Sunday, December 24, 2006

Penanganan dan Pendidikan Bencana : Belajar Dari Jepang

Penanganan dan Pendidikan Bencana

Belajar Dari Jepang

Oleh :Ubedilah Badrun

Dalam rangka memperingati bencana tsunami di Aceh yang terjadi tgl 26 Desember dua tahun lalu, ISTECS chapter Japan bekerjasama dengan Indonesia Vision beberapa waktu lalu mengadakan diskusi online dengan tema “Memasyarakatkan Pendidikan Dan Pelatihan Siaga Bencana Dengan Memanfaatkan Hari Siaga Bencana Nasional“. Tema ini sengaja diangkat untuk mendudukan secara jernih upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam menghadapi bencana, mengingat posisi geografis Indonesia yang tergolong rawan bencana. Pengalaman bencana yang sangat memilukan bagi bangsa Indonesia seperti tsunami di Aceh, Pangandaran, dan gempa di Yogyakarta yang menelan korban ratusan ribu jiwa adalah pengalaman yang patut dijadikan pelajaran sekaligus peringatan bagi komunitas terpelajar untuk merumuskan solusi tepat dalam menghadapi bencana di kemudian hari.
Diskusi ini menghadirkan Dr.Ir.M.Ridha, M.Eng (Tsunami and Disaster Mitigation Center, Universitas Syah Kuala), Dr.Bambang Rudiyanto (Wako University, JICA & Asian Disaster Reduction Center (ADRC)), dan Dr. Heru Susetyo LLM ( Visiting Researcher Disaster Prevention Research Inst Kyoto University & Chulalongkorn University, Asian Public Intellectual Fellow). Diskusi yang juga disiarkan melalui radio internet Radio ISTECS ini dipandu oleh Dr.Iko Pramudiono (divisi kajian ISTECS chapter Japan) ini berlangsung santai namun kaya informasi dan gagasan-gagasan yang patut direnungkan dan bisa dijadikan sebagai solusi dalam memecahkan kebuntuan penanganan bencana yang terjadi di Indonesia. Pengalaman Jepang dalam menanggulangi bencana banyak dijadikan rujukan untuk dijadikan pelajaran bagi Indonesia dalam menanggulangi bencana.

Pengalaman Aceh: BRR tidak efektif & Rendahnya Respon Masyarakat

Menurut M.Ridha, pendidikan siaga bencana (disaster education) di Aceh secara umum bisa dikatakan masih sangat lemah sekali, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh NGO-NGO lokal, termasuk oleh NGO internasional yang ditempatkan di Aceh. Pendidikan siaga bencana yang dilakukan di Aceh sifatnya masih terpisah-pisah atau sendiri-sendiri (sporadic). Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh sebenarnya punya satu bidang yang fokusnya mengkaji tentang bagaimana memberikan pendidikan siaga bencana kepada masyarakat. Namun menurut M. Ridha yang beberapa kali mengikuti pelatihan yang mereka lakukan yang melibatkan pegawai-pegawai pemda, kepolisan, dan NGO, pelatihan tersebut masih sangat tidak efektif. Pasalnya pelatihan hanya satu hari. Selain itu BRR juga melakukan beberapa kali simulasi di beberapa tempat, namun karena diadakan di tempat bekas tsunami, banyak masyarakat yang masih trauma, sehingga simulasinya tidak efektif. M.Ridha selanjutnya mengemukakan bahwa pemerintah daerah (pemda), pernah ingin memasukan pendidikan siaga bencana ini dalam kurikulum sekolah, namun sejauh ini belum serius, masih dalam batas wacana. Pernah ada forum bersama untuk membahas pentingnya pendidikan tsunami, namun dalam praktek di lapangan kesadaran itu sangat rendah. Bahkan antusiasme dari sekolah pun kurang. Bila ada orang datang ke sekolah tidak membawa bantuan, mereka kurang begitu mendapat respon. Mungkin karena problem ekonomi masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mereka tidak responsif karena ada hal lain yang bagi mereka merupakan kebutuhan mendesak.

Pengalaman Jepang

Dalam diskusi yang diikuti komunitas masyarakat Indonesia di Jepang ini Bambang Rudiyanto mengemukakan bahwa pada tahun 1950-an usai tsunami, Jepang sudah bisa memprediksi berapa menit setelah gempa bumi tsunami akan terjadi. Pada waktu itu waktu yang dibutuhkan kira-kira 20 menit setelah gempa bumi. Bagaimana dengan saat ini? Menurut Bambang saat ini hanya butuh waktu 3 menit untuk memprediksi tsunami setelah gempa terjadi. Ini berarti dari pusat gempa dan jarak laut ke pantai kira-kira membutuhkan waktu 10 menit gerakan air tsunami sampai ke daratan. Dengan demikian penduduk pantai Jepang memiliki waktu 6 atau 7 menit untuk bisa menyelamatkan diri dari tsunami. Di Indonesia belum ada sistem seperti ini. Tehnologi mutakhir dalam menghadapi bencana memang sudah saatnya dibuat di Indoensia, namun menurut Bambang harus diikuti pendidikan tsunami pada masyarakat. Model pendidikan ini menurut Bambang bisa dilakukan dalam bentuk cerita pada anak-anak SD. Model cerita ini dilakukan di Jepang. Cerita anak-anak atau bahkan sudah menjadi cerita rakyat masyarakat Jepang pada tahun 1854 tentang kejadian dibakarnya padi (inamura no hi) di daerah Nankai. Dalam cerita tersebut diceritakan ada seorang kakek yang melihat ombak yang tinggi kemudian ia memberitahu masyarakat dengan membakar padi, kemudian asap mengepul dimana-mana sebagai simbol adanya bahaya, sehingga masyarakat pada waktu itu siaga akan adanya bencana. Model cerita seperti ini pesan moralnya mudah dicerna anak-anak SD, yakni pentingnya kesiagaan dan partisipasi masyarakat dalam menyelamatkan sesama.

Hari Bencana Nasional & Penanganan Bencana Yang Komprehensif

Heru Susetyo pada sesi ketiga mengemukakan bahwa dari beberapa hasil risetnya tentang disaster education di Jepang menunjukkan bahwa Jepang menemukan ide penanganan bencana yang lebih komprehensif justru pada tahun 1960 setelah bencana gempa dan badai menerpa Jepang di tahun 1950-an. Sedangkan saat ini Jepang sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur disaster management. Pencanangan hari bencana yang dilakukan setiap 1 September sebagai peringatan bencana gempa bumi di Kanto di tahun 1923 adalah bagian penting dalam disaster management di Jepang. Pada momentum itu dilakukan berbagai kegiatan seperti disaster drill, training, seminar dan lain lain. Di semua daerah yang pernah terkena bencana, termasuk di Kobe pada tiap tanggal peristiwa bencana dijadikan momentum juga untuk membuat program mitigasi bencana dan sebagainya.
Berdasarkan pengalamannya Heru Susetyo yang beberapa kali ke Aceh mengemukakan bahwa ternyata belum ada upaya disaster drill atau disaster management yang di manage dengan baik. Baik dari bencana Aceh pada 2004, hingga bencana gempa di Yogyakarta dan tsunami di Pangandaran 2006. Menurut Heru Susetyo sebetulnya ada waktu satu tahun lebih untuk menyiapkan banyak upaya mitigasi bencana. Di Jepang pada tahun 1960 sempat bangkit menyusun konsep penanggulangan bencana, namun beberapa tahun kemudian tertidur kembali, dan baru setelah tahun 1995 ketika terjadi bencana gempa di Kobe mereka bangkit kembali. Menurut salah seorang Profesor di Jepang, hal ini adalah semacam turning point of disaster management di Jepang. Pada tahun ini terjadi fenomena munculnya gerakan-gerakan volunteer yang lebih masif dan disaster management yang lebih baik. Gempa Nigata tahun 2004 juga membangunkan kembali bangsa Jepang, menyadarkan pentingnya kegiatan mitigasi bencana yang terus menerus.
Selain itu Heru Susetyo juga mengemukakan betapa disaster education di Jepang dilakukan makin intensif. Sedangkan Indonesia yang sama-sama rawan bencana masih belum memiliki disaster management yang utuh. Di Jepang menurut Dosen UI ini ada juga disaster education yang dilakukan instansi, atau kantor-kantor swasta, yang dilakukan beberapa kali dalam setahun. Mereka melakukan latihan evakuasi dan penyelamatan diri dan lain-lain. Bahkan ada disaster drill yang diselenggarakan secara nasional setiap tanggal 1 September. Disaster education juga diakukan di sekolah.(TK, SD,SMP,dan SMA). Kegiatan ini paling intensif dilakukan di tingkat SD. Sementara di tingkat masyarakat mereka membentuk simbol tertentu yang ditempel di beberapa tempat atau rumah untuk sebagai tanda bahwa masyarakat tersebut tanggap bencana. Sementara di Indonesia menurut Heru Susetyo kultur tanggap bencana belum terbangun.

Undang-Undang Penanggulangan bencana Dan Masyarakat Yang Sadar Bencana

Pentingnya program pendidikan mitigasi bencana juga mengemuka dalam diskusi online ISTECS Chapter Japan . Menurut Heru Susetyo pendidikan mitigasi bencana di Jepang misalnya dilakukan dengan tujuan: (1) memberi informasi pada siswa tentang pengetahuan yang benar mengenai bencana, (2) memberi pemahaman tentang perlindungan secara sistematis, (3) membekali siswa melalui practical training bagaimana melindungi dirinya dan bagaimana mereka bisa merespon bencana tersebut secara tepat dan cepat. Informasi yang diberikan kepada siswa juga bisa dalam bentuk basic information (misalnya tentang mengapa gempa bumi terjadi), teknik dan perencanaan untuk mengurangi resiko bencana, pengetahuan tentang respon darurat, respon terhadap api, mengamankan diri mereka dari bahaya, evakuasi, dan pertolongan pertama. Latihan praktis yang diberikan adalah evakuasi praktis, bagaimana ketika terjadi bencana bisa sampai pulang secara aman sampai ke rumah. Mereka juga diwajibkan untuk hadir di national disaster drill day, juga training ke museum dengan menyaksikan simulasi pencegahan bencana. Selain itu menurut Heru Susetyo di Jepang juga ada pendidikan pemadaman kebakaran yang dilakukan secara rutin untuk anak-anak TK dan SD. Mereka juga melengkapi lingkungannya dengan tanda-tanda, semacam tulisan dan peta jika bencana terjadi anda harus kearah mana tempat yang harus dituju. Walhasil Jepang memiliki sistem yang sangat komprehensif dalam menghadapi dan menangulangi bencana. Sementara Indonesia menurut Herus Susetyo masih belum punya sistemnya, termasuk undang-undang penangulangan bencana juga belum lahir sampai sekarang. Kehadiran Undang-undang ini kalah cepat dengan undang–undang sektor ekonomi, politik, dan sebagainya. Langkah Indonesia seharusnya sudah saatnya menempatkan disaster education & disaster management pada posisi yang sangat penting. Selain itu pemerintah dan masyarakat harus membuat penanganan bencana sesuai dengan potensi dan kearifan masyarakat setempat (local wisdom), membuat semacam community based disaster education. Hal ini dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang sadar bencana.

Seismograph , operasionalisasi Institusi Dan Kurikulum Pendidikan Siaga Bencana

Dalam diskusi online yang disiarkan melalui radio ISTECS yang diikuti puluhan pendengar di seluruh dunia ini juga berlangsung sesi pertanyaan yang menarik. Jawaban-jawaban meyakinkan dan penuh dengan gagasan yang bermanfaat muncul dalam sesi ini. Sebut saja misalnya gagasan Bambang Rudiyanto yang meyakinkan pentingnya membeli tehnologi seismograph dari negera-negara maju meskipun dengan biaya mahal. Hal ini harus dilakukan sebab Indonesia baru memiliki 30 titik lokasi seismograph dan ini belum bisa mendeteksi tsunami lebih dini. Menurut Bambang biayanya memang mahal, tetapi mau tidak mau teknologi harus kita ambil dari negara yang lebih maju. Sementara M.Ridha memberikan kritik yang tajam tentang fenomena Badan Koordinasi penangulangan bencana yang kesannya mirirp sebuah kepanitiaan. Selain itu menurut aktivis Tsunami and Disaster Mitigation Center Universitas Syah Kuala ini, konsep penanggulangan bencana nampak bagus diatas kertas namun operasionalnya belum.
Menanggapi soal kurikulum pendidikan penanggulangan bencana, Heru Susetyo mengemukakan bahwa kurikulum kita harus hati-hati juga, jangan sampai konsepnya hanya sekedar informasi. Hal terpenting adalah bagaimana memasukan disaster education tersebut kepada masyarakat dengan lebih mudah. Pengalaman di Jepang menunjukkan bahwa adanya cerita-cerita rakyat tentang tsunami memberi dampak positif bagi kesiagaan warganya. Model cerita ini bermanfaat bagi anak-anak ketika menghadapi bencana, karena itu membuat cerita bencana yang mudah dimengerti oleh anak-anak merupakan langkah yang menarik untuk ditiru Indonesia. Jadi tidak sekedar memasukkan disaster education dalam kurikulum tetapi juga perlu dipikirkan berbagai cara menerapkan disaster education, termasuk melalui buku-buku cerita, komik dan melalui media televisi.

Ubedilah Badrun, divisi Kajian Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) chapter Japan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<