Sunday, December 24, 2006

Penanganan dan Pendidikan Bencana : Belajar Dari Jepang

Penanganan dan Pendidikan Bencana

Belajar Dari Jepang

Oleh :Ubedilah Badrun

Dalam rangka memperingati bencana tsunami di Aceh yang terjadi tgl 26 Desember dua tahun lalu, ISTECS chapter Japan bekerjasama dengan Indonesia Vision beberapa waktu lalu mengadakan diskusi online dengan tema “Memasyarakatkan Pendidikan Dan Pelatihan Siaga Bencana Dengan Memanfaatkan Hari Siaga Bencana Nasional“. Tema ini sengaja diangkat untuk mendudukan secara jernih upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam menghadapi bencana, mengingat posisi geografis Indonesia yang tergolong rawan bencana. Pengalaman bencana yang sangat memilukan bagi bangsa Indonesia seperti tsunami di Aceh, Pangandaran, dan gempa di Yogyakarta yang menelan korban ratusan ribu jiwa adalah pengalaman yang patut dijadikan pelajaran sekaligus peringatan bagi komunitas terpelajar untuk merumuskan solusi tepat dalam menghadapi bencana di kemudian hari.
Diskusi ini menghadirkan Dr.Ir.M.Ridha, M.Eng (Tsunami and Disaster Mitigation Center, Universitas Syah Kuala), Dr.Bambang Rudiyanto (Wako University, JICA & Asian Disaster Reduction Center (ADRC)), dan Dr. Heru Susetyo LLM ( Visiting Researcher Disaster Prevention Research Inst Kyoto University & Chulalongkorn University, Asian Public Intellectual Fellow). Diskusi yang juga disiarkan melalui radio internet Radio ISTECS ini dipandu oleh Dr.Iko Pramudiono (divisi kajian ISTECS chapter Japan) ini berlangsung santai namun kaya informasi dan gagasan-gagasan yang patut direnungkan dan bisa dijadikan sebagai solusi dalam memecahkan kebuntuan penanganan bencana yang terjadi di Indonesia. Pengalaman Jepang dalam menanggulangi bencana banyak dijadikan rujukan untuk dijadikan pelajaran bagi Indonesia dalam menanggulangi bencana.

Pengalaman Aceh: BRR tidak efektif & Rendahnya Respon Masyarakat

Menurut M.Ridha, pendidikan siaga bencana (disaster education) di Aceh secara umum bisa dikatakan masih sangat lemah sekali, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh NGO-NGO lokal, termasuk oleh NGO internasional yang ditempatkan di Aceh. Pendidikan siaga bencana yang dilakukan di Aceh sifatnya masih terpisah-pisah atau sendiri-sendiri (sporadic). Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh sebenarnya punya satu bidang yang fokusnya mengkaji tentang bagaimana memberikan pendidikan siaga bencana kepada masyarakat. Namun menurut M. Ridha yang beberapa kali mengikuti pelatihan yang mereka lakukan yang melibatkan pegawai-pegawai pemda, kepolisan, dan NGO, pelatihan tersebut masih sangat tidak efektif. Pasalnya pelatihan hanya satu hari. Selain itu BRR juga melakukan beberapa kali simulasi di beberapa tempat, namun karena diadakan di tempat bekas tsunami, banyak masyarakat yang masih trauma, sehingga simulasinya tidak efektif. M.Ridha selanjutnya mengemukakan bahwa pemerintah daerah (pemda), pernah ingin memasukan pendidikan siaga bencana ini dalam kurikulum sekolah, namun sejauh ini belum serius, masih dalam batas wacana. Pernah ada forum bersama untuk membahas pentingnya pendidikan tsunami, namun dalam praktek di lapangan kesadaran itu sangat rendah. Bahkan antusiasme dari sekolah pun kurang. Bila ada orang datang ke sekolah tidak membawa bantuan, mereka kurang begitu mendapat respon. Mungkin karena problem ekonomi masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mereka tidak responsif karena ada hal lain yang bagi mereka merupakan kebutuhan mendesak.

Pengalaman Jepang

Dalam diskusi yang diikuti komunitas masyarakat Indonesia di Jepang ini Bambang Rudiyanto mengemukakan bahwa pada tahun 1950-an usai tsunami, Jepang sudah bisa memprediksi berapa menit setelah gempa bumi tsunami akan terjadi. Pada waktu itu waktu yang dibutuhkan kira-kira 20 menit setelah gempa bumi. Bagaimana dengan saat ini? Menurut Bambang saat ini hanya butuh waktu 3 menit untuk memprediksi tsunami setelah gempa terjadi. Ini berarti dari pusat gempa dan jarak laut ke pantai kira-kira membutuhkan waktu 10 menit gerakan air tsunami sampai ke daratan. Dengan demikian penduduk pantai Jepang memiliki waktu 6 atau 7 menit untuk bisa menyelamatkan diri dari tsunami. Di Indonesia belum ada sistem seperti ini. Tehnologi mutakhir dalam menghadapi bencana memang sudah saatnya dibuat di Indoensia, namun menurut Bambang harus diikuti pendidikan tsunami pada masyarakat. Model pendidikan ini menurut Bambang bisa dilakukan dalam bentuk cerita pada anak-anak SD. Model cerita ini dilakukan di Jepang. Cerita anak-anak atau bahkan sudah menjadi cerita rakyat masyarakat Jepang pada tahun 1854 tentang kejadian dibakarnya padi (inamura no hi) di daerah Nankai. Dalam cerita tersebut diceritakan ada seorang kakek yang melihat ombak yang tinggi kemudian ia memberitahu masyarakat dengan membakar padi, kemudian asap mengepul dimana-mana sebagai simbol adanya bahaya, sehingga masyarakat pada waktu itu siaga akan adanya bencana. Model cerita seperti ini pesan moralnya mudah dicerna anak-anak SD, yakni pentingnya kesiagaan dan partisipasi masyarakat dalam menyelamatkan sesama.

Hari Bencana Nasional & Penanganan Bencana Yang Komprehensif

Heru Susetyo pada sesi ketiga mengemukakan bahwa dari beberapa hasil risetnya tentang disaster education di Jepang menunjukkan bahwa Jepang menemukan ide penanganan bencana yang lebih komprehensif justru pada tahun 1960 setelah bencana gempa dan badai menerpa Jepang di tahun 1950-an. Sedangkan saat ini Jepang sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur disaster management. Pencanangan hari bencana yang dilakukan setiap 1 September sebagai peringatan bencana gempa bumi di Kanto di tahun 1923 adalah bagian penting dalam disaster management di Jepang. Pada momentum itu dilakukan berbagai kegiatan seperti disaster drill, training, seminar dan lain lain. Di semua daerah yang pernah terkena bencana, termasuk di Kobe pada tiap tanggal peristiwa bencana dijadikan momentum juga untuk membuat program mitigasi bencana dan sebagainya.
Berdasarkan pengalamannya Heru Susetyo yang beberapa kali ke Aceh mengemukakan bahwa ternyata belum ada upaya disaster drill atau disaster management yang di manage dengan baik. Baik dari bencana Aceh pada 2004, hingga bencana gempa di Yogyakarta dan tsunami di Pangandaran 2006. Menurut Heru Susetyo sebetulnya ada waktu satu tahun lebih untuk menyiapkan banyak upaya mitigasi bencana. Di Jepang pada tahun 1960 sempat bangkit menyusun konsep penanggulangan bencana, namun beberapa tahun kemudian tertidur kembali, dan baru setelah tahun 1995 ketika terjadi bencana gempa di Kobe mereka bangkit kembali. Menurut salah seorang Profesor di Jepang, hal ini adalah semacam turning point of disaster management di Jepang. Pada tahun ini terjadi fenomena munculnya gerakan-gerakan volunteer yang lebih masif dan disaster management yang lebih baik. Gempa Nigata tahun 2004 juga membangunkan kembali bangsa Jepang, menyadarkan pentingnya kegiatan mitigasi bencana yang terus menerus.
Selain itu Heru Susetyo juga mengemukakan betapa disaster education di Jepang dilakukan makin intensif. Sedangkan Indonesia yang sama-sama rawan bencana masih belum memiliki disaster management yang utuh. Di Jepang menurut Dosen UI ini ada juga disaster education yang dilakukan instansi, atau kantor-kantor swasta, yang dilakukan beberapa kali dalam setahun. Mereka melakukan latihan evakuasi dan penyelamatan diri dan lain-lain. Bahkan ada disaster drill yang diselenggarakan secara nasional setiap tanggal 1 September. Disaster education juga diakukan di sekolah.(TK, SD,SMP,dan SMA). Kegiatan ini paling intensif dilakukan di tingkat SD. Sementara di tingkat masyarakat mereka membentuk simbol tertentu yang ditempel di beberapa tempat atau rumah untuk sebagai tanda bahwa masyarakat tersebut tanggap bencana. Sementara di Indonesia menurut Heru Susetyo kultur tanggap bencana belum terbangun.

Undang-Undang Penanggulangan bencana Dan Masyarakat Yang Sadar Bencana

Pentingnya program pendidikan mitigasi bencana juga mengemuka dalam diskusi online ISTECS Chapter Japan . Menurut Heru Susetyo pendidikan mitigasi bencana di Jepang misalnya dilakukan dengan tujuan: (1) memberi informasi pada siswa tentang pengetahuan yang benar mengenai bencana, (2) memberi pemahaman tentang perlindungan secara sistematis, (3) membekali siswa melalui practical training bagaimana melindungi dirinya dan bagaimana mereka bisa merespon bencana tersebut secara tepat dan cepat. Informasi yang diberikan kepada siswa juga bisa dalam bentuk basic information (misalnya tentang mengapa gempa bumi terjadi), teknik dan perencanaan untuk mengurangi resiko bencana, pengetahuan tentang respon darurat, respon terhadap api, mengamankan diri mereka dari bahaya, evakuasi, dan pertolongan pertama. Latihan praktis yang diberikan adalah evakuasi praktis, bagaimana ketika terjadi bencana bisa sampai pulang secara aman sampai ke rumah. Mereka juga diwajibkan untuk hadir di national disaster drill day, juga training ke museum dengan menyaksikan simulasi pencegahan bencana. Selain itu menurut Heru Susetyo di Jepang juga ada pendidikan pemadaman kebakaran yang dilakukan secara rutin untuk anak-anak TK dan SD. Mereka juga melengkapi lingkungannya dengan tanda-tanda, semacam tulisan dan peta jika bencana terjadi anda harus kearah mana tempat yang harus dituju. Walhasil Jepang memiliki sistem yang sangat komprehensif dalam menghadapi dan menangulangi bencana. Sementara Indonesia menurut Herus Susetyo masih belum punya sistemnya, termasuk undang-undang penangulangan bencana juga belum lahir sampai sekarang. Kehadiran Undang-undang ini kalah cepat dengan undang–undang sektor ekonomi, politik, dan sebagainya. Langkah Indonesia seharusnya sudah saatnya menempatkan disaster education & disaster management pada posisi yang sangat penting. Selain itu pemerintah dan masyarakat harus membuat penanganan bencana sesuai dengan potensi dan kearifan masyarakat setempat (local wisdom), membuat semacam community based disaster education. Hal ini dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang sadar bencana.

Seismograph , operasionalisasi Institusi Dan Kurikulum Pendidikan Siaga Bencana

Dalam diskusi online yang disiarkan melalui radio ISTECS yang diikuti puluhan pendengar di seluruh dunia ini juga berlangsung sesi pertanyaan yang menarik. Jawaban-jawaban meyakinkan dan penuh dengan gagasan yang bermanfaat muncul dalam sesi ini. Sebut saja misalnya gagasan Bambang Rudiyanto yang meyakinkan pentingnya membeli tehnologi seismograph dari negera-negara maju meskipun dengan biaya mahal. Hal ini harus dilakukan sebab Indonesia baru memiliki 30 titik lokasi seismograph dan ini belum bisa mendeteksi tsunami lebih dini. Menurut Bambang biayanya memang mahal, tetapi mau tidak mau teknologi harus kita ambil dari negara yang lebih maju. Sementara M.Ridha memberikan kritik yang tajam tentang fenomena Badan Koordinasi penangulangan bencana yang kesannya mirirp sebuah kepanitiaan. Selain itu menurut aktivis Tsunami and Disaster Mitigation Center Universitas Syah Kuala ini, konsep penanggulangan bencana nampak bagus diatas kertas namun operasionalnya belum.
Menanggapi soal kurikulum pendidikan penanggulangan bencana, Heru Susetyo mengemukakan bahwa kurikulum kita harus hati-hati juga, jangan sampai konsepnya hanya sekedar informasi. Hal terpenting adalah bagaimana memasukan disaster education tersebut kepada masyarakat dengan lebih mudah. Pengalaman di Jepang menunjukkan bahwa adanya cerita-cerita rakyat tentang tsunami memberi dampak positif bagi kesiagaan warganya. Model cerita ini bermanfaat bagi anak-anak ketika menghadapi bencana, karena itu membuat cerita bencana yang mudah dimengerti oleh anak-anak merupakan langkah yang menarik untuk ditiru Indonesia. Jadi tidak sekedar memasukkan disaster education dalam kurikulum tetapi juga perlu dipikirkan berbagai cara menerapkan disaster education, termasuk melalui buku-buku cerita, komik dan melalui media televisi.

Ubedilah Badrun, divisi Kajian Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) chapter Japan.

Motivasi Berorganisasi: Sebuah Catatan Evaluatif

Motivasi Berorganisasi Kita

Sebuah Catatan Evaluatif

Oleh: Ubedilah Badrun

Tidak sedikit sebuah organisasi mengalami penurunan motivasi dalam menjalankan roda organisasinya. Hal demikian biasanya nampak dari munculnya banyak keluhan-keluhan dari para aktivis organisasi tersebut dan mandegnya aktivitas organisasi. Keluhan ini terjadi bisa disebabkan karena ada masalah di wilayah motivasi para aktivisnya. Sebuah kerancuan motivasi mungkin sedang terjadi. Lalu, pembenaran-pembenaran alasan dirumuskan, misalnya karena banyaknya aktivitas sehingga hilang konsentrasi untuk menggerakan roda organisasi atau karena organisasinya tidak lagi dianggap memiliki greget. Konsekuensi ini nampak pada kecenderungan para aktivisnya yang berharap dari organisasi bukan bagaimana memberi kontribusi bagi organisasi.Walhasil organisasi menjadi stagnan. Dalam konteks ini mungkin perlu disegarkan kembali dengan menguliti motivasi, melakukan evaluasi kritis atas motivasi dalam berorganisasi. Untuk itu mendiskusikan kembali teori motivasi yang selama ini berkembang atau mungkin juga dianut para aktivis organisasi perlu didilakukan.

Kritik Atas Teori Abraham Maslow

Dalam kajian psikologi, motivasi sering didefinisikan sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan atau gerak hati dalam diri individu (Hersey, Blanchard dan Johnson, 1996), dengan kata lain sesuatu yang menggerakkan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu, atau sekurang-kurangnya mengembangkan sesuatu karena hal tertentu (Hodgetts,1996). Kemudian dijelaskan lebih jauh oleh Abraham Maslow manusia memiliki motivasi karena didorong oleh adanya kebutuhan-kebutuhan, dari kebutuhan fisiologis dasar (the physiological needs), kebutuhan akan rasa aman dan tentram (the safety and security needs), kebutuhan untuk dicintai dan disayangi (the love and belonging needs), kebutuhan untuk dihargai (the esteem needs), kebutuhan untuk aktualisasi diri (self-actualization). Teori Abraham Maslow ini telah dianut oleh sebagain besar umat manusia bahkan bisa jadi dianut juga oleh para aktivis organisasi yang berbasis Islam. Untuk itu kritik atas teori hirarki Maslow ini perlu didiskusikan.
Dalam kajian psikologi kontemporer, para analis psikologi mencoba untuk melakukan kritik atas teori Maslow ini antara lain yang dilakukan oleh
Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital (Mizan: 2005) tentang perlunya pembalikan hirarki kebutuhan. Beberapa kritik lain atas teori Maslow ini juga muncul dari para pegiat psikologi terapan di Indonesia antara lain yang dilakukan oleh Ubaydillah,AN seorang trainer dengan bidang kekhususan Life Learning Skill Development (Mari membalik Hirarki, http://www.e-psikologi.com,2006). Dalam analisisnya berdasarkan bacaan-bacaan di bidang manajemen terdapat tiga kritik penting terhadap teori Maslow . Pertama, setiap tingkatan atau hierarki, harus dipenuhi lebih dulu sebelum tingkatan berikutnya diaktifkan. Orang tidak terdorong untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan sosial sebelum kebutuhan fisiknya dapat dipenuhi. Orang tidak terdorong untuk mengaktualisasikan dirinya sebelum kebutuhan lain-lain terpenuhi. Kedua, setelah satu kebutuhan dipenuhi, kebutuhan tersebut tidak lagi dapat memotivasi perilaku seseorang. Tingkatan kebutuhan di atas hanya bisa diibaratkan seperti pintu masuk. Jauh sebelum kita sampai rumah, yang kita tuju adalah pintu masuk rumah. Begitu kita sudah sampai di depan rumah, kepentingan kita dengan pintu masuk hanyalah untuk bisa melewatinya. Jika ini dikaitkan dengan usaha memotivasi orang, maka yang diperlukan adalah mengetahui sudah sampai pada hierarki ke berapa kini orang itu berada. Seandainya orang itu masih berada pada hierarki fisiologi lantas dimotivasi untuk melakukan hal-hal yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sosial, ini mungkin tidak kena. Paling-paling dia akan jawab: “wong cari makan aja susah, masak diajak yang nggak-nggak. . .”. Ketiga, Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu menjadi dua tingkat, yaitu: tingkat atas dan tingkat bawah. Kebutuhan fisiologis dan keamanan digambarkanya sebagai kebutuhan tingkat bawah. Sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri digambarkannya sebagai kebutuhan tingkat atas. Kebutuhan tingkat bawah mendapatkan pemenuhan dari faktor eksternal. Sementara kebutuhan tingkat atas mendapatkan pemenuhan dari faktor internal.
Bisa diamati secara real dalam kehidupan masyarakat kita termasuk juga dalam kehidupan berorganisasi, betapa tidak sedikit mandegnya organisasi karena miskin aktualisasi diri (baca : miskin kreativitas dan miskin inovasi pelaku organisasi) dengan alasan kebutuhan fisiologis dan rasa aman belum terpenuhi. Inilah dampak kronis dari logika hirarkis Abraham Maslow yang juga mungkin dianut para aktivis organisasi termasuk mungkin juga terjadi di organisasi yang berbasis Islam. Konon, sebelum wafat, Abraham Maslow, Bapak Penggagas Hierarki Kebutuhan itu, sempat menunjukkan penyesalannya. Teori motivasi yang digagasnya itu mestinya perlu direvisi. Apanya yang perlu direvisi? Menurut yang ditulis Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital (Mizan: 2005), katanya, Hierarki Kebutuhan yang digagasnya mestinya perlu dibalik.
Pembalikan hirarki ini menjadi amat penting bagi upaya dinamisasi aktivitas dalam suatu organisasi dan bagi kepentingan pencapaian tujuan organisasi. Bahwa aktualisasi diri sesungguhnya bisa dilakukan kapan saja untuk memerankan kedirian kita dan siapa diri kita sesungguhnya ditengah-tengah masyarakat untuk berkontribusi. Tentu saja jika kita sudah meniatkan diri bergabung dalam organisasi yang berbasis Islam, konteks aktualisasi dirinya sudah seharusnya didasari oleh motivasi-motivasi yang berbasis nilai-nilai Islam. Untuk itu perlu refleksi ulang atas motivasi kita. Bagaimana Islam memandang motivasi?

Islam Memandang Motivasi

Jika motivasi dipahami sebagai dorongan dalam diri seseorang dalam menjalani hidup di muka bumi ini maka Islam sangat jelas memberi koridor bagi segala aktivitas ummatnya, termasuk dalam hal berorganisasi. Dalam Alqur’an Alkarim Allah subhanahuwata’ala berfirman :"Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah."(Al-An'aam 162-163). Ayat ini menggambarkan dengan jelas bahwa segala aktivitas seorang muslim seharusnya didasari atas motivasi pada pencapaian hanya untuk Allah, termasuk dalam berorganisasi.
Bagaimana jika dalam perjalanan organisasi para aktivisnya dihadapkan dengan berbagai persoalan yang bisa jadi membuat turunnya motivasi dan berakibat pada stagnasi organisasi. Dalam sebuah hadis diriwayatkan, “Jika kalian berada dalam perkara yang besar, maka katakanlah Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil.” Adalah Nabi Ibrahim a.s. juga melantunkan ucapan ini ketika dilempar ke dalam api. Ini artiny apa? Sejauh yang dapat kita tangkap, dari hadis tersebut digambarkan betapa optimisme dengan cara bertawakal pada Allah menjadi hal yang penting ketika segala upaya menyelesaikan masalah sudah kita lakukan. Islam juga melarang berputus asa atas rahmat Allah sebagaimana Allah berfirman dalam kisah Nabiu Yusuf :“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah , melainkan kaum yang kafir" (QS 12: 87). Pada ayat lain juga dikemukakan “Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat" (QS 15:56).
Dari gambaran sebagaimana yang termaktub dalam AlQur’an maka kita disadarkan kembali bahwa sesungguhnya Islam memandang Motivasi begitu penting. Dari beberapa ayat diatas setidaknya dapat disimpukan tiga hal penting. Pertama, Islam menegaskan bahwa motivasi utama manusia menjalankan aktivitas apapun adalah semata-mata untuk Allah (lillahirobbil a’lamiin).Kedua, Islam melarang rasa putus asa, dengan demikian Islam menempatkan semangat untuk terus berjuang dan tidak kenal lelah betatapun beratnya masalah itu. Ketiga, Islam memposisikan orang yang tidak memiliki motivasi (berputus asa) sebagai orang-orang yang sehat dan kafir. Dari ketiga gambaran tersebut sudah cukup bagi seorang muslim untuk terus menjaga motivasinya dalam segala aktivitas.

Manusia Mahluk Sosial yang Membutuhkan Orang lain Dan Bagaimana Islam memandang Organisasi ?

Aristoteles seorang ahli filsafat Yunani pernah menyebutkan bahwa manusia itu mahluk sosial dan mahluk politik (zoon politicon). Manusia tidak bisa hidup sendiri, ia selalu membutuhkan kebreadaan orang lain. Airstoteles tentu saja mendasarai pemikirannya dari analisisnya terhadap relitas manusia di zamannya. Bahwa memang manusia secara fitrahnya membutuhkan keberadaan manusia lain.
Allah Ta'ala berfirman:"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan wanita yang banyak ..." (An Nisaa' [4]: 1). Firman-Nya yang lain:"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal ..." (Al Hujuraat [49]: 13). Kemudian di ayat yang lain Allah Ta'ala juga berfirman:"... Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu" (An Nisaa' [4]: 1).
Dari ayat di atas tergambarkan dengan jelas bahwa keberadaan manusia sesungguhnya diciptakan tidak sendirian tetapi kemudian berkembang biak dan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Selain itu realitas keberagaman dan banyaknya manusia itu juga ditegaskan bahwa manusia sesungguhnya sebagi mahluk yang saling meminta satu sama lain. Ini artinya dalam menjalankan kehidupannya manusia tidak bisa sendirian, ia harus bersama orang lain dan membutuhkan orang lain. Disinilah pentingnya berorganisasi atau berkumpul bersama orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Bahkan hatta setelah berorganisasi pun manusia tetap membutuhkan pertolongan orang lain dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasionalnya. Dalam kajian organisasi modern inilah yang kemudian disebut team work atau dalam bahasa Islam yang lebih cocok disebut amal jama’i. Maka kebersamaan, kepercayaan dan keterbukaan untuk menjalankan amanah berorganisasi menjadi sesuatu yang penting bagi jalanya roda organisasi. Dalam kaitanya dengan motivasi maka motivasi adalah ruh organisasi sedangkan amal jama’i adalah operasionalisasi bagi bergeraknya organisasi. Penulis membayangkan betapa indahnya berorganisasi jika motivasi para aktivisnya sudah selaras sebagaimana Islam memandang motivasi dan jalanya organisasi bergerak dengan jalan amal jama’i. Maka menjadi aneh jika sebuah organisasi yang mendasarkan dirinya berbasis Islam tetapi ia mengalami stagnasi. Jika hal ini terjadi maka problemnya bisa jadi pada salahnya memahami motivasi dan salah dalam memahami pentingnay memerlukan bantuan orang lain.
Di penghujung tulisan ini penulis mengingatkan betapa kita semua mengharapkan sejatinya cinta yakni cinta Allah pada kita, dan di medan organisasi ini betapa Allah mencintai orang-orang yang berorganisasi yang berjalan di jalan-Nya dengan barisan atau organisasi yang teratur. Semoga para aktivis organisasi yang berbasis Islam selalu berusaha keras agar Allah mencintai kita yang berorganisasi dijalan Allah dimanapun aktivitas kita dalam berorganisasi. Mari kita mencari cinta_nya Allah dengan berorganisasi sebagaimana Allah SWT berfirman :“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaf: 4).

Ubedilah Badrun, divisi kajian Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) Chapter Japan.

Sunday, December 10, 2006

Perangi Korupsi, MASSA Jepang Berdiri

Perangi Korupsi, MASSA Jepang Berdiri
tulisan ini juga di muat di harian detik.com tgl 10 Desember 2006

Perangi Korupsi, MASSA Jepang Berdiri

Sabtu (9/12) sore ini tepat pukul 15.30 berdiri sebuah organisasi Masyarakat Anti Korupsi dan Peduli Bangsa (MASSA)-Jepang yang dimotori oleh para pelajar(mahasiswa) dan tokoh masyarakat Indonesia di Jepang. Dalam deklarasi yang dibacakan Kadarsah (peneliti dan aktivis LSM) menyatakan bahwa keberadaan MASSA-Jepang ini sebagai wujud tanggungjawab moral bangsa Indonesia yang ada di Jepang. Keberadaan organisasi ini dimaksudkan untuk menampung pengaduan warga Negara Indonesia tentang perilaku pejabat publik yang berkunjung ke Jepang dan birokrasi di Jepang, mempublikasikan hasil pengaduan secara berimbang dan bertanggungjawab, dan memberikan rekomendasi kepada lembaga terkait untuk menindaklanjuti. Fenomena Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang belum juga usai menjangkiti masyarakat dan birokrasi Indonesia menjadi sorotan penting dari organisasi ini yang mungkin juga terjadi pada birokrasi Indonesia yang ada di Jepang. Disela-sela deklarasi Harus Laksana Guntur mengemukakan bahwa keberadaan organisasi ini tidak seperti Embassy Watch yang cenderung penjadi pengawas dan pemantau KBRI tetapi lebih luas mencakup aspek-aspek advokasi masyarakat yang ada di jepang dan kontrol terhadap para pejabat yang berkunjung ke Jepang.

Organisasi yang didirikan bertepatan dengan hari anti korupsi internasional ini merupakan organisasi yang independent, bersifat terbuka dan bekerja dengan prinsip berdasar pada data dan fakta, mengutamakan kepentingan bangsa, menjaga kerahasiaan identitas pelapor, dan bekerjasama dengan siapapun yang peduli pada harkat dan martabat bangsa di mata dunia dan bangsa Jepang. Secara keseluruhan agenda tersebut terangkum dalam Visi yang dibuatnya yakni terbangunnya partisipasi warga negara Indonesia di Jepang dalam ikut menjalankan fungsi kontrol terhadap perilaku pejabat publik dan birokrasi.

Para deklarator organisasi MASSA-Jepang ini adalah para pelajar, aktivis LSM, pendidik dan tokoh masyarakat Indoensia yang ada di Jepang. Mereka adalah Edy Marwanta (Ketua PPI Jepang), Kadarsah (Peneliti dan aktivis LSM), Harus Laksana Guntur (Direktur Indonesia Rural Development Institute-IRDI), dan Ubedilah Badrun (Pendidik dan Tokoh masyarakat Indonesia di Jepang).

<