Friday, May 29, 2009

Menakar Capres-Cawapres 2009

Menakar Capres dan Cawapres 2009
Oleh : Ubedilah Badrun



JK-Win, SBY-Beediono, Mega-Pro Rakyat, akhirnya siap bersaing pada Pilpres Juli mendatang setelah sebelumnya berlomba membangun koalisi yang menyita waktu dan perhatian publik. Hal pragmatis dan sekedar bagi-bagi kekuasaan adalah aroma yang sempat tercium dari koalisi yang dibangun. Kini mereka memasuki tahapan baru untuk saling berhadapan, masing-masing pasangan selayaknya menggeser hal pragmatis ke wilayah gagasan yang diusung. Kompetisi untuk merebut RI-1 dan RI-2 ini nampaknya akan berlangsung secara ketat. Jika demikian, bagaimana menakar peluang menang dari ketiga pasangan tersebut? 
JK-Win
Pasangan JK-Win merupakan pasangan yang paling awal mendeklarasikan pencalonannya untuk berlaga pada pilpres 2009 ini. Kecepatan JK mengambil keputusan menggandeng Wiranto sebagai pasangannya adalah kelebihan tersendiri pada sosok JK. Sementara pendeklarasian pasangan JK-Win yang lebih dulu dilakukan dibanding pasangan lain akan menguntungkan pasangan ini, karena akan lebih awal memanfaatkan rentang waktu sampai Juli mendatang.
Namun, perlu dicermati bahwa pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada pasangan Capres dan Cawapres juga dipengaruhi oleh bagaimana pemilih meyakini kemungkinan efektifitas pemerintahannya jika pasangan tersebut terpilih. Efektifitas pemerintahan tidak hanya dilihat dari kemampuan seorang Presiden dan Wapres dalam menjalankan roda pemerintahannya tetapi juga pada faktor dukungan parlemen. Pada pasangan JK-Win nampaknya lemah pada faktor dukungan parlemen ini dan ini akan membuat pemerintahannya tidak efektif. Sebab pasangan ini hanya memperoleh dukungan 123 kursi di parlemen atau sekitar 22 % saja. Dengan pemahaman ini, publik cukup memiliki keraguan untuk memilih JK-Win. Kecuali jika anggota parlemen dari pasangan lain yang gagal akan melimpahkan dukungan kepada pasangan ini. Faktor pengalaman dan kepiawaian anggota DPR dari partai Golkar untuk melakukan lobi-lobi politik juga bisa menjadi faktor yang mendorong efektifitas dukungan parlemen pada pasangan ini.
Kemungkinan JK-Win mendulang suara yang cukup signifikan ada pada empat faktor. Pertama, faktor keseimbangan jawa dan luar jawa. Jika faktor ini mampu dikelola dengan baik oleh pasangan ini, maka perolehan suaranya akan cukup signifikan dan mungkin bisa terus berlaga pada putaran kedua. Kedua, faktor dukungan logistik. Pasangan ini nampaknya memiliki dukungan logistik yang cukup besar. Hal ini bisa terbaca dari kesiapan keuangan dari pasangan ini, selain itu JK yang dikenal luas memiliki jaringan kuat di dunia bisnis memungkinkan akan memiliki dukungan besar dari dunia bisnis bahkan oleh pasar secara umum. Ketiga, faktor marketing politik. Dalam seminggu ini publik disuguhi iklan JK disejumlah media elektronik, baik TV maupun radio. Para pemerhati iklan menyebutkan bahwa iklan JK nampak mampu mempengaruhi publik dengan kesaksian beberapa tokoh yang memiliki integritas yang tidak diragukan . Keempat, faktor kekuatan karakter. Pasangan ini dinilai memiliki karakter yang kuat, JK yang berlatar bisnis dinilai sebagai sosok yang kuat dan terlatih menghadapi berbagai persoalan. Sementara Wiranto yang berlatar Militer dinilai sebagai Jenderal yang cerdas, tegas dan tenang. Faktor ini jika mampu dikemas dalam marketing politik yang bagus bisa membentuk image yang menguntungkan pasangan ini.
Namun, pada pasangan JK-Win ada dua kelemahan yang cukup berat dan bisa menghambat pasangan ini untuk berlaga pada putaran kedua, yakni faktor lemahnya kinerja mesin politik partai pendukung dan track record Wiranto yang dinilai para aktivis masih terkait pelanggaran HAM.
SBY-BOEDIONO
 Pasangan SBY-Boediono mendeklarasikan diri pada urutan kedua setelah pasangan JK-Win. Pasangan SBY-Boediono termasuk pasangan yang cukup menyedot perhatian karena cawapres Boediono dinilai pesanan asing, dan tidak mewakili kepentingan partai-partai Islam dan berbasis Islam yang merapat berkoalisi dengan SBY, meski akhirnya partai pendukung bisa memahami keputusan SBY. Transaksi kekuasaan sempat tercium atas melemahnya protes partai pendukung koalisi SBY ini.
SBY-Boediono memiliki peluang untuk masuk dalam putaran kedua pada Pilpres 2009 karena memiliki empat faktor. Pertama, faktor popularitas SBY. Faktor ini nampak sekali diyakini oleh SBY maupun oleh Partai Demokrat. Bahkan dengan keyakinan ini Partai Demokrat sangat percaya diri seolah tinggal selangkah lagi SBY-Boediono menjadi pemenang. Keyakinan ini pula yang kemudian mengakibatkan posisi tawar partai pendukung lainya kurang dipertimbangkan dalam pencalonan Cawapres. Dalam konteks ini perlu diingatkan bahwa pemilih di Indonesia memiliki karakter sangat mudah berubah-ubah yang berarti terbuka peluang juga bagi pasangan lain untuk mendulang suara besar. Popularitas SBY memang menjadi modal besar dan faktor utama untuk menang, tetapi jika salah mengelola popularitas ini bisa menjadi batu sandung pasangan ini. 
Kedua, faktor mesin politik partai pendukung pasangan SBY-Berbudi. Empat partai pendukung pasangan ini memiliki dua karakter, yakni karakter mesin politik yang bekerja dan karakter pemilih tradisional. Bekerjanya mesin politik terlihat pada PKS. Sementara PAN, PPP, dan PKB memiliki pemilih setia yang berbasis massa tradisional Islam, PAN dengan Muhammadiyhanya, PPP dan PKB dengan Nahdliyinnya. Konfigurasi pendukung SBY-Boediono ini menjadi modal yang kuat bagi kemenangan pasangan ini.
Ketiga, faktor keyakinan publik akan efektifitas pemerintahan jika pasangan SBY-Boediono memenangi Pilpres. Keyakinan publik ini muncul dengan pertimbangan dukungan parlemen yang mencapai 313 kursi atau sekitar 52 %. Faktor dukungan parlemen ini sering menjadi pertimbangan karena melihat pengalaman SBY-JK yang efektifitas dan ketidakefektifannya dipengaruhi daya dukung parlemen.
Keempat, faktor kesiapan logistik. Pasangan SBY-Boediono termasuk pasangan yang memiliki kesiapan logistik yang cukup besar. Hal ini tidak hanya karena dukungan dana yang dimiliki SBY-Berbudi dan Partai Demokrat, tetapi juga dukungan dana partai pendukung dan pengusaha. 
Selain empat hal di atas yang menjadi faktor kemungkinan pasangan SBY-Boedionoi masuk putaran kedua, juga disisi lain pasangan SBY-Boediono memiliki kelemahan yang bisa potensial mengurangi perolehan suara pasangan ini. Ada tiga kelemahan yang potensial pada pasangan ini yang bisa dimanfaatkan oleh pesaing untuk mengalahkan pasangan ini. Tiga kelemahan tersebut adalah (1) pasangan SBY-Boediono tidak merepresentasikan pasangan Jawa-luar Jawa, juga tidak merepresentasikan Nasionalis-Religius. Jika pesaing mampu memanfaatkan kelemahan ini untuk membidik SBY-Boediono maka bisa mengurangi suara SBY-Boediono. (2) pasangan SBY-Boediono dinilai oleh kalangan aktivis sebagai pasangan beraliran ekonomi neo-liberal yang tidak pro rakyat. Ini bisa dimanfaatkan oleh pesaing dan bisa mengurangi dukungan pemilih terhadap SBY-Boediono. (3) citra SBY yang dinilai JK lamban dan penuh kehati-hatian dalam mengambil keputusan, akan makin lengkap karena berpasangan dengan Boediono yang juga dinilai memliki sikap kehati-hatian yang tinggi. Dalam dua minggu terakhir ini kompetisi atas persoalan karakter ini muncul di Iklan TV yang terlihat pada iklan SBY dan iklan JK. Agaknya faktor karakter ini akan terus mewarnai persaingan Pilpres dan bisa menjadi faktor berpengaruh pada perolehan suara.
MEGA-PRO RAKYAT
Pasangan yang terakhir mendeklarasikan diri maju sebagai Capres dan Cawapres pada Pilpres 2009 adalah pasangan Mega-Pro Rakyat, setelah sebelumnya terjadi komunikasi politik yang cukup alot. Koalisi ini sempat mendorong kubu PDIP mendekati Partai Demokorat (PD) dan kubu Prabowo sempat akan bergabung dengan koalisi alternatif.
Mega-Pro Rakyat memiliki kemungkinan untuk lolos putaran pertama dan berlaga pada putaran kedua karena empat faktor. Pertama, pasangan Mega-Pro Rakyat memiliki popularitas yang patut diperhitungkan, terutama efek popularitas Prabowo. Hal ini bisa dilihat oleh daya sedot Prabowo yang mampu membawa partai baru lolos parliamentary treshold melampaui puluhan partai lain yang sudah berdiri lama. Daya sedot Prabowo dan pengikut setia Megawati jika dikelola dengan baik bisa menjadi hal potensial yang bisa membawa pasangan ini terus berlaga di putaran kedua.
Kedua, faktor logistik. Pasangan Mega-Pro Rakyat adalah juga pasangan yang memiliki kesiapan logistik yang cukup besar, hal ini karena pasangan ini sudah menyiapkan sejak awal untuk mengikuti kompetisi pilpres, Megawati sudah sejak musyawarah Nasional dicalonkan PDIP dan Prabowo juga sejak awal dicalonkan Gerindra. Dukungan keuangan Prabowo nampaknya akan sangat besar diberikan untuk kemenangan pasangan ini.
 Ketiga, faktor pengalaman marketing politik. Pengalaman marketing politik antara Mega dan Prabowo yang berbeda ekstrim akan menjadi pelajaran berharga untuk membuat marketing politik yang mampu menarik minat masyarakat untuk memilih pasangan ini. Turunnya suara PDIP salah satu faktornya karena marketing politik yang lemah, sementara perolehan suara Gerinda yang signifikan sebagai partai baru menunjukkan keunggulan marketing politik partai ini. Team marketing Gerindra yang punya pengalaman sukses dan team marketing PDIP yang punya pengalaman gagal akan menjadi perpaduan berharga yang akan melahirkan model marketing politik yang bagus. Jika ini terjadi maka peluang lolos dalam putaran kedua akan terjdi.
Keempat, faktor gagasan atau ide-ide baru. Faktor ini terlihat dalam deklarasi pasangan ini yang menjanjikan perubahan dan kerja keras menjalankan prinsip-prinsip ekonomi yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Jika faktor ini dikelola secara baik dan mampu diterjemahkan secara lebih konkrit dan mendudukan pasar secara tepat maka bisa menjadi faktor kuat keterpilihan pasangan ini. Kecenderungan pemilih yang menghendaki perubahan dan perbaikan arah ekonomi tercermin dari dukungan masyarakat terhadap Gerindra.
Terlepas dari peluang lolos pada putaran pertama, pasangan Mega-Pro Rakyat juga memiliki kelemahan yang bisa menghambat lolosnya pasangan ini pada putaran pertama. Kelemahan ini terlihat pada dua hal. (1) faktor persepsi publik atas efektifitas pemerintahan pasangan ini jika terpilih. Pasangan ini dinilai akan bekerja kurang efektif karena dukungan parlemen yang kurang lebih hanya mencapai 21,6 % hampir sama dengan pasangan JK-Win. Faktor ini bisa berubah jika pasangan yang kalah mendukung pasangan ini pada putaran kedua. (2) faktor track record Prabowo yang pada dirinya masih melekat kasus penculikan aktivis. Ini akan menjadi batu sandung pasangan ini, kecuali pasangan ini mampu membangun marketing politik yang mampu merubah image tersebut.
Pilpres Berlangsung Kompetitif
Dengan analisis diatas maka penulis memprediksi bahwa Pilpres Juli mendatang akan berlangsung sangat ketat. Perolehan suara antara urutan perolehan suara terbanyak, urutan kedua dan urutan ketiga tidak begitu jauh. Karena itu putaran kedua akan mungkin terjadi. Penulis berharap para kompetitor bermain secara sehat dan memfokuskan pada upaya sungguh-sungguh untuk mensejahterakan rakyat. Rakyat tetap selayaknya menjadi orientasi utama capres dan cawapres, bukan kekuasaan semata. Bahwa kekuasaan adalah sarana untuk melayani rakyat.
Ubedilah Badrun, Direktur Eksekutif Puspol-Indonesia (Pusat Studi Politik Indonesia).


Friday, May 08, 2009

Koalisi Politik Pilpres 2009

Koalisi Politik Pilpres 2009
Oleh : Ubedilah Badrun



Satu tradisi politik Indonesia pasca reformasi 1998 dan pasca berlangsungnya Pemilu 1999, 2004 dan 2009 adalah munculnya kebiasaan koalisi politik nasional. Sayangnya koalisi politik yang pernah dibentuk baik pasca pemilu 1999 , maupun 2004 kerap tidak mampu menghadirkan pemerintahan yang efektif. Ketidakefektifan pemerintahan koalisi ini terjadi karena dua hal. Pertama, koalisi dibangun tanpa komitmen yang jelas pada gagasan besar. Kedua, koalisi dibangun hanya untuk kepentingan power sharing atau sekedar bagi-bagi kekuasaan. Walhasil tradisi koalisi yang saya sebut sebagai ’koalisi tak bergigi’ ini tidak akan pernah sampai pada substansi arah negara yang telah digariskan oleh konstitusi. Negara yang melindungi rakyatnya, mensejahterakan rakyat, dan mencerdaskan rakyat. Lalu bagaimana halnya dengan koalisi yang terjadi pada pemilihan Presiden 2009 ini?.

Koalisi SBY dan PKS
Koalisi ini sudah dirintis sejak sebelum pemilu legislatif 2009 lalu. Ada dua hal yang membuat koalisi ini terjadi, pertama sejak pemilihan presiden 2004, SBY dan PKS sudah memiliki budaya komunikasi politik yang terbentuk secara baik sehingga kemudian SBY menempatkan tiga kader PKS untuk menduduki jabatan mentri di kabinetnya. Tentu saja tiga mentri adalah bargaining position yang tidak sekedar jatah tetapi sebelumnya telah terbangun komunikasi politik yang intensif. Meski antara SBY dan PKS sempat sedikit bersitegang dalam kasus blok cepu dan kenaikan BBM namun tidak mampu mematahkan komunikasi kedua kekuatan politik tersebut. 
Pada pemilu presiden 2009 nanti publik membaca bahwa SBY akan kembali bergandengan dengan PKS, namun penulis membaca ada semacam keengganan atau semacam keraguan dari SBY jika wakil presiden yang akan dipasangkan dengannya berasal dari kader PKS meski PKS sudah menawarkan Hidayat Nurwahid dan Tifatul Sembiring. Keraguan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, SBY belum melihat kapasitas Hidayat dan Tifatul sebagai Wakil Presiden yang tepat untuk mengatasi persoalan bangsa, khususnya menghadapi persoalan ekonomi yang cukup berat di awal semester pemerintahannya jika nanti memenangkan pemilu Presiden. Kedua, SBY nampaknya masih berharap kader dari partai Golkar untuk wapres dengan pertimbangan efektifitas pemerintahannya kelak tidak terganggu karena Golkar memiliki suara signifikan di Parlemen. Koalisi dengan PKS ini mungkin akan terjadi jika PKS mampu meyakinkan SBY tentang kapasitas kadernya untuk mampu menangani gejolak ekonomi diawal pemerintahannya jika terpilih. Selain itu pencalonan wakil presiden oleh PKS juga tidak mudah karena didalam koalisi ini ada PKB dan PAN yang tidak bisa dikesampingkan dalam menentukan arah koalisi ini. Apalagi belakangan Muhaimin Iskandar dicalonkan oleh Rapimnas PKB sebagai calon wakil Presiden yang bisa mendampingi SBY. Disisi lain PKS juga nampak tidak menonjolkan ambisusitasnya untuk menjadi wapres pasangan SBY, ini karakter khas PKS.

SBY dan Wapres Independen
Jika SBY memiliki keraguan yang tinggi atas koalisinya dengan PKS , maka SBY dimungkinkan akan menggandeng wakil presiden dari kalangan independen, mungkin dari kalangan kampus atau mungkin juga dari kalangan pengusaha. Jika koalisi ini yang terjadi maka SBY harus mampu meyakinkan partai-partai yang berada dalam barisan koalisinya baik terhadap PKS, PKB maupun PAN dan partai lainya.
Koalisi SBY dan Wapres Independen ini bisa terjadi dan mungkin akan memenangi pemilu jika SBY mampu memilih figur yang tepat. Dalam konteks ini SBY nampaknya membutuhkan figur wapres yang memiliki kemampuan pemahaman dan strategi ekonomi yang tepat sekaligus figur yang memiliki wawasan kenegaraan yang baik. Soal popularitas tidak terlalu menjadi pertimbangan penting karena dalam politik SBY 'matahari harus satu'. SBY tidak ingin ada semacam 'matahari kembar' seperti yang pernah terjadi antara SBY dan JK. Pertanyaanya siapakah figur yang akan muncul mendampingi SBY jika tidak dengan kader PKS? Penulis menduga bisa saja SBY akan menggandeng Boediono, Sri Mulyani, Meutia Hatta, Jimly Asyidiqi atau mungkin dengan Fadel Muhammad. 

Koalisi Besar dan Kemungkinan Untuk Menang?
SBY dan koalisinya akan sulit memenangkan Pemilihan Presiden 2009 jika Koalisi Besar menemukan bentuk Ideal Capres dan Cawapres yang berlaga pada pilpres 2009 nanti. Pada kubu koalisi besar ini jika memenangi Pilprers nampaknya akan bisa menjalankan pemerintahan yang efektif karena didukung oleh Partai-Partai yang memiliki suara signifikan di parlemen (PDIP,Golkar,Gerindra,PPP, dan Hanura) PAN juga nampaknya punya dua kaki ( di kubu SBY dan Koalisi besar). Namun sayangnya koalisi besar sampai hari ini belum mampu memunculkan figur capres dan cawapres yang ideal dan satu paket. Yang terjadi sampai saat ini muncul 3 paket yakni JK & Wiranto, Mega&Prabowo, Prabowo & Sutrisno Bachir (SB). Koalisis Besar nampaknya belum mampu memutus ego politik masing-masing elit partai untuk memunculkan satu paket capres dan cawapres, misalnya Mega & Prabowo. Penulis melihat pasangan Mega & Prabowo akan lebih mampu menandingi koalisi SBY. Atau memang kompetisis yang seimbang ini akan terjadi pada putaran kedua.

Koalisi Besar Menjadi Oposisi
Jika koalisi besar tidak mampu menyelesaikan ego elit politiknya maka kekalahan sudah ada di depan mata dan jalan yang paling tepat diambil oleh koalisi besar adalah jalan oposisi. Tentu saja oposisi Koalisi besar ini akan berdampak pada dua hal. Pertama, bisa membuat pemerintahan SBY tidak berjalan efektif. Hal ini terjadi karena sikap kritis kubu oposisi koalisi besar ini bisa menjadi bola liar yang m,enghambat efektifitas pemerintahan SBY. Kedua, oposisi koalisi besar juga disisi lain akan mampu mengontrol jalanya pemerintahan SBY secara lebih baik. Pada poin kedua ini nampaknya yang akan mampu menampilkan check and balancies yang terbaik dalam periode sejarah politik Indonesia. 
Namun penulis masih memiliki keraguan, bisakah koalisis besar ini solid menjadi oposan. Sebab Partai Golkar misalnya telah lama memiliki budaya politik sebagai penguasa, apakah akan mudah memilih jalan oposisi? Agaknya ada kemungkinan kader partai Golkar membelot dan bergabung dalam kabinet SBY jika SBY menang. Ini terjadi karena koalisi besar belum mengikatkan diri dalam satu ikatan koalisi yang solid.

Koalisi Gagasan 
Satu catatan yang paling lemah dari koalisi menjelang Pilpres 2009 ini adalah minimnya gagasan besar dalam koalisi baik pada koalisi SBY maupun pada koalisi besar. Pada koalisi SBY misalnya belum ada gagasan besar yang dimunculkan untuk menata Indonesia kedepan yang lebih baik, misalnya tentang konsepsi ekonomi Indonesia kedepan. Publik masih menilai bahwa SBY akan konservatif mengikuti pola yang selama ini dijalankan dengan barisan Neo Liberalisme-nya. Belum ditemukan gagasan ekonomi yang keluar dari kungkungan Neo Liberal. Sementara pada kubu koalisi besar (JK, Mega, Prabowo dll) juga belum menghadirkan gagasan besar tentang Indonesia masa depan. Konsepsi ekonomi seperti apa yang akan dibawa jika memenangi pilpres nanti. Kegamangan memilih konsepsi ekonomi nampaknya mendera pada dua kubu koalisis ini, sebabnya cuma satu karena dua koalisi ini masih berada dalam bayang-bayang dominasi neo liberal. Bagi penulis ini persoalan paling serius mendera Indonesia. Memiliki konsepsi dasar ekonomi yang terbaik sebagaimana terdapat dalam pasal 33 UUD 1945 tetapi diabaikan begitu saja. Penulsi berharap dua koalisi besar ini mampu menterjemahkan pasal 33 UUD 1945 dalam mengarahkan ekonomi nasional Indonesia kedepan. Sehingga sejatinya koalisis politik adalah koalisi dengan gagasan besar tentang masa depan Indonesia, bukan sekedar hasrat mencapai kekuasaan.
DPT dan Pilpres
Ada batu sandungan besar yang harus dituntaskan oleh KPU dan Pemerintah sebelum Pilpres, yakni soal akurasi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sebab terbukti dalam Pemilu legislatif lalu ada sekitar 20 juta (data KPU) warga negara yang berhak memilih tidak dimasukan dalam DPT. Bagi penulis ini salah KPU dan pemerintah sebab dalam UU No 10 2008 pasal 32, Pemerintah dan pemerintah berperan dalam menyediakan data untuk kepentingan DPT. Ini yang tidak dipenuhi pemerintah dan KPU, tentu saja pemerintah yang dimaksud disini adalah Pemerintahan saat ini. Karena itu Pilpres 2009 akan mengalami hambatan serius jika pemerintah dan KPU tidak mampu menuntaskan persoalan DPT, apalagi kemudian jika gagal menuntaskan rekapitulasi atau molor dari jadwal. Ini akan merendahkan derajat kualitas demokrasi, bahkan Pilpres bisa tertunda. Jika ini yang terjadi maka  potensi yang membahayakan situasi politik 2009 ada di hadapan rakyat Indonesia yang rindu perubahan. 
Ubedilah Badrun, Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik Indonesia (Puspol-Indonesia).


<