Wednesday, May 30, 2007

Gerakan Mahasiswa Memprihatinkan

Gerakan Mahasiswa Memprihatinkan
Oleh : Ubedilah Badrun

Membaca berita sejumlah media nasional (9/5) yang memberitakan Seminar Nasional BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa ) Nusantara II yang di buka Presiden Soesilo Bambang Yoedoyono dan melihat foto betapa ekspresifnya para aktivis BEM tertawa terbahak-bahak bersama Presiden cukup membuat dahi berkernyit sejenak dan memunculkan sejumlah tanda tanya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mungkin label moral force, values political movement dan oposisi permanen yang selama ini melekat pada diri gerakan mahasiswa dinodai dengan bermesraan bersama Presiden yang notabene sebagai pemimpin pemerintahan yang patut diawasi dan dikritik langkah-langkah kebijakannya oleh mahasiswa? Bukankah mahasiswa adalah penjaga moral dan pilar demokrasi yang paling independen? Adakah pergeseran nilai terjadi pada gerakan mahasiswa 2007 ini? Setidaknya ada tiga hal yang perlu dikemukakan untuk membaca fenomena yang memprihatinkan ini, yakni menyangkut miskinnya idiologi gerakan mahasiswa, minimnya tradisi intelektual, dan reposisi gerakan mahasiswa.
Miskin Idiologi
Mencermati gerakan mahasiswa dalam perspektif ideologi merupakan hal mendasar untuk membaca langkah-langkah gerakan mahasiswa 2007. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan sejauhmana ideologi mempengaruhi gerakan mahasiswa. Lalu, bagaimana wajah idiologi mahasiswa saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya dikemukakan beberapa kajian tentang idiologi. Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. (Franz Magnis Suseno, 1992).
Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga seringkali dipahami sebagai istilah yang abstrak. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya. Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).
Dari penjelasan diatas setidaknya idiologi dapat dipahami sebagai ide sistimitas dan cita-cita atau proyeksi masyarakat masa depan yang diyakini sebagai kebenaran dan diperjuangkan melalui tindakan nyata. Oleh karena itu akan terihat adanya suatu korelasi antara tindakan dan ideologi, artinya tindakan seringkali terjadi merupakan representasi dari ideologi atau seringkali bersumber dari sebuah ideologi yang dimiliki seseorang atau komunitas masyarakat. Dalam konteks ini, fenomena gerakan mahasiswa Indonesia bisa jadi dilatari oleh ideologi-ideologi yang dimilikinya. Meskipun kepemilikan ideologi tersebut hanya dimonopoli oleh sejumlah elit atau pemimpin dari gerakan mahasiswa.
Lalu, apa bukti yang menguatkan bahwa mahasiswa bergerak dengan ideologinya?”. Kalau dicoba ditelusuri, maka sebetulnya secara sederhana bisa di lihat dari tindakannya atau gerakan yang dilakukannya. Hal ini bisa dilihat lebih tajam lagi ketika pada gerakan mahasiswa Indonesia terjadi polarisasi hingga kemudian mengkristal secara ekstrim membentuk beberapa tipologi gerakan mahasiswa, yakni antara pragmatis, realis-kritis, dan radikal-revolusioner sebagaimana yang telah disinyalir sejumlah media massa pada november 1998 lalu. Gerakan mahasiswa yang pragmatis adalah representasi dari gerakan yang sangat miskin idiologi pergerakan, dan karenanya tidak layak disebut gerakan mahasiswa.
Dua klasifikasi gerakan mahasiwa (realis-kritis dan radikal-revolusioner) adalah contoh gerakan mahasiswa yang memiliki idiologi. Gerakan mahasiswa realis-kritis ini adalah mereka yang berfikir realistik tetapi sambil mengusung sejumlah agenda politik dengan cara-caranya yang kritis. Artinya gerakan mahasiswa mirip di posisikan sebagai koboi sebagaimana yang pernah di ulas So Hok Gie mengutip siaran radio Ampera dalam Zaman Peralihan. Bahwa perjuangan mahasiswa adalah seperti perjuangan Koboi. Seorang Koboi datang disebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan, dan ketidakadilan. Koboi ini menantang sang bandit berduel, dan ia menang. Setelah banditnya mati, penduduk kota yang ingin berterima kasih mencari sang Koboi. Tetapi ia telah pergi ke horizon yang jauh. Ia tidak ingin pangkat dan sanjungan. Ia akan datang lagi kalau ada bandit-bandit lain yang berkuasa. Ini yang kemudian dikenal sebagai moral force. (Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Gagas Media, 2005).
Sementara gerakan mahasiswa radikal-revolusioner adalah mereka yang berfikiran radikal, mempunyai cita-cita radikal, dan bertindak revolusioner. Artinya gerakan mahasiswa tidak sekedar moral force tetapi sudah masuk dalam kategori gerakan politik nilai atau sebuah gerakan politik yang radikal untuk menerapkan cita-cita (nilai) yang diinginkanya. Ini yang kemudian disebut values political movement. Pada gerakan mahasiswa radikal-revolusioner ini, pada titik tertentu dia bisa bergeser menjadi power political movement atau sebuah gerakan politik untuk merebut kekuasaan. Pada kategori kedua ini nampak ada basis idiologi yang kuat dalam pergerakannya. Sebab organisasi pergerakan mahasiswa yang berbasis idiologi adalah mereka yang terus berjuang mencapai cita-cita idiologisnya.
Perihal seminar nasional BEM Nusantara II tahun 2007 yang bermesraan di Istana Negara tidaklah layak disebut sebagai gerakan mahasiswa realis-kritis apalagi radikal-revolusioner. Sebab dari perilaku politiknya baik dari segi tempat kegiatan yang dimulai dari Istana, para pembicaranya yang kebanyakan para penguasa saat ini, miskinnya gagasan, dan lemahnya greget perjuangan, maka layaklah jika penulis sebut sebagai fenomena gerakan mahasiswa yang miskin idiologi. Jika pun mereka para pemimpin mahasiswa yang ke Istana mengaku memiliki idiologi , maka idiologinya telah tergadaikan demi kepentingan sesaat.
Minimnya Tradisi Intelektual
Sebab mendasar dari miskinnya idiologi pada gerakan mahasiswa saat ini adalah minimnya tradisi intelektual dikalangan mahasiswa. Tradisi intelektual adalah kebiasaan yang dicipta secara sadar oleh mahasiswa dan terus-menerus berlangsung dalam melakukan analisis terhadap teori-teori pengetahuan dan kenyataan sosial, antara asah otak dan asah kepedulian nurani untuk kepentingan orang banyak. Tradisi intelektual tidak sekedar membangun budaya baca, tulis, diskusi, dan riset, tetapi juga membangun budaya kepekaan sosial yang dalam.
Dari pengamatan penulis di sejumlah kampus di Jakarta, lebih dari 70 % kampus di Jakarta mahasiswanya minim tradisi intelektual, kemungkinan juga terjadi pada perguruan tinggi di daerah. Disini persoalannya juga menyangkut kultur universitas yang semakin kering spirit idialisme, kering spirit perbaikan, perubahan, dan perjuangan. Civitas akademika juga disibukan dengan penelitian-penelitian yang sebetulnya hanya sekedar memenuhi standar proyek dari departemen atau lembaga donor tertentu. Orientasi keilmuan dan kepekaan sosial sangat minim, yang terjadi justru didasari orientasi yang semata-mata uang. Bagaimana mungkin sebuah lingkaran kerjasama produktif antara universitas, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sekitar kampus bisa dibangun jika tradisi intelektual sangat minim di kampus-kampus ? Mahasiswa adalah agen utama dari proses pembangunan tradisi intelektual di kampus.
Reposisi Gerakan Mahasiswa
Seminar Nasional BEM Nusantara II yang dibuka di Istana adalah cermin dari kebingungan memposisikan diri sebagai mahasiswa ditengah-tengah kekuatan politik yang sedang berkuasa. Miskinya idiologi dan minimnya tradisi intelektual sebagaimana diuraikan diatas adalah faktor substantif yang turut mempengaruhinya. Sebagai fenomena baru dalam sejarah pergerakan mahasiswa, langkah aktivis BEM ini patut diingatkan. Tentu saja tidak ada hak untuk melarang aktivis BEM, tetapi persoalanya bukan pada level hak namun pada level ketergugahan nurani. Sebab dalam sejarah pergerakan mahasiswa yang berbasis di kampus dan bukan organisasi kemasyarakatan, maka yang sepatutnya dikedepankan adalah independensi pergerakan mahasiswa kampus dan kepekaan pada realitas masyarakat yang saat ini masih terus dirundung kepedihan. Langkah aktivis BEM ini bisa saja dimaklumi jika BEM sama dengan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang jelas-jelas dibawah kendali pemerintah.
Reposisi adalah kata kunci yang perlu segera dilakukan terhadap organisasi dan aktivis BEM. Kembali kepada independensi gerakan moral yang realis-kritis atau gerakan radikal-revolusioner adalah lebih pas dengan eksistensi BEM sebagai komunitas yang masih memiliki energi kepemudaan.
Ubedilah Badrun, pengajar Sosiologi Politik Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta ( UNJ) dan pemerhati gerakan sosial politik di Indonesia.

Tuesday, May 22, 2007

Mahasiswa Bergerak Tanpa Idiologi?

Mahasiswa Bergerak Tanpa Idiologi?
Oleh: Ubedilah Badrun

Ada banyak argumentasi yang coba dijelaskan tentang bergeraknya mahasiswa oleh banyak ahli politik, sosiologi maupun psikologi, pengamat gerakan mahaiswa, atau bahkan mahasiswa itu sendiri. Ernest Mandel misalnya ketika berpidato di New York University tanggal 21 september 1968 dalam pertemuan Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner, bercerita seperti berikut ini :“Beberapa hari yang lalu, ketika berada di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu secara mendasar bersifat material. Tetapi bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan, bukan karena mereka diperlakukan seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas”.(indomarxist.net, 2002).
Sekalipun kemudian Ernest Mandel tidak dapat menerima definisi yang non-Marxis tentang proletariat tersebut, Mandel kemudian berpikir bahwa pengajar yang dinilainya pengajar borjuis tersebut sebagian telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa. Struktur universitas borjuis katanya hanyalah cerminan dari struktur hierarki yang umum dalam masyarakat borjuis, keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar­an sosial yang masih rendah itu.
Pada analisis Mandel yang dikemukakan di atas setidaknya penulis menemukan satu perspektif faktor dengan pendekatan ideologi Marxist yang kental bahwa faktor bergeraknya mahasiswa sesungguhnya tidak lepas dari hierarki masyarakat borjuis yang melingkupinya. Meski analisis ini Marxist, penulis melihatnya sebagai satu argumentasi yang rasional ketika argumentasi tersebut dibangun atas realitas sebuah bangsa yang menampilkan satu rejim borjuis. Apa yang dikemukakan pengajar Kanada yang dinilai Mandel sebagai pengajar borjuis tersebut adalah realitas yang memang berkembang di masyarakatnya saat itu, bahwa telah tercipta sejenis proletariat di Universitas. Artinya sang pengajar tersebut mencoba berfikir dari hal yang paling realistis terjadi di universitas. Dan bisa jadi untuk kasus Indonesia, perspektif proletariat universitas itu menjadi lebih realistik dan fungsional. Bukankah para mahasiswa Indonesia secara umum juga adalah proletariat?. Hal ini tidak hanya karena kultur universitas yang masih hierarkhis borjuis, tetapi juga akibat krisis berkepanjangan yang secara ekonomi menurunkan kemampuan ekonomi mahasiswa, baik yang masih bergantung pada orang tua maupun yang mencoba bekerja paruh waktu atau di sela-sela kuliahnya.
Hal-hal realistik yang dihadapi mahasiswa seringkali juga lebih kuat menjadi faktor pendorong dari munculnya gerakan mahasiswa. Arbi Sanit misalnya mengemukakan bahwa ada lima faktor yang menjadikan mahasiswa peka dengan masalah kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. (lihat Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999 ).Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak diantara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit dikalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat.
Faktor-faktor di atas sesungguhnya secara langsung maupun tidak langsung turut memberi kontribusi bagi terbentuknya semacam ideologi mahasiswa. Artinya faktor ideologi kemudian bisa mempengaruhi bagaimana mahasiswa bergerak. Pertanyaannya “Apakah betul mahasiswa bergerak karena punya ideologi?”. Beberapa tahun yang lalu ketika penulis melakukan diskusi-diskusi politik di wilayah Rawamangun, Matraman, Salemba, Duren Sawit, Tanah Abang, Kemayoran, ataupun Kemandoran, sempat terlontar pernyataan yang bernada protes, “ Emang mahasiswa bergerak pake ideologi?” “ wong mahasiswa demonstrasi hanya ikut-ikutan kok, biar seru aja, atau hanya karena ada seseorang yang dikaguminya?”. Kalimat bernada protes itu sedikit banyak ada benarnya, bahwa bisa jadi mahasiswa bergerak itu hanya karena hal-hal yang artifisial tersebut. Meski kemudian nada protes itu berubah menjadi nada tertawa.
Tetapi barangkali kita coba perlu arif untuk menempatkan satu wacana teoritik bahwa antara tindakan dan ideologi sesungguhnya berjalan sering bergantian, kadang tindakan berjalan di depan ideologi atau kadang juga ideologi berjalan di depan tindakan. Itulah yang sesungguhnya terjadi. Karena itu mencoba melihat gerakan mahasiswa dalam satu perspektif ideologi menurut hemat penulis tidak ada salahnya. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan sejauhmana ideologi mempengaruhi gerakan mahasiswa.
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. (Franz Magnis Suseno, 1992).
Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga seringkali dipahami sebagai istilah yang abstrak. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya. Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999)
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa pengertian ideologi sebagaimana dijelaskan di atas, nampak terihat adanya suatu korelasi antara tindakan dan ideologi, artinya tindakan seringkali terjadi merupakan representasi dari ideologi atau seringkali bersumber dari sebuah ideologi yang dimiliki seseorang atau komunitas masyarakat. Dalam konteks ini, fenomena gerakan mahasiswa Indonesia bisa jadi dilatari oleh ideologi-ideologi yang dimilikinya. Meskipun kepemilikan ideologi tersebut hanya dimiliki oleh sejumlah elit atau pemimpin dari gerakan mahasiswa.
Pertanyaannya adalah “ Apa bukti yang menguatkan bahwa mahasiswa bergerak dengan ideologinya?”. Kalau dicoba ditelusuri, maka sebetulnya secara sederhana bisa di lihat dari tindakannya atau gerakan yang dilakukannya. Hal ini bisa di lihat lebih tajam lagi ketika pada gerakan mahasiswa Indoesia terjadi polarisasi hingga kemudian mengkristal secara ekstrim membentuk beberapa tipologi gerakan mahasiswa, yakni antara pragmatis, realis-kritis, dan radikal-revolusioner sebagaimana yang telah disinyalir sejumlah media massa pada november 1998, yang kemudian di coba dirumuskan rasionalisasinya antara lain oleh Adi Suryadi Culla. Dengan tipologi tersebut sesungguhnya dalam perspektif penulis sendiri, tidak hendak mengklasifikasikan gerakan mahasiswa seperti mengklasifikasikan politik aliran yang dilakukan oleh Clifort Gerzt, tetapi lebih melihat klasifikasi ideologi dalam salah satu pengertian bahwa ideologi sebagai sistem penjelas tentang proyeksi masa depan sebagaimana dijelaskan Franz Magnis Suseno di atas, artinya mirip dengan gagasan tentang masa depan. Atau dalam konteks gerakan, tepatnya diistilahkan dengan cita-cita politik atau gagasan politik.
Jika dipahami dari konteks itu, maka fenomena gerakan mahasiswa era 90-an hingga 2000-an sesungguhnya hanya bisa diklasifikasikan dalam dua klasifikasi. Dua klasifikasi tersebut adalah, pertama, gerakan mahasiswa yang masuk dalam kategori gerakan mahasiswa realis-kritis, dan kedua, gerakan mahasiswa radikal-revolusioner. Gerakan mahasiswa realis-kritis ini adalah mereka yang berfikir realistik tetapi sambil mengusung sejumlah agenda politik dengan cara-caranya yang kritis. Artinya gerakan mahasiswa mirip di posisikan sebagai koboi sebagaimana yang pernah di ulas So Hok Gie mengutip siaran radio Ampera dalam Zaman Peralihan. Bahwa perjuangan mahasiswa adalah seperti perjuangan Koboi. Seorang Koboi datang disebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan, dan ketidakadilan. Koboi ini menantang sang bandit berduel, dan ia menang. Setelah banditnya mati, penduduk kota yang ingin berterima kasih mencari sang Koboi. Tetapi ia telah pergi ke horizon yang jauh. Ia tidak ingin pangkat dan sanjungan. Ia akan datang lagi kalau ada bandit-bandit lain yang berkuasa. Ini yang kemudian dikenal sebagai moral force. (Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Gagasa Media, 2005).
Sementara gerakan mahasiswa radikal-revolusioner adalah mereka yang berfikiran radikal, mempunyai cita-cita radikal, dan bertindak revolusioner. Artinya gerakan mahasiswa tidak sekedar moral force tetapi sudah masuk dalam kategori gerakan politik nilai atau sebuah gerakan politik yang radikal untuk menerapkan cita-cita (nilai) yang diinginkanya. Ini yang kemudian disebut values political movement. Pada gerakan mahasiswa radikal-revolusioner ini, pada titik tertentu dia bisa bergeser menjadi power political movement atau sebuah gerakan politik untuk merebut kekuasaan. Pada kategori kedua ini nampak ada basis idiologi yang kuat dalam pergerakannya. Sebab organisasi pergerakan mahasiswa yang berbasis idiologi adalah mereka yang terus berjuang mencapai cita-cita idiologisnya.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah organisasi gerakan mahasiswa semacam HMI MPO, FKSMJ, FORKOT, BEM, dan KAMMI bergerak akibat “ideologi” yang dianutnya?. Ataukah, justru mereka bergerak sesungguhnya dengan ideologi “ tanpa ideologi”?. Mereka bergerak hanya sebagai rutinitas roda organisasi. Lalu, adakah organ gerakan mahasiswa saat ini yang berbasis Idiologi yang terus bergerak memperjuangkan cita-cita idiologisnya? Layakah mereka menyandang sebagai organisasi pergerakan, lalu diam, sementara ketidakadilan, fenomena rakyat miskin dan pengangguran terus bertambah jumlahnya di Republik ini !

Ubedilah Badrun, pengajar sosiologi politik UNJ dan pemerhati gerakan sosial politik di Indonesia.

<