terkikis oleh berbagai ragam idiologi yang berseliweran menghantui zaman. Seolah masa kini adalah peristiwa yang terpisah dengan masa lalu. Pada konteks ini perlu diajukan kritik bahwa jika masa kini adalah peristiwa yang terpisah dengan masa lalu maka adakah kupu-kupu jika tidak ada kepompong ? dan adakah kepompong jika tidak ada yang membentuknya? Ya, masa kini adalah siklus hidup dari masa lalu. Nilai-nilai kepahlawanan dari masa lalu bangsa Indonesia patut kita renungkan sebagai kepompong hidup yang membingkai masa depan. Spirit kepahlawanan nampaknya penting dipatrikan kembali secara kuat didada kaum muda Indonesia. Bukankah hidup adalah lembaran-lembaran kepahlawanan bagi kaum yang berpikir? Lalu, nilai kepahlawanan apa yang bisa kita patrikan?

Pahlawan selalu memilih hidup mulia. Kemuliaan hidup pahlawan terlihat dari sejauhmana ia memberi manfaat bagi orang banyak. Kemanfaatan pahlawan masa lalu adalah kontribusinya dalam memerdekakan bangsa dan mempertahankan kemerdekaan untuk kehidupan generasi berikutnya, meski sering diakhiri dengan kematian di tiang gantungan atau terkena timah panas yang menembus dadanya. Lalu, kita yang hidup di zaman yang terus berubah ini kemanfaatan apa yang bisa kita berikan untuk orang banyak?

Orang-orang terpelajar atau yang mengaku dirinya kaum terpelajar bisa menjadi pahlawan hanya kalau ia mampu memberikan manfaat untuk orang banyak. Sisi-sisi keilmuan kaum terpelajar adalah pintu-pintu untuk berkontribusi. Persoalannya adalah memilih jalan hidup pahlawan merupakan pilihan penuh resiko. Kesanggupan untuk menanggung resiko adalah ciri kepahlawanan itu sendiri, baik kesanggupan menanggung resiko waktu, resiko harta, hingga resiko kematian. Dalam beberapa minggu terakhir ini kita disuguhi tontonan KPK vs POLRI betapa sulitnya kita menemukan sosok yang memilih jalan pahlawan. Semoga saja pahlawan pejuang pemberantasan korupsi akan hadir di Republik Indonesia. Bangsa Indonesia hari ini miskin pahlawan, bumi pertiwi sedang menangis mencari pahlawan. Dimanakah pahlawan saat ini?!

Bung Karno pernah berkata : " Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya, Jangan sekali-kali melupakan sejarah, hak tak dapat diperoleh dengan mengemis, hak hanya dapat diperoleh dengan perjuangan, Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri yang tidak mengerti arti berbangsa dan bernegara, apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun"

Ubedilah Badrun, Dosen Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Eksekutif Center for Social and political Indonesia Studies (CESPIS).

<