Thursday, December 04, 2008

Indonesia dan Wajah Ganda Globalisasi Pendidikan

Indonesia dan Wajah Ganda Globalisasi Pendidikan
Oleh : Ubedilah Badrun


Kajian globalisasi sesungguhnya merupakan kajian klasik yang sejak era tahun ’80-an menjadi perbincangan publik internasional. Komunitas ilmuwan terbelah dalam menyikapi globalisasi. Sebagian menyikapi globalisasi secara positif, golongan ini kemudian disebut komunitas pro-globalisasi. Sebagian yang lain menyikapi globalisasi secara negatif, golongan ini kemudian disebut komunitas anti-globalisasi atau mereka lebih suka menyebut dirinya gerakan keadilan global.
Bagi komunitas pro-globalisasi, globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dicetuskan oleh David Ricardo dalam buku Principles of Political Economy and Taxation (David Ricardo,1817). Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya. Oleh karena itu tiap negara harus memproduksi barang yang memiliki kelebihan dalam faktor produksi seperti sumber daya alam, tenaga kerja, teknologi dan sebagainya
Sementara bagi komunitas anti-globalisasi atau gerakan keadilan global, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Globalisasi akan menggerogoti rasa kebangsaan dan kedaulatan negara dan memperlebar jurang kemiskinan. Globalisasi juga disebut sebagai bentuk mutakhir imperialisme Barat. Prasetyantoko dalam bukunya Arsitektur Baru Ekonomi Global mencatat pendapatnya Jeffry Sachs yang dikenal radikal dalam menanggapi globalisasi, Sachs menilai bahwa globalisasi tak lain adalah bungkus baru dari developmentalisme yang merupakan episode lanjutan dari imperialisme yang gagal dalam bentuk awalnya (Prasetyantoko, 2001).
Indonesia dan Globalisasi
Menurut Mubiyarto (guru besar ekonomi UGM), globalisasi bukan hal baru bagi Indonesia karena sejak abad-abad awal penjajahan (17-18) rempah-rempah dan komoditi-komoditi pertanian Indonesia sudah “diglobalisasikan” (globalisasi tahapI). Selanjutnya globalisasi tahap II (sistem tanam paksa 1830-1870) dan sistem kapitalis liberal (pasca 1870) lebih jauh lagi “mengglobalkan” komoditi-komoditi pertanian Indonesia (terutama gula dan tembakau) sehingga “Hindia Belanda” menjadi terkenal sebagai sumber komoditi-komoditi tropik. Kini pada globalisasi tahap III (sejak medio delapan puluhan) Indonesia mengikuti arus globalisasi itu hingga meyentuh unsur-unsur terpenting sendi pembangunan bangsa yakni pendidikan. Pemerintah Indonesia secara sadar telah terlibat dalam konspirasi globalisasi. Lalu, kapan Indonesia secara blak-blakan dan bahkan membuat Undang-undang untuk mengikuti arus globalisasi? Ternyata ini terjadi ketika masih masa rezim Soeharto. Pada saat itu Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan meratifikasi semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Perlu diketahui bahwa organisasi WTO dalam mengatur sistem perdagangan internasional membedakannya dalam dua kategori, yaitu kategori perdagangan barang dan perdagangan jasa. Mekanisme perdagangan barang diatur dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade), sedangkan perdagangan jasa diatur dalam GATS (General Agreement on Trade in Services). Sampai saat ini WTO telah membagi belasan sektor jasa yang dapat diperdagangkan di tingkat dunia. Adapun satu dari belasan sektor tersebut adalah jasa pendidikan. Karena pendidikan dimasukkan dalam sektor jasa maka pendidikan menjadi sesuatu yang dijualbelikan. Globalisasi Pendidikan ala WTO Beberapa model perdagangan atau jual beli jasa pendidikan / globalisasi pendidikan versi WTO dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, disebut Model Cross Border Supply. Dalam hal ini suatu lembaga pendidikan pada suatu negara menjual jasa pendidikan tanpa kehadiran fisik lembaga kepada konsumen yang berada di negara lain. Contoh riilnya, banyak orang-orang Indonesia yang mengikuti program pendidikan jarak jauh (distance learning) serta pendidikan maya (virtual education) yang diselenggarakan negara manca; misalnya United King-dom Open University (Inggris) dan Michigan Virtual University (AS). Kedua, disebut Model Consumption Abroad. Dalam hal ini lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain. Contohnya saat ini terdapat ribuan pemuda Indonesia yang belajar pada perguruan tinggi ternama di Australia, seperti Monash University, Melbourne University, UNSW, dsb. Dalam hal ini kita menjadi pembeli jasa pendidikan yang dijual oleh Australia dengan cara hadir di Australia. Ketiga, disebut Model Movement of Natural Persons. Dalam hal ini lembaga pendidikan di suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara mengirimkan personelnya ke negara konsumen. Contohnya banyak perguruan tinggi kita seperti UI Jakarta, UGM Yogyakarta, dan beberapa PTS yang ternama mempekerjakan dosen dari AS, Australia, Jepang, Jerman, Inggris, dsb. Sebaliknya ada beberapa perguruan tinggi di negara manca seperti Monash University di Australia dan National University of Singapore (NUS) di Singapura telah mempekerjakan dosen yang berasal dari Indonesia. Keempat, disebut Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut. Hadirnya Perguruan Tinggi Asing (PTA) dari negara manca untuk menjual jasa pendidikan tinggi kepada konsumen di Indonesia adalah contoh yang sering diperdebatkan. Namun terlepas dari sejauh mana penyelesaian masalah izin penyelenggaraan PTA oleh lembaga yang bersangkutan, dalam realitasnya kehadiran PTA di Indonesia memang sudah terjadi baik dengan membentuk partnership, subsidiary,maupun twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal. Model keempat ini yang dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan di Indonesia akan berdampak negatif bagi idiologi negara, sosial-budaya dan ekonomi rakyat.Wajah Ganda Globalisasi Pendidikan
John Naisbitt (1988), dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini menurut Naisbit dimaksudkan agar kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.
Apa yang dikemukakan Naisbit adalah wajah ganda globalisasi yang masuk pada wilayah pemikiran dan sosial. Sementara pada wilayah globalisasi pendidikan wajah ganda itu juga terlihat dengan kasat mata. Misalnya ketika semua bangsa sepakat mengumandangkan slogan education for all justru globalisasi pendidikan menciptakan education for rich people only. Hal ini bisa dicermati dari fenomena mahalnya biaya masuk perguruan tinggi yang berkualitas dan berstandar internasional. Bahkan perguruan tinggi negeri pun kini sulit terjangkau oleh semua rakyat karena latah menjadikan dirinya BHMN mengikuti arus kapitalisme pendidikan yang merupakan bagian penting dari tahap globalisasi pendidikan tinggi. Hal ini akan semakin diperparah jika RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) gagasan pemerintah tanpa revisi dan reform disetujui DPR.
Wajah ganda itu pada akhirnya akan turut menciptakan kapasitas sosial yang terbelah. Orang-orang berkualitas dan kompetitif hanya akan dimiliki oleh orang-orang kaya yang mampu membiayai pendidikan yang mahal. Sementara belahan sosial yang lain adalah orang-orang yang tidak berkualitas, tidak kompetitif dan hanya akan menjadi orang pinggiran namun dalam kuantitas yang banyak. Keterbelahan kapasitas sosial ini pada akhirnya akan berdampak pada makin lebarnya jurang kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Jika ini dibiarkan maka persoalan sosial akan makin serius menghantui Indonesia justru di abad yang paling menentukan masa depan Indonesia.
Wajah ganda lain dari globalisasi pendidikan adalah semangat internasionalisme yang tumbuh di perguruan tinggi yang bertaraf internasional dan outcome-nya siap berkompetisi secara internasional dengan bangsa-bangsa lain didunia. Namun disisi lain nation character building pelan-pelan tapi pasti akan terkikis melalui sejumlah kurikulum yang berorientasi Barat. Budaya dan karakter bangsa menjadi kehilangan ruhnya, dan budaya bangsa pada akhirnya kehilangan energinya. Meski saat ini belum secara masif diterapkanya Model Commercial Presence ala WTO di Indonesia, kita bisa mengamati betapa karakter dan budaya bangsa sudah mulai kehilangan sebagian ruhnya akibat globalisasi yang tak terbendung melalui tehnologi informasi yang berkembang secara dahsyat saat ini. Apalagi jika jelas-jelas Perguruan Tinggi Asing (PTA) akan berdiri di seluruh Indonesia.
Peran Negara dan Masyarakat Kampus?
Persoalan globalisasi pendidikan di Indonesia jika diruntut ke belakang maka terlihat betapa besar peran negara untuk melegalkan proyek kapitalisme ini melalui UU No.7 tahun 1994 sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini. Dengan legalitas itu upaya untuk menolak globalisasi pendidikan adalah upaya yang sangat sulit dilakukan karena menyangkut politik nasional dan internasional. Sangat sulit berarti bukan tidak bisa, kemungkinan untuk membendung globalisasi pendidikan atau setidaknya meminimalisir wajah ganda globalisasi pendidikan selalu saja ada kemungkinannya.
Lalu, siapa yang memiliki peran strategis membendung globalisasi pendidikan tinggi ? Penulis masih mempercayai bahwa Negara dan Masyarakat Kampus lah yang bisa mengambil peran strategis itu. Negara melalui Departemen Pendidikan Nasional bisa membuat aturan main untuk menolak Model Commercial Presence yang diyakini banyak kalangan sebagai model yang paling berbahaya dari globalisasi pendidikan ala WTO. Persoalanya adalah beranikah Menteri Pendidikan Nasional atau bahkan Presiden untuk menolak model keempat dari globalisasi pendidikan ala WTO ini ?
Peran strategis lainya adalah peran yang harus dimainkan oleh masyarakat kampus. Mereka adalah kaum cendekiawan yang seharusnya memiliki ikatan nurani yang kuat terhadap rakyat dan merasakan sejak dini penderitaan rakyat banyak akibat globalisasi pendidikan. Forum Rektor sudah membuktikan kecendekiawanannya dengan secara tegas menolak globalisasi pendidikan. Tentu saja gerakan forum rektor ini tidak cukup untuk membendung arus kuat globalisasi pendidikan apalagi jika Menteri Pendidikan Nasional justru berlawanan dengan forum rektor dengan berkiblat pada kapitalisme global. Karenanya segenap masyarakat kampus (dosen & mahasiswa) sangat penting peranannya untuk bergerak menolak globalisasi pendidikan.
Peran strategis lainya yang penting dimainkan oleh masyarakat kampus adalah upaya keras untuk terus meningkatkan kualitas perguruan tinggi sebagai bentuk perlawanan aktif terhadap agenda WTO tersebut. Bahwa tanpa mengikuti Model Commercial Presence nya WTO pun perguruan tinggi Indonesia bisa bersaing dikancah internasional. Disinilah PR besar masyarakat kampus untuk meningkatkan budaya riset dan mengembangkan wawasan internasionalnya.

Ubedilah Badrun, praktisi pendidikan & dosen luar biasa pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

<