Sunday, December 24, 2006

Motivasi Berorganisasi: Sebuah Catatan Evaluatif

Motivasi Berorganisasi Kita

Sebuah Catatan Evaluatif

Oleh: Ubedilah Badrun

Tidak sedikit sebuah organisasi mengalami penurunan motivasi dalam menjalankan roda organisasinya. Hal demikian biasanya nampak dari munculnya banyak keluhan-keluhan dari para aktivis organisasi tersebut dan mandegnya aktivitas organisasi. Keluhan ini terjadi bisa disebabkan karena ada masalah di wilayah motivasi para aktivisnya. Sebuah kerancuan motivasi mungkin sedang terjadi. Lalu, pembenaran-pembenaran alasan dirumuskan, misalnya karena banyaknya aktivitas sehingga hilang konsentrasi untuk menggerakan roda organisasi atau karena organisasinya tidak lagi dianggap memiliki greget. Konsekuensi ini nampak pada kecenderungan para aktivisnya yang berharap dari organisasi bukan bagaimana memberi kontribusi bagi organisasi.Walhasil organisasi menjadi stagnan. Dalam konteks ini mungkin perlu disegarkan kembali dengan menguliti motivasi, melakukan evaluasi kritis atas motivasi dalam berorganisasi. Untuk itu mendiskusikan kembali teori motivasi yang selama ini berkembang atau mungkin juga dianut para aktivis organisasi perlu didilakukan.

Kritik Atas Teori Abraham Maslow

Dalam kajian psikologi, motivasi sering didefinisikan sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan atau gerak hati dalam diri individu (Hersey, Blanchard dan Johnson, 1996), dengan kata lain sesuatu yang menggerakkan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu, atau sekurang-kurangnya mengembangkan sesuatu karena hal tertentu (Hodgetts,1996). Kemudian dijelaskan lebih jauh oleh Abraham Maslow manusia memiliki motivasi karena didorong oleh adanya kebutuhan-kebutuhan, dari kebutuhan fisiologis dasar (the physiological needs), kebutuhan akan rasa aman dan tentram (the safety and security needs), kebutuhan untuk dicintai dan disayangi (the love and belonging needs), kebutuhan untuk dihargai (the esteem needs), kebutuhan untuk aktualisasi diri (self-actualization). Teori Abraham Maslow ini telah dianut oleh sebagain besar umat manusia bahkan bisa jadi dianut juga oleh para aktivis organisasi yang berbasis Islam. Untuk itu kritik atas teori hirarki Maslow ini perlu didiskusikan.
Dalam kajian psikologi kontemporer, para analis psikologi mencoba untuk melakukan kritik atas teori Maslow ini antara lain yang dilakukan oleh
Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital (Mizan: 2005) tentang perlunya pembalikan hirarki kebutuhan. Beberapa kritik lain atas teori Maslow ini juga muncul dari para pegiat psikologi terapan di Indonesia antara lain yang dilakukan oleh Ubaydillah,AN seorang trainer dengan bidang kekhususan Life Learning Skill Development (Mari membalik Hirarki, http://www.e-psikologi.com,2006). Dalam analisisnya berdasarkan bacaan-bacaan di bidang manajemen terdapat tiga kritik penting terhadap teori Maslow . Pertama, setiap tingkatan atau hierarki, harus dipenuhi lebih dulu sebelum tingkatan berikutnya diaktifkan. Orang tidak terdorong untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan sosial sebelum kebutuhan fisiknya dapat dipenuhi. Orang tidak terdorong untuk mengaktualisasikan dirinya sebelum kebutuhan lain-lain terpenuhi. Kedua, setelah satu kebutuhan dipenuhi, kebutuhan tersebut tidak lagi dapat memotivasi perilaku seseorang. Tingkatan kebutuhan di atas hanya bisa diibaratkan seperti pintu masuk. Jauh sebelum kita sampai rumah, yang kita tuju adalah pintu masuk rumah. Begitu kita sudah sampai di depan rumah, kepentingan kita dengan pintu masuk hanyalah untuk bisa melewatinya. Jika ini dikaitkan dengan usaha memotivasi orang, maka yang diperlukan adalah mengetahui sudah sampai pada hierarki ke berapa kini orang itu berada. Seandainya orang itu masih berada pada hierarki fisiologi lantas dimotivasi untuk melakukan hal-hal yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sosial, ini mungkin tidak kena. Paling-paling dia akan jawab: “wong cari makan aja susah, masak diajak yang nggak-nggak. . .”. Ketiga, Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu menjadi dua tingkat, yaitu: tingkat atas dan tingkat bawah. Kebutuhan fisiologis dan keamanan digambarkanya sebagai kebutuhan tingkat bawah. Sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri digambarkannya sebagai kebutuhan tingkat atas. Kebutuhan tingkat bawah mendapatkan pemenuhan dari faktor eksternal. Sementara kebutuhan tingkat atas mendapatkan pemenuhan dari faktor internal.
Bisa diamati secara real dalam kehidupan masyarakat kita termasuk juga dalam kehidupan berorganisasi, betapa tidak sedikit mandegnya organisasi karena miskin aktualisasi diri (baca : miskin kreativitas dan miskin inovasi pelaku organisasi) dengan alasan kebutuhan fisiologis dan rasa aman belum terpenuhi. Inilah dampak kronis dari logika hirarkis Abraham Maslow yang juga mungkin dianut para aktivis organisasi termasuk mungkin juga terjadi di organisasi yang berbasis Islam. Konon, sebelum wafat, Abraham Maslow, Bapak Penggagas Hierarki Kebutuhan itu, sempat menunjukkan penyesalannya. Teori motivasi yang digagasnya itu mestinya perlu direvisi. Apanya yang perlu direvisi? Menurut yang ditulis Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital (Mizan: 2005), katanya, Hierarki Kebutuhan yang digagasnya mestinya perlu dibalik.
Pembalikan hirarki ini menjadi amat penting bagi upaya dinamisasi aktivitas dalam suatu organisasi dan bagi kepentingan pencapaian tujuan organisasi. Bahwa aktualisasi diri sesungguhnya bisa dilakukan kapan saja untuk memerankan kedirian kita dan siapa diri kita sesungguhnya ditengah-tengah masyarakat untuk berkontribusi. Tentu saja jika kita sudah meniatkan diri bergabung dalam organisasi yang berbasis Islam, konteks aktualisasi dirinya sudah seharusnya didasari oleh motivasi-motivasi yang berbasis nilai-nilai Islam. Untuk itu perlu refleksi ulang atas motivasi kita. Bagaimana Islam memandang motivasi?

Islam Memandang Motivasi

Jika motivasi dipahami sebagai dorongan dalam diri seseorang dalam menjalani hidup di muka bumi ini maka Islam sangat jelas memberi koridor bagi segala aktivitas ummatnya, termasuk dalam hal berorganisasi. Dalam Alqur’an Alkarim Allah subhanahuwata’ala berfirman :"Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah."(Al-An'aam 162-163). Ayat ini menggambarkan dengan jelas bahwa segala aktivitas seorang muslim seharusnya didasari atas motivasi pada pencapaian hanya untuk Allah, termasuk dalam berorganisasi.
Bagaimana jika dalam perjalanan organisasi para aktivisnya dihadapkan dengan berbagai persoalan yang bisa jadi membuat turunnya motivasi dan berakibat pada stagnasi organisasi. Dalam sebuah hadis diriwayatkan, “Jika kalian berada dalam perkara yang besar, maka katakanlah Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil.” Adalah Nabi Ibrahim a.s. juga melantunkan ucapan ini ketika dilempar ke dalam api. Ini artiny apa? Sejauh yang dapat kita tangkap, dari hadis tersebut digambarkan betapa optimisme dengan cara bertawakal pada Allah menjadi hal yang penting ketika segala upaya menyelesaikan masalah sudah kita lakukan. Islam juga melarang berputus asa atas rahmat Allah sebagaimana Allah berfirman dalam kisah Nabiu Yusuf :“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah , melainkan kaum yang kafir" (QS 12: 87). Pada ayat lain juga dikemukakan “Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat" (QS 15:56).
Dari gambaran sebagaimana yang termaktub dalam AlQur’an maka kita disadarkan kembali bahwa sesungguhnya Islam memandang Motivasi begitu penting. Dari beberapa ayat diatas setidaknya dapat disimpukan tiga hal penting. Pertama, Islam menegaskan bahwa motivasi utama manusia menjalankan aktivitas apapun adalah semata-mata untuk Allah (lillahirobbil a’lamiin).Kedua, Islam melarang rasa putus asa, dengan demikian Islam menempatkan semangat untuk terus berjuang dan tidak kenal lelah betatapun beratnya masalah itu. Ketiga, Islam memposisikan orang yang tidak memiliki motivasi (berputus asa) sebagai orang-orang yang sehat dan kafir. Dari ketiga gambaran tersebut sudah cukup bagi seorang muslim untuk terus menjaga motivasinya dalam segala aktivitas.

Manusia Mahluk Sosial yang Membutuhkan Orang lain Dan Bagaimana Islam memandang Organisasi ?

Aristoteles seorang ahli filsafat Yunani pernah menyebutkan bahwa manusia itu mahluk sosial dan mahluk politik (zoon politicon). Manusia tidak bisa hidup sendiri, ia selalu membutuhkan kebreadaan orang lain. Airstoteles tentu saja mendasarai pemikirannya dari analisisnya terhadap relitas manusia di zamannya. Bahwa memang manusia secara fitrahnya membutuhkan keberadaan manusia lain.
Allah Ta'ala berfirman:"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan wanita yang banyak ..." (An Nisaa' [4]: 1). Firman-Nya yang lain:"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal ..." (Al Hujuraat [49]: 13). Kemudian di ayat yang lain Allah Ta'ala juga berfirman:"... Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu" (An Nisaa' [4]: 1).
Dari ayat di atas tergambarkan dengan jelas bahwa keberadaan manusia sesungguhnya diciptakan tidak sendirian tetapi kemudian berkembang biak dan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Selain itu realitas keberagaman dan banyaknya manusia itu juga ditegaskan bahwa manusia sesungguhnya sebagi mahluk yang saling meminta satu sama lain. Ini artinya dalam menjalankan kehidupannya manusia tidak bisa sendirian, ia harus bersama orang lain dan membutuhkan orang lain. Disinilah pentingnya berorganisasi atau berkumpul bersama orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Bahkan hatta setelah berorganisasi pun manusia tetap membutuhkan pertolongan orang lain dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasionalnya. Dalam kajian organisasi modern inilah yang kemudian disebut team work atau dalam bahasa Islam yang lebih cocok disebut amal jama’i. Maka kebersamaan, kepercayaan dan keterbukaan untuk menjalankan amanah berorganisasi menjadi sesuatu yang penting bagi jalanya roda organisasi. Dalam kaitanya dengan motivasi maka motivasi adalah ruh organisasi sedangkan amal jama’i adalah operasionalisasi bagi bergeraknya organisasi. Penulis membayangkan betapa indahnya berorganisasi jika motivasi para aktivisnya sudah selaras sebagaimana Islam memandang motivasi dan jalanya organisasi bergerak dengan jalan amal jama’i. Maka menjadi aneh jika sebuah organisasi yang mendasarkan dirinya berbasis Islam tetapi ia mengalami stagnasi. Jika hal ini terjadi maka problemnya bisa jadi pada salahnya memahami motivasi dan salah dalam memahami pentingnay memerlukan bantuan orang lain.
Di penghujung tulisan ini penulis mengingatkan betapa kita semua mengharapkan sejatinya cinta yakni cinta Allah pada kita, dan di medan organisasi ini betapa Allah mencintai orang-orang yang berorganisasi yang berjalan di jalan-Nya dengan barisan atau organisasi yang teratur. Semoga para aktivis organisasi yang berbasis Islam selalu berusaha keras agar Allah mencintai kita yang berorganisasi dijalan Allah dimanapun aktivitas kita dalam berorganisasi. Mari kita mencari cinta_nya Allah dengan berorganisasi sebagaimana Allah SWT berfirman :“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaf: 4).

Ubedilah Badrun, divisi kajian Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) Chapter Japan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

<