Wednesday, September 21, 2005

Dibalik Kemenangan Koizumi

Dibalik Kemenangan Koizumi
Oleh : Ubedilah Badrun
Tulisan ini dimuat di www.hminews.com pada rubrik Opini

Pemilu Jepang usai dilaksanakan pada 11 September 2005 lalu dengan kemenangan LDP(Liberal Democratic Party) atau Jiyuminshuto dengan memperoleh 296 kursi di parlemen. Dengan kemenangan itu dan didukung 44 kursi dari partai koalisi di parlemen Junichiro Koizumi dengan mudah terpilih kembali sebagai Perdana Menteri Jepang setelah 340 dari 480 suara anggota Majelis Rendah Parlemen memilihnya pada sidang parlemen, Rabu (21/9). Dua per tiga kursi Majelis Rendah memang ditempati oleh koalisi yang berkuasa pendukung Koizumi. Keputusan majelis rendah disusul keputusan senada dari Majelis Tinggi Parlemen. Sidang dilaksanakan selang beberapa jam setelah kabinet secara massal mengundurkan diri. Pengunduran diri ini merupakan formalitas untuk memuluskan sidang parlemen serta penunjukan perdana menteri. Hal ini dilakukan mengingat koalisi sudah menguasai Majelis Rendah dan Tinggi. Sejumlah pengamat menduga, setelah terpilih kembali, Koizumi akan melantik kembali kabinet yang membubarkan diri paling lambat Rabu malam.
Apa yang dilakukan Koizumi setelah itu? Jawabanya sudah pasti bahwa Koizumi akan memusatkan perhatian untuk melakukan swastanisasi Kantor Pos, sesuai program saat kampanye Pemilu. Kantor Pos Jepang adalah lembaga keuangan raksasa dengan simpanan hingga tiga triliun dollar AS, belum termasuk aset asuransi jiwa yang dikelolanya. Ada apa dibalik program swastanisasi Kantor Pos Jepang ? Argumentasi sederhana yang ditangkap penulis melalui sejumlah media Jepang dan diskusi dengan komunitas Jepang di Tokyo ditemukan bahwa Kantot Pos Jepang beroperasi dengan biaya negara dan dikelola oleh pegawai yang berstatus pegawai negeri. Karena merupakan perusahaan negara maka biaya pengelolaan Kantor Pos yang menyebar di seluruh wilayah Jepang ini diperoleh dari pajak rakyat dengan jumlah yang amat besar. Sementara perolehan keuntungan dari Kantor Pos Jepang tidak seimbang dengan pengeluaran yang ditanggung pemerintah. Sementara sumber perolehan dari pajak rakyat diprediksikan dalam 10-20 tahun kedepan mengalami penurunan yang amat drastis. Sebab jumlah pembayar pajak mengalami penurunan yang tajam.
Tahun 2005 ini jumlah pembayar pajak mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena para wajib pajak tidak mampu membayar pajak dan tidak terkena wajib pajak karena usianya yang tidak produktif lagi. Jumlah penduduk yang tidak produktif di Jepang yang berusia di atas 65 tahun mencapai 20% dari seluruh jumlah penduduk Jepang. Ini artinya sumber pajak Jepang mengalami penurunan mencapai 20 %. Disaat yang sama mereka juga berhak memperoleh uang pensiun yang telah mereka bayar sejak usia 20 tahun. Di Jepang setiap warga negara yang sudah berusia 20 tahun setiap bulannya wajib membayar uang pensiun sebesar lebih dari ¥ 13.000 atau sekitar lebih dari satu juta rupiah. Bisa dibayangkan betapa banyak uang yang harus dikeluarkan pemerintah Jepang untuk para pensiunan, yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal produktif lainya.
Sementara dikalangan muda Jepang kini menghadapi permasalahan yang cukup serius sebab tidak sedikit anak muda Jepang yang berusia produktif tidak mau bekerja dan tidak mau sekolah. Kelompok anak muda ini menyebut dirinya NETO, suatu komunitas muda Jepang yang tidak mau bekerja dan tidak mau melanjutkan pendidikan. Dalam perspektif filsafat bisa jadi mereka masuk kategori kelompok hedonisme. Realitas anak muda usia produktif ini seharusnya bisa menjadi wajib pajak dan bisa menambah devisa negara dari pajak mereka. Ini artinya sumber penghasilan negara dari pajak juga mengalami penurunan.
Para perempuan Jepang yang bekerja sangat takut mempunyai anak sebab jika melahirkan itu artinya harus siap kehilangan pekerjaan. Sebab sulit bagi perusahaan Jepang untuk menerima kembali perempuan Jepang menduduki posisi semula dari pekerjaanya seperti sebelum melahirkan. Banyak kasus pekerja perempuan setelah cuti hamil kemudian ingin kembali bekerja tetapi tidak memperoleh pekerjaan. Selain itu ketakutan punya anak juga disebabkan karena living Cost Jepang yang amat mahal, mereka ketakutan dengan biaya hidup dan masa depan anaknya yang harus memerlukan biaya yang mahal, dari biaya hidup sampai biaya sekolah. Perihal ketakutan punya anak inilah yang menyebabkan angka kelahiran di Jepang merupakan terendah di dunia. Rea;itas inilah yang kemudian para ahli demografi di Jepang memperkirakan bahwa menjelang tahun 2007, penduduk Jepang diperkirakan mencapai 127 juta jiwa, dan kemudian menyusut menjadi 100 juta menjelang pertengahan abad. Ini berarti jumlah pekerja berkurang 30 juta orang, sedangkan jumlah orang lanjut usia hampir berlipat dua. Dengan demikian sumber pajak dari rakyatpun berkurang secara drastis.
Realitas yang mengkhawatirkan berkurangnya devisa negara dari pajak rakyat inilah yang merupakan salah satu pendorong Koizumi untuk melakukan swastanisasi Kantor Pos. Sebab biaya pengelolaan kantor Pos yang begitu besar itu bersumber dari pajak rakyat yang kini diprediksi akan mengalami penuruan secara drastis. Dengan demikian jika Kantor Pos masih dikelola negara dengan biaya yang besar itu maka tidak mustahil akan mengalami kebangkrutan total. Ini analisis yang coba dilihat secara sederhana dari logika perpajakan dan pensiunan Jepang. Tetapi jika dilihat dari latar idiologi Koizumi dan partainya (LDP) yang penganut Liberalisme dan Koizumi termasuk pemimpin Asia yang paling dekat dengan G.W.Bush maka logika perpajakan itu tidak berlaku. Koizumi dengan idiologi liberalismenya ingin membebaskan swasta berinvestasi di Perusahaan Pos itu dan diketahui secara umum bahwa banyak perusahaan swasta atau investor Jepang yang memiliki jaringan bisnis dengan Amerika. Ini semacam konvensasi pembuktian idiologi liberal Koizumi untuk Amerika. Sebab Jepang di bawah Koizumi sungguh-sungguh membutuhkan Amerika dalam menghadapi hubungan politiknya yang tegang dengan China dan Korea Utara saat ini.
Hal diatas sekedar analisis sederhana. Jika nalisis ini keliru , maka realitas kemenangan Koizumi adalah sekedar bukti dari kehausan masyarakat Jepang yang ingin perubahan. Jika benar, itulah rahasia dibalik kemenangan Koizumi.
Ubedilah Badrun, tinggal di 4-6-6 Meguro Meguroku Tokyo- Jepang.

Tuesday, September 20, 2005

Pendidikan Untuk Masa Depan

Sebuah Refleksi Pendidikan Untuk Masa Depan
Oleh : Ubedilah Badrun
Tulisan ini dimuat di
http://www.tokyo-indonesian-school.com/indonesian/opini.html

Sengaja tulisan ini dibuat untuk sekedar urun rembuk dalam rangka menyambut peringatan hari pendidikan nasional 2 Mei 2005. Hari dimana 116 tahun yang lalu lahir seorang tokoh yang kemudian segenap hidupnya dicurahkan untuk kepentingan pendidikan anak bangsa walau harus menerima resiko merasakan kerasnya penjara kolonial Belanda. Dia pernah membuat Belanda marah dengan tulisanya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was. Dia adalah Ki Hajar Dewantara, anak Keraton yang tidak mau memakai embel-embel Raden di depan namanya. Ia menangis dan kemudian bergerak ketika melihat anak bangsa tidak bisa sekolah karena sekolah yang dibuat Belanda sangat diskriminatif dan cenderung hanya untuk orang-orang kaya. Ki Hajar Dewantara kemudian mendirikan sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah untuk semua anak bangsa. Di sekolah inilah karakter kebangsaan anak bangsa di bentuk untuk masa depan bangsanya, sebuah kemerdekaan. Inilah salah satu titik penting, betapa pendidikan merupakan wahana yang paling strategis untuk membangun masa depan bangsa sebagaimana yang dicontohkan Ki Hajar Dewantara.
Kini, ketika kemerdekaan bangsa sudah lebih dari 59 tahun, persoalan pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak masalah dan bahkan mengalami keterpurukan. Banyak para ahli pendidikan mengemukakan bahwa keterpurukan bangsa Indonesia hari ini adalah akibat langsung maupun tidak langsung dari kesalahan kebijakan pemerintah Orde Baru(1966-1998) yang tidak peduli pada pendidikan, misalnya untuk sektor pendidikan hanya dianggarkan 7 % saja dari APBN ( Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), padahal Malaysia dan Thailand pada waktu itu sudah menganggarkan lebih dari 20 % untuk pendidikan dari APBN nya. Persoalan anggaran ini meski tidak menjadi satu-satunya faktor tetapi keberadaanya memiliki dampak yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, dan kini Indonesia berada pada masa demokrasi yang mulai maju, berbagai masalah masih terus menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Seperti yang dilaporkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berkantor pusat di Hongkong, mengumumkan hasil surveinya tentang penilaian mengenai kualitas pendidikan di kawasan Asia yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang pendidikanya terburuk di kawasan Asia dan bahkan satu tingkat di bawah Vietnam. Selain itu kualitas sumber daya manusia Indonesia juga rendah sebagaimana dijabarkan dalam Human Development Index (HDI) pada tahun 2004 lalu. Pada saat ini Indonesia menduduki peringkat 110 dari 173 negara, terburuk di Asia Tenggara. Variable yang digunakan dalam penghitungan HDI mencakup tiga bidang strategis pembangunan yaitu: pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Lalu, bagaimana kita mensikapi fenomena keterpurukan bangsa kita di atas? Sulit memang untuk merubah masalah bangsa yang jumlah penduduknya lebih dari 210 juta jiwa. Padahal kedepan bangsa kita akan menghadapi tantangan yang cukup berat, menyangkut kehidupan bangsa Indonesia secara nasional dan dalam kehidupan global diantara bangsa-bangsa di dunia.
Kunci utama bagi suksesnya pendidikan untuk masa depan bangsa adalah sejauhmana kita tetap optimis menatap masa depan, tanpa harus kehilangan rasionalitas kita untuk selalu mengoreksi diri dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Secercah optimisme kini sudah mulai nampak, misalnya bisa dilihat dari jumlah anggaran pendidikan yang akan dinaikan menjadi 20 % dari APBN. Tidak tangggung-tanggung kenaikan anggaraan pendidikan ini tertuang dalam amandemen UUD 1945. Meski hingga saat ini realisasinya masih belum nampak, tetapi optimisme akan terwujudnya amanah UUD 1945 itu harus terus dijaga. Apalagi kini bangsa kita menjadi bangsa yang Demokratis di mata dunia Internasional (setelah pemilu 2004 menjadi negera demokrasi terbesar setelah Amerika dan India), dan ini menjadi modal penting bagi identitas kemajuan sebuah bangsa.
Optimisme saja memang tidak cukup kalau tidak diikuti dengan langkah-langkah konkrit. Lalu, langkah konkrit apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita untuk masa depan ? Tentu jawabanya amat sangat banyak, tetapi penulis coba menjawabnya secara sederhana saja. Beberapa jawaban sederhana dibawah ini bisa juga sebagai refleksi untuk sama- sama kita renungkan.
Pertama, pendidikan itu tanggungjawab semua warga negara, bukan hanya tanggungjawab sekolah. Konsekuensinya semua warga negara memiliki kewajiban moral untuk menyelamatkan pendidikan. Sehingga diandaikan ada warga negara yang tidak bisa sekolah hanya karena tidak punya uang, maka warga negara yang kaya atau tergolong sejahtera memiliki kewajiban moral untuk menjadi orang tua asuh bagi kelangsungan sekolah anak yang tidak beruntung itu. ( ingat ! akibat krisis yang berkepanjangan, jumlah anak putus sekolah pada tahun ini mencapai puluhan juta anak di seluruh Indonesia).
Kedua, penulis meyakini paradigma yang mengatakan bahwa “pendidikan itu dimulai dari keluarga”. Paradigma ini penting untuk dimiliki oleh seluruh orang tua untuk membentuk karakter manusia masa depan bangsa ini. Keluarga adalah lingkungan yang paling pertama dan utama dirasakan oleh seorang anak, bahkan sejak masih dalam kandungan. Karena itu pendidikan di keluarga yang mencerahkan dan mampu membentuk karakter anak yang soleh dan kreatif adalah modal penting bagi kesuksesan anak di masa-masa selanjutnya.
Ketiga, kurikulum pendidikan, metodologi pengajaran, sitem evaluasi dan kesejahteraan guru, juga adalah hal penting yang harus terus di perbaiki. Masalah kurikulum misalnya bisa dicermati dari padatnya kurikulum atau terlalu banyaknya pelajaran juga menjadi persoalan tersendiri yang seringkali menghambat kreatifitas guru mapun siswa. Penulis sebetulnya lebih setuju jika sekolah menerapkan sitem SKS ( Sistem Kredit Semester), dimana siswa diberikan kebebasan memilih mata pelajaran wajib dan pilihan dan ada ketentuan batas minimal jumlah kredit yang harus diselesaikan sehingga dinyatakan lulus suatu jenjang pendidikan tertentu.(khususnya untuk tingkat SMP dan SMA). Apalagi jika sistem SKS ini dipadukan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), mungkin akan lebih membuat siswa menikmati belajar. Masalah metodologi pengajaran juga perlu terus dikembangkan ( ini kewajiban guru). Sementara masalah sistem evaluasi juga perlu terus diperbaiki, seperti misalnya masalah Ujian Nasional yang hingga kini masih dipermasalahkan. Dan masalah kesejahteraan guru, ini juga perlu di cermati. Sebab, bagaimana mungkin guru akan asyik mengajar sementara urusan kesejahteraannya bermasalah. Atau bagaimana mungkin guru mengajar tidak gagap tehnologi dan informasi, sementara ia tidak punya uang untuk beli majalah, jurnal, buku-buku baru, apalagi beli komputer yang bisa akses dengan mudah ke internet!?. Karena itu kesejahteraan guru juga harus diperhatikan.
Keempat, untuk meningkatkan kualitas pendidikan demi masa depan diperlukan juga ketegasan untuk menegakkan aturan-aturan maen pendidikan yang konsisten dan konsekuen. Sekolah seringkali tidak menghargai siswa yang belajar sungguh-sungguh, buktinya ada banyak siswa yang enggak belajar, malas-malasan, nilainya selalu merah, tapi naik kelas juga?! Pokoknya 100% selalu naik kelas. Ini kan sama artinya tidak menghargai anak yang sungguh-sungguh belajar. Sebab yang santai-santai saja pasti naik kelas. Dan juga sekaligus tidak mendidik anak untuk belajar menghadapi resiko. Karena itu jangan heran jika mental manusia Indonesia cenderung enggak berani mengambil resiko, karena di sekolah tidak diajarkan untuk menghadapi resiko.?
Kelima, pendidikan itu tidak hanya untuk mencerdaskan anak dalam satu kategori kecerdasan, misalnya hanya kecerdasan intelektual (IQ) tetapi juga untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lainya. Seperti kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan rasa (EQ), dan kecerdasan ketahanmalangan (AQ), dan sebagainya. Atau para ahli psikologi menyebutnya sebagai Multiple Intelligence. Sebab, salah satu penyebab bangsa kita berlarut-larut dalam krisis juga karena bangsa kita miskin SQ atau tepatnya miskin ahlak. Karena itu hal-hal yang sifatnya spiritual juga menjadi sesuatu yang penting untuk terus di jaga dan dikembangkan melalui pendidikan. Termasuk juga membentuk semangat team work, pluralism, dan optimistik perlu dikembangkan di sekolah, misalnya bisa melalui kegiatan ekstrakurikuler, OSIS, dan kegiatan keagamaan. Itulah sebabnya Ki Hajar Dewantara sejak awal mendirikan sekolah Taman Siswa juga mengedepankan pendidikan yang memekarkan rasa.
Keenam, mulailah merubah dari diri sendiri. Sebab untuk kemajuan masa depan bangsa harus bisa dimulai dari diri sendiri. Tentu saja dengan terus meningkatkan kualitas diri. Bukankah kemajuan sebuah bangsa tidak bisa terwujud dengan perilaku santai dan bermalas-malasan !!!?.
Ubedilah Badrun, Pemerhati Pendidikan dan Praktisi Pendidikan. Saat ini tinggal di Tokyo dan mengajar di Tokyo Indonesian School.

Bila Golkar Menang Pemilu 2004

Bila Golkar Menang Pemilu 2004
Oleh : Ubedilah Badrun
Tulisan ini dimuat di

Lebih dari seratus hari lagi Pemilu 2004 akan berlangsung. Bagi partai politik yang akan bertarung pada pemilu 2004 nanti, hitungan hari itu menjadi begitu penting, karena menyangkut langkah-langkah strategis yang harus dilakukannya untuk mencapai kemenangan, atau paling tidak agar bisa memiliki wakil di parlemen. Karenanya berbagai langkah strategis dilakukan oleh banyak partai, dari partai besar sampai partai gurem sekalipun. Banyak kegiatan partai yang secara substantif sebetulnya sudah memulai kampanye meski dikemas dengan beragam kegiatan yang nampaknya seperti kegiatan sosial ataupun kegiatan akademik, misalnya dalam bentuk bakti sosial atau seminar, diskusi, dan dialog. Bahkan di beberapa tempat nampak bendera partai bertebaran di sepanjang jalan. Partai politik nampaknya meyakini bahwa itu tidak dikategorikan ‘mencuri’ start.
Rupanya yang ikut sibuk menjelang pemilu ini tidak hanya Partai Politik tetapi juga lembaga-lembaga lain di luar partai politik. Sebut saja misalnya sejumlah LSM ikut sibuk mengadakan survei mengenai Presiden dan kemungkinan partai yang akan menjadi pemenang Pemilu pada 2004 nanti. Denny JA (Media Indonesia, 29 Sept 2003) mencatat bahwa dalam enam bulan terakhir ini, ada beberapa survei yang dikerjakan oleh beberapa lembaga (IRI,IFES. LP3ES, LSI), namun dengan hasil yang kurang lebih sama. Bahwa partai Golkar dan orang-orang Golkar akan kembali naik ke panggung politik. Sebagaimana yang dipublikasikan oleh lembaga lain, Denny JA kemudian mengemukakan bahwa LSI juga sampai pada konklusi yang sama. Partai Golkar akan kembali mendominasi parlemen, jika pemilu diselenggarakan hari itu (di hari survei, bulan Agustus 2003). Perkiraan perolehan Golkar sebanyak sekitar 30% dan mengalahkan PDIP yang anjlok. Persentase yang diperoleh Golkar memang berbeda-beda di antara lembaga survei. Namun menurut Denny JA urutannya tetap sama, bahwa Golkar nomor satu.
Sejumlah temuan survei diatas meskipun tingkat akurasinya tidak setajam Gallup Poll di Amerika atau SWS (Social Weather Station) di Filipina, sebagaimana disinyalir Denny JA (Republika,4 oktober 2003), nampaknya hasil polling diatas menurut hemat penulis perlu dicermati secara lebih prediktif dengan sebuah pengandaian. Ada pengandaian yang perlu didiskusikan dalam mencermati kemungkinan hasil pemilu 2004 dan efektifitas pemerintahan baru setelah pemilu dilaksanakan. Pengandaian itu memunculkan sebuah pertanyaan penting, yakni “ diandaikan Golkar menjadi pemenang Pemlilu pada 2004 nanti, bagaimanakah efektifitas pemerintahan bisa dijalankan?”. Pengandaian ini penting untuk paling tidak memberikan satu wacana yang sifatnya antisipatif atau prefentif.
Pengandaian dan Efektifitas Pemerintahanya
Andai Partai Golkar menjadi pemenang Pemilu pada 2004 nanti, baik pemenang jumlah kursi di DPR maupun Presiden yang dijagokannya menang, ada beberapa argumentasi rasional untuk meyakinkan bahwa perjalanan pemerintahannya sulit menjadi efektif, atau yang berjalan adalah pemerintahan yang tidak efektif. Beberapa argumentasi tersebut bisa dicermati dari tiga hal. Pertama, Partai Golkar adalah partai yang tidak lepas dari stigma Orde Baru. Stigma ini tentu saja beralasan karena memang selama Orde Baru berkuasa, partai Golkar lah yang menguasai hampir seluruh proses politik. Sehingga sejumlah kesalahan besar Orde Baru tidak bisa lepas dari kesalahan Golkar. Terhadap kenyataan ini, menjadi mahfum kalau kemudian kelompok-kelompok penentang pada masa Orde Baru menjadi oposisi yang kuat dan massif melawan pemerintahan yang dikuasai Golkar, dengan sejumlah tuntutan atas dosa masa lalu Golkar. Tentu saja pemerintahan Golkar sangat sulit mensikapi protes-protes kelompok penentangnya, sehingga ketegangan politik akan terjadi dan menyita waktu yang amat panjang. Implikasinya jalannya pemerintahan baru menjadi terganggu atau akan tidak efektif.
Kedua, Partai Golkar pada beberapa tahun terakhir ini telah memproduksi dosa baru yang masih menjadi masalah. Sebut saja misalnya mengenai Buloggate II yang secara hukum dan opini publik masih menempatkan Akbar Tanjung sebagai terpidana korupsi dana Bulog yang diduga digunakan untuk kegiatan Partai. Masalah ini akan tetap mengemuka dan menjadi ganjalan politik partai Golkar jika memenangkan Pemilu pada 2004 nanti. Saat ini saja realitas tersebut sering menjadi dagelan politik yang menggelikan dan merendahkan kualitas politik bangsa, hanya gara-gara satu orang kemudian Undang-Undang tentang Pemilihan Presiden yang diproduksi DPR masih membolehkan terdakwa mencalonkan diri menjadi Presiden. Dalam konteks masalah Akbar Tanjung ini, pada gilirannya akan mengganggu jalannya pemerintahan baru. Artinya pemerintahan Golkar akan menghadapi tuntutan publik mengenai masalah Akbar Tanjung yang nota bene adalah ketua umum partai Golkar. Sehingga jalannya pemerintahan setidaknya akan terganggu, dan jika masalah ini makin meruncing, maka dengan sendirinya pemerintahan akan berjalan tidak efektif.
Ketiga, kemenangan partai Golkar dengan sendirinya akan berimplikasi pada kuatnya bargaining position Golkar dalam berhadapan dengan partai-partai politik lainnya, baik di DPR maupun di kabinet bentukan Golkar. Hal ini berakibat pada terhambatnya penyelesaian agenda reformasi total yang digagas mahasiswa dan rakyat pada 1998, karena banyak agenda yang pada akhirnya bisa memperkarakan orang-orang Golkar. Sebut saja misalnya dalam agenda supremasi hukum dan penegakkan Hak Azasi Manusia, khususnya dalam kasus mantan Presiden Soeharto dan sejumlah tragedi kemanusiaan seperti tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Dengan masalah yang pada akhirnya bisa memperkarakan orang-orang Golkar ini, tentu saja Golkar sulit untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara total. Implikasinya pemerintahan baru akan berhadapan dengan kelompok penentang seperti mahasiswa yang radikalisasinya makin menguat, sehingga bisa berakibat pada tidak efektifnya pemerintahan baru.
Sebetulnya, selain tiga argumentasi diatas yang mengakibatkan akan tidak efektifnya pemerintahan baru jika partai Golkar menang, ada argumentasi empirik yang sudah berjalan dan terjadi pada setelah pemilu 1999 yang lalu. Bahwa hasil pemilu 1999 menunjukkan partai Golkar memperoleh suara pada peringkat kedua setelah PDIP. Pada akhirnya partai Golkar masih kuat mengendalikan DPR dan bahkan pemerintahan, sehingga pemerintahan baru berjalan tidak efektif untuk menegakkan reformasi total hingga hari ini. Pada peringkat kedua saja pemerintahan baru berjalan tidak efektif, apalagi jika partai Golkar perolehan suaranya diatas partai-partai lainnya. Artinya memang sulit berharap pemerintahan akan berjalan efektif jika pemenang pemilu justru diraih partai yang menjadi sumber masalah, atau paling tidak partai yang memiliki dosa politik tak terbantahkan.
Tindakan Prefentif
Jika prediksi ketidakefektifan pemerintahan baru itu benar atau setidaknya mendekati kebenaran, maka terlalu banyak social cost yang mesti dibayar rakyat, dan kerugian pada akhirnya akan menimpa masa depan bangsa ini. Karena itu yang diperlukan saat ini adalah tindakan prefentif agar kerugian besar itu tidak terjadi. Beberapa tindakan prefentif bisa dilakukan antara lain dengan dua hal. Pertama, kekuatan-kekuatan politik reformis termasuk partai politik reformis yang bebas dari dosa politik dan memiliki etika politk yang baik, segeralah melakukan konsolidasi politik secara sungguh-sungguh. Ego politik sesama kaum reformis nampaknya perlu dihilangkan, sebab bisa jadi hal itu menjadi titik lemah yang memudahkan kekuatan politik maupun partai non reformis memperoleh kemenangan
Kedua, fungsi sosialisasi politik dari partai politik (meminjam istilah Gabriel A Almond, Comparative Politics Today,1974), nampaknya perlu dilakukan secara lebih serius ke arah sosialisasi politik yang sehat tanpa harus kehilangan spirit untuk mengakhiri hegemony politik Orde Baru yang penuh dosa politik itu. Apa yang dilakukan Tewas ORBA ( komite waspada Orde Baru) beberapa hari yang lalu tentang Calon Presiden yang harus bebas Orde Baru bisa menjadi contoh penting bagi sebuah sosialisasi politk yang sehat dan antisipatif. Untuk mendudukkan persoalan masa depan bangsa kepada masyarakat ketimbang memenuhi kepentingan ego elit politik tertentu.
Jika dua hal minimal tersebut tidak dilakukan kaum reformis, dan kemudian partai Golkar kembali memenangkan pemilu maka realitas itu akan mendorng kemungkinan radikalisasi yang menguat dikalangan mahasiswa maupun rakyat. Wallahu a’lam.
( Ubedilah Badrun, Mengajar Civics Education & Social Science di The Tokyo-Indonesian School – Jepang ).

PKS Menang Telak di Tokyo


PKS Menang Telak DI Tokyo

Tokyo,Cyber News. Partai Keadilan Sejahrtera (PKS) tetap berjaya di Tokyo.Dalam perhitungan akhir, PKS menang telak dengan 1659 suara (37,46%) dari total suara sah berjumlah 4.428 suara.

“Perhitungan akhir di TPS Tokyo dari suara pemilih yang melalui Pos dan digabung dengan suara yang diperoleh pada saat perhitungan tanggal 5 April yang lalu diselesaikan dini hari tadi pkl.01.00 JST berakhir dengan kemenangan telak PKS dengan jumlah suara 1659 suara (37,46 %) dari total suara yang sah berjumlah 4.428 suara”, demikian siaran pers yang diterima SM Cyber News dari Ubedilah Badrun yang menjadi salah seorang saksi.

Dijelaskan urutan kedua ditempati oleh PDIP yang mampu mengumpulkan 495 suara (11,17 %), kemudian PAN 488 suara (11,02%), Golkar 365 suara(8,24%), PKB 305 suara(6,88%), PPP 244 suara(5,51%), PDS 236 suara(5,32%), PD 167 suara(3,77%), PBR 162 suara(3,65%), dan PBB 149 suara(3,36%). “Selebihnya diperoleh partai lain dan terdapat 141 suara tidak sah” ujar Ubedilah Badrun.

“Perhitungan suara sempat diwarnai perdebatan antara PPLN Tokyo, KPPS dengan sejumlah saksi dari partai politik (PKS dan PKB) dan saksi dari masyarakat yang kebetulan penulis sendiri sebagai saksi dari masyarakat Indonesia yang ada di Tokyo” ungkap Ubedilah Badrun.

Menurut Ubedilah Badrun, perdebatan tersebut menyangkut terdapatanya lebih dari 500 suara yang melalui Pos tidak disertai surat panggilan, namun kemudian PPLN Tokyo, KPPS, dan para saksi sepakat bahwa surat suara tersebut dinyatakan syah dengan alasan bisa jadi karena pemilih tidak mengerti keharusan surat panggilan juga di sertakan dalam amplop suara.

“Ini catatan penting bagi PPLN Tokyo agar pada saat Pemilu Presiden dan Wapres nanti perlu diintensifkan sosialisasinya” tandasnya. (Cn08).

Tamat VS Lulus

TAMAT vs LULUS ?
Sebuah Catatan Untuk Dunia PendidikanKita
oleh : Ubedilah Badrun


“ Diperkirakan 4 -15 Persen Peserta Ujian Nasional tidak lulus !!” (Kompas, 22 Februari,2003) Berita ini bagi sebagian kalangan tidak begitu mengagetkan, tetapi cukup membuat risau disebagian kalangan yang lain. Terlepas dari adanya kalangan yang kaget maupun yang tidak, menurut hemat penulis, dunia pendidikan kembali mengghadapi masalah. Setidaknya, model Ujian Akhir Nasional yang nanti Mei 2003 ini akan diterapkan telah membongkar salah satu topeng dunia pendidikan, yakni topeng atas nama mutu pendidikan.
Ada apa dengan mutu pendidikan kita ? Hasil Ujian Akhir Nasional tahun lalu menurut laporan Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana di kutip Kompas menunjukkan bahwa angka mati pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SLTP mencapai 14 persen dari total peserta. Sementara jumlah peserta yang mendapat angka mati untuk pelajaran matematika berkisar 7-10 persen, dan untuk pelajaran Bahasa Indonesia sekitar 4 persen. Di tingkat SMU, jumlah siswa yang mendapat angka mati untuk pelajaran Bahasa Inggris berkisar 5-15 persen, Matematika 6-10 persen, dan Bahasa Indonesia 5 persen. Dengan demikian kisaran prosentase siswa yang mendapat angka mati mencapai 4-15 persen dari total peserta. Inilah potret out put SLTP dan SMU pada Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun lalu. Bagaimana dengan UAN tahun ini ? Jika kisaran perolehan angka mati prosentasenya masih sama, maka dengan standar kelulusan yang baru, diperkirakan 4-15 persen peserta UAN tahun ini dinyatakan tidak lulus. Sebab untuk bisa dinyatakan lulus, rata-rata nilai UAN seorang siswa harus mencapai angka enam, dan tidak ada angka mati yaitu angka tiga atau lebih rendah.
Dengan kategori kelulusan seperti ini sangat dimungkinkan siswa yang tidak lulus justru melebihi 15 persen. Darimana datangnya perkiraan ini ? Nampaknya standarisasi kelulusan ini melupakan realitas sosiologis masyarakat Indonesia saat ini, yakni realitas masyarakat yang diwarnai dengan kecamuk social dan krisis ekonomi nasional yang masih belum sembuh . Anak-anak yang hidup di daerah konflik, seperti Aceh, Maluku, Poso, dan sebagainya pada dua tahun terakhir ini tidak mendapatkan suasana yang nyaman untuk belajar. Mereka harus mengungsi atau berpindah-pindah untuk bisa mengikuti proses belajar mengajar. Sementara anak-anak yang hidup dibawah garis kemiskinan juga prosentasenya makin meningkat akibat krisis ekonomi nasional yang masih belum sembuh. Pada giliranya realitas social dan ekonomi yang mereka hadapi telah mengganggu proses belajar mereka. Dan siswa yang mengalami trauma sosiologis seperti ini jumlahnya tidak sedikit yang tahun ini akan mengikuti UAN. Mungkinkah realitas tersebut bisa berpengaruh pada prosentase kelulusan peserta UAN ? It’s possible man?!
Sementara, tentang niat baik pemerintah (Dirjen Dik Das Men Dik Nas : Indra Djati Sidi) yang mengatakan bahwa “ sekarang kami tidak mau main-main lagi dengan standar pendidikan untuk menentukan kelulusan siswa demi mutu pendidikan nasional?” (Kompas, 22 Feb 2003), ini menunjukkan niat yang cukup baik untuk melakukan perbaikan mutu pendidikan. Dan, memang harus tidak main-main !!!. (Emangnya selama ini main main yahhhh? Pantesan banyak yang enggak beres ). Tapi…mengapa harus Diknas yang menentukan kelulusan siswa?
Mengapa kata “Tidak Lulus” itu harus dari pusat ?
Pertanyaan itu sengaja dimunculkan sebagai salah satu catatan untuk dunia pendidikan kita. “Ya, mengapa kata “tidak lulus” atau tepatnya “kelulusan siswa” harus ditetapkan oleh Departemen pendidikan nasional ?“. Hal ini bisa dicermati dari psal 3 Surat Keputusan Mendiknas Nomor 017/U/2003 pada point C yang menyatakan bahwa “Ujian Nasional berfungsi sebagai bahan untuk menentukan kelulusan siswa”. Nampaknya sentralisasi pendidikan sesungguhnya masih nampak..
Logika diatas sesungguhnya bertentangan dengan logika otonomi pendidikan yang dicanangkan pemerintah sendiri. Dimana otonomi pendidikan meniscayakan terbuka lebarnya kemungkinan sekolah untuk mengelola dan menentukan banyak hal, termasuk didalamnya tentang kelulusan siswa.. Selain itu, bukankah yang mengetahui banyak tentang siswa di suatu sekolah adalah sekolah itu sendiri? Karena itu sesungguhnya menjadi amat rasional jika Sekolah lah yang sesungguhnya berhak menentukan kelulusan seorang siswa. Pemerintah tidak perlu khawatir kalau seandaunya sekolah yang memutuskan tentang kelulusan siswa.
Lalu apakah dengan otoritas kelulusan yang dipegang sekolah itu sama artinya dengan meniadakan UAN tahun ini ? Tidak, sama sekali tidak! UAN tahun ini tetap saja berjalan. Namun, ada yang perlu menjadi catatan untuk UAN tahun ini bahwa dalam hasil akhir UAN tidak perlu menjadi alat untuk menentukan kelulusan siswa. Hasil UAN biarkan apa adanya, memang itulah out put pendidikan yang selama ini berjalan. Toh, bukankah UAN itu seharusnya hanya berfungsi untuk mengetahui hasil proses belajar mengajar tiap akhir tahun ? Bukan untuk meluluskan dan tidak meluluskan siswa. Kalau memang hasilnya angka mati yaa.. memang itulah hasil akhirnya. Jangan di justifikasi bahwa siswa yang mendapat angka mati dinyatakan tidak lulus. Biarkan sekolah saja yang menentukan kelulusan siswa. Tentu dengan criteria-kriteria kelulusan yang bias dipertanggungjawabkan secara akademik. Misalnya dengan melihat nilai akhir, dan sebagainya, termasuk mempertimbangkan kepribadian siswa bersangkutan.
Persoalan lain yang juga perlu menjadi catatan adalah mengenai siswa yang tidak lulus. Jika seorang siswa dinyatakan tidak lulus, itu artinya tahun berikutnya dia harus mengulang untuk UAN. Tetapi perlu diketahui bahwa untuk Ujian ulang seorang siswa harus berapa bulan menunggu masa untuk ujian ulang? Masa menunggu justru bisa berbahaya buat siswa yang sudah dinyatakan tidak lulus. Ada efek psikologis yang patut diperhitungkan. Dan menjadi berbahaya bagi perkembangan jiwa anak usia SLTP dan SMU yang memang masih cukup labil. Apalagi jika pada Ujian ulang hasilnya juga tidak menggembirakan, atau bahkan lebih rendah dari hasil UAN yang pertama. Bukankah ini akan lebih membahayakan siswa ?. Dan ini artinya siswa dirugikan secara psikologis dan umur siswa pun kian bertambah bukan? Berarti ada waktu yang terbuang hanya untuk menunggu Ujian ulang. Tetapi jika rentang waktu menunggu UAN ulang nya tidak lama, misalnya hanya beberapa minggu setelah UAN, tetap saja terdapat masalah, khususnya yang menyangkut objektifikasi soal UAN dan optimalisasi hasil UAN. Objektifikasi yang dimaksud adalah mengenai model soal UAN, apakah masih menggunakan soal yang sama atau soal yang baru. Sementara optimalisasi hasil UAN pun akan dipertanyakan, bahkan mungkin diragukan, sekalipun menggunakan soal yang berbeda, apalagi jika menggunakan soal yang sama.
Lalu, jika tidak adanya justifikasi kelulusan dari hasil UAN, bagaimana kita bisa meningkatkan mutu pendidikan, khususnya lulusan SLTP dan SMU ? Untuk meningkatkan mutu pendidikan, sesungguhnya tidak perlu dengan cara menakut-nakuti siswa dengan kata “tidak lulus”, tetapi untuk meningkatkan mutu pendidikan sesungguhnya bisa dilakukan dengan memperbaiki proses belajar mengajar. Dukungan dari segala lapisan masyarakat untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar perlu digalakkan, khususnya untuk kepentingan sarana dan prasarana pendidikan (buku-buku dan sarana laboratorium sekolah, dsb.), termasuk peningkatan kesejahteraan guru didalamnya. Sekolah bukan hanya tanggungjawab sekolah, tetapi sekolah juga seharusnya menjadi tanggungjawab bersama seluruh lapisan masyarakat. Sebab sekolah adalah institusi terpenting untuk membentuk manusia Indonesia masa depan.
Lulus Vs Tamat
Hal lain yang aneh menurut hemat penulis dari kebijakan UAN tahun ini adalah juga berkenaan dengan penggunaan dua istilah yang akan diberlakukan pada siswa, yakni istilah Lulus dan Tamat. Menurut SK Mendiknas nomor 017/U/2003 pasal 10 dinyatakan bahwa Siswa yang mengikuti Ujian Nasional berhak memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dan bagi yang lulus berhak memperoleh Surat Tanda Kelulusan (STK). Bisakah seorang siswa dinyatakan tamat walaupun dia sebetulnya belum lulus? Menurut SK tersebut bisa saja seorang siswa dinyatakan Tamat tetapi dia belum Lulus. Karena mata pelajaran yang di-UAN-kan mendapat angka mati.
Lalu, apa sih hakekat Tamat dan hakekat Lulus ? Menurut kamus besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa Depdiknas (1995) dinyatakan bahwa tamat diartikan sebagai berakhir, habis, selesai atau sudah selesai pelajarannya (hlm.997). Dari pengertian ini muncul pertanyaan, bagaimana mungkin kalau pengertian tamat saja oleh Pusat Bahasa diartikan sebagai sudah selesai pelajarannya, tetapi Diknas juga yang kemudian menerapkan kata Tamat sekalipun belum lulus pelajarannya???? Sementara kata lulus menurut kamus yang sama diartikan sebagai berhasil dalam ujian, yang berarti juga selesai pelajarannya (hlm.606). Lho, jadi bedanya ? bedanya ya, ada di SK nomor 017 itu. Jadi Tamat versus Lulus sedang bertanding doong di SK 017 ? Iya, he..he..he.
(Ubedilah Badrun, tinggal di negeri Sakura)

Calon Presiden dan Peta Gerakan Mahasiswa

Calon Presiden dan Peta Gerakan Mahasiswa
Oleh : Ubedilah Badrun

Apa hubungan antara calon presiden dan peta gerakan mahasiswa? Tidak mudah memang untuk menjawab pertanyaan tersebut, apalagi untuk melakukan generalisasi hubungan antara dua entitas tersebut. Tetapi jika ditelaah dalam perspektif historis bangsa ini, penulis sulit menafikan betapa Presiden dan mahasiswa sering menjadi agen politik penting bagi dinamika perubahan politik di tanah air. Bahkan seringkali antara keduanya berhadapan secara konfrontatif. Meski perlu diskusi lebih mendalam, tetapi secara kasat mata beberapa catatan sejarah bangsa ini menunjukkan hal itu, misalnya sejak tahun 1966 (mahasiswa vs presiden Soekarno), tahun1970-an (mahasiswa vs presiden Soeharto misalnya dalam peristiwa Malari thn ‘74, dan penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto thn ‘78), tahun 1998 (mahasiswa vs presiden Soeharto /menolak KKN dan menuntut Soeharto turun ), tahun 1999 ( mahasiswa vs presiden Habibie, pada waktu itu sebagian mahasiswa menolak Habibie) dan tahun 2001 ( mahasiswa vs presiden Abdurrahman Wahid, pada waktu itu sebagian mahasiswa juga meminta Abdurrahman Wahid untuk turun dari jabatannya, karena berbagai kasus). Realitas historis diatas setidaknya bisa menjadi parameter sederhana betapa antara Presiden dan mahasiswa seringkali terjadi benturan, yang bahkan berakhir dengan kematian mahasiswa dan jatuhnya kekuasaan seorang Presiden.
Calon Presiden
Kini setelah bangsa Indonesia menyelesaikan pemilu legislatif 5 april yang lalu, wacana dan hingar bingar kepolitikan Indonesia diwarnai dengan munculnya banyak calon presiden yang akan berkompetisi pada pemilu Presiden dan wapres pada 5 Juli nanti. Setidaknya hingga kini terdapat lima calon Presiden mereka adalah Wiranto, Megawati, Abdurrahman Wahid, Soesilo Bambang Yudoyono, dan Amien Rais .
Tentu selain kelima calon presiden tersebut memiliki kelebihan, kelimanya juga memiliki kelemahan, terutama berkenaan dengan masalah yang melekat pada diri calon presiden tersebut. Misalnya ada yang dinilai tersangkut masalah HAM, pernah bermesraan dengan Orde Baru dan juga kemudian menimbulkan perasaan traumatis rakyat atas kepemimpinan militer (kasus capres Wiranto dan Soesilo BY), ada yang digugat pemilihnya karena dinilai tidak lagi peduli wong cilik (kasus capres Megawati), ada juga karena masalah kesehatan dan masalah kepemimpinannya yang dinilai cukup sering membuat pernyataan yang mengejutkan dan menimbulkan masalah ( kasus capres Abdurrahman Wahid), ada juga karena masalah yang berkenaan dengan tingkah polah politiknya (kasus capres Amien Rais). Sejumlah masalah yang melekat pada calon presiden itulah yang akan memicu atau mendorong mahasiswa bergerak untuk menyikapi realitas calon presiden, apalagi momentum pemilu presiden kedepan ini akan melewati momentum penting 21 Mei yang hampir pasti akan diperingati oleh mahasiswa sebagai momentum perlawanan terhadap otoriterianisme dan KKN termasuk terhadap mesin-mesin politik Orde Baru yang menurut mahasiswa telah memberi noda hitam sejarah bangsa Indonesia. Dan karena beragamnya masalah yang melekat pada diri calon presiden, gerakan mahasiswa-pun akan terpetakan. Setidaknya keberadaan mahasiswa dalam menyikapi calon Presiden akan terpetakan dalam tiga kelompok besar. Pertama, menolak calon presiden. Kedua, menjadi onderbouw calon presiden. Ketiga, tidak menolak dan tidak menjadi onderbouw tetapi wait and see. Ketiga kelompok gerakan mahasiswa tersebut akan di urai di bawah ini.
Menolak Calon Presiden
Kelompok mahasiswa yang menolak calon presiden ini ( khususnya terhadap enam calon presiden diatas) bisa di bagi menjadi dua kelompok, yakni ada kelompok mahasiswa yang menolak seluruhnya dan ada juga yang menolak sebagian saja. Kelompok mahasiswa yang menolak seluruh calon presiden adalah mereka yang menilai bahwa keenam calon presiden tersebut telah memiliki masa lalu yang bermasalah dan bahkan dinilai telah gagal menegakkan reformasi yang digagasnya sendiri. Dan karenanya menurut kelompok ini track record keenam calon presiden tersebut nilainya merah. Ibarat ujian nasional keenam calon presiden tersebut tidak lulus ujian. Kelompok mahasiswa ini termasuk juga kelompok yang radikal sejak rezim orde baru berkuasa, dan menghendaki revolusi bukan reformasi. Kelompok mahasiswa ini hingga kini masih eksis karena perkaderannya juga masih terus berjalan. Kelompok ini sering menjadi barisan terdepan yang siap benturan fisik untuk melawan barisan militer yang menghadang laju demontrasi mahasiswa, termasuk ketika tahun 1998 yang lalu. Implikasinya kelompok ini akan melakukan demonstrasi menolak pemilu Presiden sebagaimana juga mereka menolak pemilu legislatif 5 April yang lalu.
Sementara kelompok mahasiswa yang menolak sebagian saja dari keenam calon presiden diatas menilai bahwa yang terpenting saat ini yang perlu di tolak adalah mereka calon presiden yang pernah bermesraan dengan Orde Baru, militeristik dan yang terindikasi KKN. Menurut kelompok mahasiswa ini Orde Baru adalah Orde yang menampilkan wajah otoriterian, menampilkan demokrasi yang semu dan diwarnai rezim yang korup, yang mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan yang akibatnya masih terasa hingga hari ini Karena itu calon presiden yang memiliki indikasi tersebut sangat penting untuk di tolak, sementara beberapa tokoh baru atau pemain baru yang menjadi calon Presiden dan dianggap bersih dari Orde Baru dan reformis diperbolehkan untuk ikut kompetisi dalam memperebutkan kursi presiden. Implikasinya kelompok ini akan melakukan gerakan demonstrasi menolak capres Orba, militer & yang terindikasi KKN.
Dua kelompok yang menolak calon presiden ini dimungkinkan pada bulan Mei hingga berlangsungnya pemilihan presiden pada Juli nanti akan turun ke jalan melakukan demonstrasi yang membawa massa mahasiswa yang cukup besar.
Onderbouw Calon Presiden
Selain kelompok mahasiswa yang menolak calon presiden, terdapat juga mahasiswa yang menjadi onderbouw calon presiden. Mereka ikut terlibat dalam menyukseskan calon presiden yang mereka kagumi agar benar-benar menjadi presiden. Menurut kelompok mahasiswa ini, kini sudah saatnya mahasiswa terlibat secara aktif mendukung calon presiden. Dan karenannya bagi kelompok ini adalah hal yang wajar jika mahasiswa ikut menjadi onderbouw nya calon presiden. Sebab menurut mereka hak politik mahasiswa harus diaplikasikan secara apa adanya sesuai pilihannya. Jadi bagi mereka tidak ada masalah kalau mahasiswa menjadi onderbouw nya calon presiden tertentu, toh pada akhirnya rakyatlah yang akan memilih. Mereka juga beranggapan bahwa dengan menjadi onderbouw calon presiden berarti sekaligus melakukan latihan politik yang paling nyata dan tidak sedikit yang menganggap bahwa apa yang dilakukannya itu bagian dari meniti karir politik mereka di masa yang akan datang. Tidak sedikit dari mereka menjadi agen di kampusnya masing-masing bagi suksesnya calon presiden mereka. Kelompok mahasiswa ini akan lebih banyak bergerak secara diam-diam di kampus-kampus untuk mengajak mahasiswa lainya ikut memilih calon presidennya. Karena itu mereka nampaknya sulit untuk turun ke jalan melakukan demonstrasi, selain karena masih malu-malu takut dicap sebagai mahasiswa yang tidak independent juga kecenderungan mereka tidak memiliki massa yang massif dan radikal. Tetapi jika calon presiden mereka sering di hujat, tidak menutup kemungkinan mereka akan dijadikan alat oleh calon presidennya untuk turun ke jalan demonstrasi mendukung calon presidennnya.
Ini juga dimungkinkan terjadi dalam rentang waktu Mei hingga pemilu presiden pada juli nanti.
Wait and See
Sementara dikalangan mahasiswa juga terdapat kelompok mahasiswa yang bisa dikategorikan sebagai kelompok wait and see yang menempatkan dirinya menungggu dan melihat perkembangan. Karena itu kelompok ini kadang persis seperti pengamat saja atau bahkan ada yang melihat perkembangan hanya sekedar informasi saja sehingga nampak ‘cuek’ dengan perkembangan politik yang ada. Mungkin juga karena mereka sudah bosan dengan perkembangan politik yang ada. Dengan demikian ada dua kelompok mahasiswa wait and see yang bisa dicermati, yakni kelompok wait and see yang agak kritis (karena agak mengamati) dan ada kelompok wait and see yang pragmatis Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa kuliah lancar dan menikmati masa mudanya. Kelompok ini cukup banyak tetapi tidak memberi warna bagi dinamika perkembangan politik, sehingga keberadaanya seperti sesuatu yang ada dalam ketiadaan.
Dari peta kelompok gerakan/mahasiswa diatas , khususnya kehadiran kelompok gerakan mahasiswa yang menolak calon presiden setidaknya bisa menjadi catatan penting bagi bangsa Indonesia dan khusunya bagi calon presiden bahwa dengan rasionalisasi yang mereka miliki mereka sesungguhnya menghendaki bahwa pemilu presiden bukanlah ajang untuk sekedar merebut kekuasaan dan kemudian bagi-bagi kekuasaan tetapi mereka menghendaki pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen yang kuat pada nasib rakyat. Sekaligus sesungguhnya mereka juga mengingatkan bahwa tanpa tetesan keringat, darah, dan bahkan kematian teman-teman mereka pada 1998 mustahil anda para calon presiden bisa menikmati sepenggal kekuasaan saat ini ( -sudikah anda melupakan mereka yang telah mengorbankan segalanya termasuk nyawanya untuk kepentingan bangsa ?-). Jika peringatan mahasiswa melalui domonstrasi yang mereka lakukan tidak juga dipahami secara obyektif oleh para calon presiden maka tidak mustahil radikalisasi gerakan mahasiswa akan terus ada dan mungkin makin meluas.!?

Ubedilah Badrun, mantan Presidium FKSMJ 1995-1996, alumnus program pascasarjana Ilmu Politik UI dan kini mengajar Social Science & Civics Education di The Tokyo-Indonesian School Jepang.

Pemilu 2004: Sebuah Catatan Bagi Pemilih di Luar Negeri

Pemilu 2004 :
Sebuah Catatan Bagi Pemilih di Luar Negeri
Oleh: Ubedilah Badrun
Tulisan ini dipresentasikan pada Diskusi Pemilu 2004 yang diadakan oleh Komunitas Masyarakat Pemantau Pemilu Independen Tokyo-Jepang

Undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilu memberikan gambaran cukup jelas sehingga bisa disimpulkan bahwa pemilu 2004 berbeda dengan 1999, termasuk dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Jika diamati dari sistem yang dipilihnya nampak sebagai sistem yang relatif baru bagi bangsa Indonesia. Untuk itu menurut hemat penulis ada baiknya diulas secara singkat terlebih dahulu mengenai sistem baru untuk pemilu 2004 ini,sebelum penulis memberikan catatan bagi para pemilih di luar Negeri, khususnya di Jepang.
Hal Baru di Pemilu 2004
Ada beberapa hal baru dalam pemilu yang akan digelar awal April nanti (5 April). Hal baru yang perlu diketahui antara lain misalnya dalam hal penetapan anggota DPR, DPRD provinsi, kab./kota dilakukan dengan proporsional dengan daftar calon terbuka. Pemilih mencoblos satu tanda gambar parpol dan satu calon di bawah tanda gambar parpol. Selain itu, dipilih pula anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dengan sistem distrik. Daerah pemilihan adalah provinsi yang setiap provinsi diwakili empat orang untuk diperebutkan. Pemilih mencoblos satu calon dalam tanda gambar, dan calon yang memperoleh suara terbanyak 1-4 ditetapkan sebagai calon terpilih DPD.
Selain itu, tugas pemilih adalah mencoblos calon presiden pada awal juli nanti (5 juli). Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya 3 % dari jumlah kursi di DPR atau 5 % dari perolehan suara sah secara nasional. Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak dan merata terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Suara terbanyak dan merata yang dimaksud adalah: jumlahnya lebih dari 50 % dari total jumlah suara di tingkat nasional, serta tersebar merata ( di atas 20 %) di sekurangnya separo dari jumlah propinsi di Indonesia (16 propinsi). Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara 50 % lebih, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung. Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak hasil pemilihan lanjutan (tahap kedua, 20 september) ini dinyatakan sebagai pemenang pemilihan Presiden dan wakil Presiden.
Catatan bagi Pemilih di Luar Negeri

Secara substansial pemilu 2004 yang diselenggarakan di luar negeri dengan di indonesia sesungguhnya sama saja, karena menggunakan undang-undang dan sistem yang sama. Yang membedakannya hanyalah hal-hal yang bersifat tehnis. Misalnya menyangkut kepanitiaan (PPLN), mekanisme pendaftaran pemilih ( tidak perlu pulang ke Indonesia), hingga saat pemungutan suara dan tentu saja suasana pemilu yang berbeda.
Satu hal yang menarik adalah berkenaan dengan jumlah pemilih di luar negeri. Menurut biro pengolahan data dan pengendalian informasi KPU, jumlah pemilih di luar negeri bisa mencapai sekitar 2,8 juta. Artinya jumlah tersebut cukup signifikan dan bahkan cukup strategis bagi perolehan suara partai. Apalagi dengan sistem baru, khususnya pada saat pemilihan Presiden dan wakil presiden. Betapa satu suara begitu penting artinya bagi kemenangan sang calon Presiden dan wapres. Bagaimana dengan jumlah pemilih di Jepang ? atau khususnya di Tokyo ? Menurut data dari PPLN (lihat www.marsinah.com), jumlah pemilih sementara yang terdata hingga tulisan ini dibuat mencapai 7080 pemilih. Angka sementara yang tidak sedikit. Artinya secara kuantitatif jumlah pemilih di Tokyo lumayan besar, menurut perkiraan penulis bisa mencapai antara 9.000 sampe 10.000 pemilih. Ini perlu kerja jujur dan kerja keras PPLN untuk proaktif memastikan jumlah pemilih yang sebenarnya. (meski jumlah pemilih pasti seharusnya sudah tercatat dan terdata di KPU hingga akhir desember 2003).Terlepas dari jumlah pemilih yang relatif banyak tersebut, sebagai sebuah catatan, pada sisi yang lain juga perlu di cermati, sisi lain tersebut misalnya berkenaan dengan kemungkinan pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu nanti.
Dalam Keputusan KPU Nomor 11 tahun 2003 misalnya dijelaskan, klasifikasi pelanggaran berdasarkan tahap-tahap pelaksanaan pemilu. Klasifikasi tersebut bisa dicermati mulai dari Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B), pendaftaran peserta pemilu, penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi, pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD, kampanye pemilu, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, penetapan perolehan kursi dan calon terpilih, dan pengucapan sumpah dan janji.
Dengan merujuk klasifikasi tersebut , pemilu di luar negeri juga memiliki potensi-potensi pelanggaran, khususnya berkenaan dengan mekanisme pendaftrana peserta pemilu, kampanye pemilu, pemungutan dan perhitungan suara, hingga pengiriman suara ke KPU. Potensi ini bisa saja terjadi jika mekanisme pengawasan dan pemantauan pemilu tidak berjalan. Apalagi kalau tidak ada pemantau independent. Karena itu di luar negeri, khususnya di Jepang ini juga diperlukan semacam komite pemantau pemilu independen selain panwaslu atau sebuah komite yang sifatnya moral force. Sebab jika mencermati keberadaan Panwaslu (panitia pengawas pemilu) yang telah dibuat secara formal sesungguhnya memiliki kelemahan. Sejak awal, kedudukan panwaslu dalam UU adalah subordinasi KPU. Misalnya, pada saat yang sama ia harus mengawasi tahap-tahap pemilu yang dilakukan KPU yang membentuknya. Hal ini bisa saja muncul masalah sangat dilematis yang kemudian berdampak pada penyelesaian sengketa, perselisihan, atau pelanggaran mengenai pemilu. Bagaimana dengan keberadaan panwaslu di jepang ? penulis pikir inilah pertanyaan yang perlu diajukan pada PPLN di Jepang. Kalau mengenai Komite pemantau pemilu independent ? penulis pikir ini pertanyaan untuk warga negera indonesia yang ada di Jepang, khususnya di Tokyo. Perlukah komite pemantau tersebut?
Hal lain yang juga menjadi catatan penulis bagi para pemilih di Tokyo adalah bersumber dari pernyataan bahwa kualitas hasil pemilu di Tokyo sangat ditentukan oleh pemilih. Karena itu penulis mencoba untuk mencermati karakter pemilih. Setidaknya ada 4 karakter pemilih di Tokyo. Pertama, pemilih awam. Kedua, pemilih pemula terdidik. Ketiga, pemilih primordial subyektif. Keempat, pemilih kritis.
Pemilih awam adalah mereka yang tergolong warga negara yang minim informasi mengenal politik, khsusunya mengenai pemilu. Sehingga memiliki kecenderungan untuk memilih apa saja. Pemilih pemula terdidik adalah mereka yang tergolong tau informasi mengenai politik, khususnya pemilu, dan baru pertama kali ikut pemilu. Sehingga kegamangan pilihan bisa saja terjadi. Pemilih primordial subyektif adalah mereka yang tergolong anggota partai peserta pemilu atau simpatisan, sehingga secara subyektif pasti memilih partainya. Sedangkan pemilih kritis adalah mereka yang secara rasional sadar politik dan secara kritis bisa mencermati program partai, bahkan tau calon legislatif dari suatu partai, sehingga bisa berfikir rasional sebelum menjatuhkan pilihan. Dari keempat karakter tersebut, nampaknya karakter keempat adalah karakter pemilih yang perlu disosialisasikan.
Untuk itu ada panduan bagi pemilih kritis : (1)Mencari informasi yang lengkap dan benar mengenai Pemilu, (2) Mencari tau tentang latar belakang calon (DPR,DPRD,DPD, Presiden&wapres) pilihan anda,
(3)Mencari tau tentang dasar dan program partai yang sesuai kepentingan anda, (4)Tidak menentukan pilihan karena faktor artifisial. (5)Menentukan pilihan secara independen ( bukan karena paksaan atau hadiah tertentu). Dan ke (6) adalah melaporkan kejanggalan/pelanggaran pelaksanaan pemilu ke Panwaslu, pemantau pemilu, atau media massa.

Refleksi
Meski pemilu 2004 dibayangi keraguan akan adanya perubahan yang sistemik bagi perbaikan bangsa, tetapi setidaknya pemilu adalah jalan baik yang mesti kita tempuh tuk mewujudkan masyarakt demokratis sebagai tahapan penting terbentuknya masyarakat beradab dan maju. Tetapi persoalannya dimana kunci penting tuk mendorong perubahan itu menjadi kenyataan di negara yang masih transisional seperti Indonesia ?
Guillermo O’Donnel dan Philippe Schmitter, dalam Transitions from Authoritarian Rule. Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986: 19, 48) memberikan wacana penting bahwa peran elit politik (para pemimpin) untuk menjalankan demokrasi dengan baik dan keberadaan civil society yang mampu bertindak otonom, independent dan mampu diorganisior untuk tindakan yang terarah, adalah kunci penting bagi suksesnya masa transisi menuju sejatinya demokrasi.
Karena itu, dalam konteks pemilu 2004 ini dua pemain kunci tersebut menjadi begitu berarti. Bahwa penyelenggara, termasuk partai peserta pemilu, calon DPD dan Calon Presiden & Wapres (sebagai elit politik) harus memiliki komitmen yang jelas bagi terwujudnya masyarakat demokratis. Sehingga kecurangan-kecurangan pemilu bisa dihindari. Dan disaat yang sama masyarakat pemilih ( bagian dari civil society) harus mampu bertindak otonom, independent, rasional dalam menjatuhkan pilihannya, sekaligus aktif melakukan pemantauan. Sehingga produk pemilu 2004 adalah elit politik yang cukup berkualitas. Amin.



Ubedilah Badrun,Msi.
( Alumnus program pascasarjana Ilmu Politik UI, kini mengajar di Tokyo Indonesian School ).

Memaknai Kebangkitan Nasional

Memaknai Kebangkitan Nasional
Oleh : Ubedilah Badrun
Tulisan ini dipresentasikan pada peringatan Harkitnas yang diadakan Atdikbud KBRI Tokyo

Jika di hitung, sudah sembilan puluh tujuh tahun yang lalu peristiwa Kebangkitan Nasional berlangsung (1908-2005). Sebuah umur yang melebihi umur rata-rata manusia Indonesia. Sebuah umur yang melampaui usia kematangan seorang manusia. Artinya jika dianalisis secara kualitatif maka kesadaran berbangsa untuk maju pada saat ini seharusnya sudah memetik buahnya. Sebuah kenyataan bangsa yang maju tanpa kehilangan jati diri kebangsaannnya. Tetapi realitas Indonesia hari ini adalah sebuah realitas yang memang sulit untuk dikatakan maju, selain itu juga sulit untuk mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki jati diri kebangsaan yang kuat. Hal ini bisa dilihat dari ukuran kemajuan sebuah bangsa dan ukuran ketergantungan yang berlebihan terhadap bangsa lain, bahkan hingga nyaris kehilangan kedaulatannnya sebagai sebuah negara. Ini memang sebuah Ironi yang cukup menggelikan ?
Tetapi, mengeluh, bukanlah solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah bangsa yang saat ini masih merangkak kembali untuk bangun dari keterpurukannnya. Paling tidak momentum Kebangkitan nasional ini bisa dijadikan sebagai sebuah pijakan analisis untuk kemudian menemukan gagasan sebagai sebuah urun rembuk dalam rangka membangkitkan kembali bangsa dan negara yang kita cintai dari sebuah keterpurukan yang saat ini sedang membelit bangsa Indonesia. Sejumlah masalah sedang kita hadapi, antara lain dari masalah ekonomi, disintegrasi, sampai masalah moralitas hidup berbangsa dan bernegara.
Harus diakui bahwa masalah-masalah tersebut adalah warisan dari sebuah rezim yang berkuasa cukup lama selama 32 tahun. Rezim Orde Baru. Sebagaimana diketahui bahwa Rezim Orde Baru atas nama pembangunan, menjalankan pemerintahannya secara otoriter. Ini terlihat dari praktek ekonomi maupun politik Orde baru yang jauh dari demokrasi. Namun demikian otoriterianisme Orde Baru itu bisa ditutupi dengan menampakkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, bahkan pada tahun 1993 World Bank sempat menempatkan Indonesia diantara kelompok negara yang perekonomiannya berkinerja tinggi (“ The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy”, Washington,DC,1993) . Realitas ekonomi yang demikian itu dijadikan pembenaran oleh Orde Baru untuk menyatakan bahwa stabilitas politik sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekalipun upaya stabilisasi itu dilakukan dengan cara-cara yang represif (R.William Liddle, “ Rezim : Orde Baru”, dalam Indonesia Beyond Soeharto, editor Donald K.Emmerson, The Asia Society, 1999 ). Cara-cara inilah yang kemudian mampu memendam dendam yang kuat yang menjadi pemicu disintegrasi bangsa (kasus Tomor-Timur, Aceh, dan Papua). Selain itu, ketidak adilan dan berkembangnya budaya korupsi juga menjadi faktor cukup berpengaruh bagi makin ruetnya persoalan bangsa.
Persoalan Substansial
Lalu pertanyaannnya, “mengapa itu semua terjadi ?”. Barangkali sulit untuk memastikan jawabanya. Tetapi ada satu jawaban yang cukup mendekati kebenaran, yakni memudarnya moralitas hidup berbangsa dan bernegara. Rasa kebangsaan memudar hingga merusak sistem hukum, demokrasi, dan kepentingan nasional yang di cita-citakan oleh the founding fathers and mothers bangsa Indonesia. Inilah sesungguhnya persoalan substansial yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia.

Jika kita mengingat ketika Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 digagas dan didirikan oleh Wahidin Soedirohusodo, Soetomo, dan teman-temannnya, maka kita diingatkan betapa awal kebangkitan nasional sesungguhnya berakar pada pentingnya rasa kebangsaan. Dengan semangat inilah proses sejarah nasionalisme menemukan bentuknya, hingga lahirnya Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan. Arnold Toynbee menamakan proses ini sebagai Nasionalisme Herodianisme. Sebuah semangat kebangsaan yang heroik dan mampu mewujudkan cita-citanya dengan caranya tersendiri ( Lihat I Wayan Badrika, Sejarah Nasional, hlm.131-136).
Dari penggalan sejarah diatas, nampak bahwa rasa kebangsaan menjadi faktor magnetik yang mampu menarik begitu sangat kuat seluruh komponen bangsa untuk mencapai idealitas yang diinginkannnya. Inilah pelajaran berharga dari Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia pada saat itu. Ketundukan rasional pada cita-cita luhur menjadi moralitas yang begitu kuat melekat pada diri pejuang pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketundukan rasional pada cita-cita luhur bangsa Indonesia atau sebuah komitmen idiologis yang begitu kuat telah mampu membawa bangsa Indonesia ke alam kemerdekaan. Disinilah national character terbentuk begitu kuat.
Karena itu, untuk mengatasi sejumlah masalah yang sampai saat ini masih membelit bangsa Indonesia, hal penting yang perlu dilakukan adalah menata kembali sejauhmana pembangunan karakter kebangsaan ( national character building ) dilakukan. Disinilah sekali lagi kita perlu belajar dari gagasan Budi Utomo yang kedua, selain rasa kebangsaan, yakni pentingnya pendidikan. Kita ingat bahwa Dr.Wahidin Soedirohusodo pada awalnya mengajak Soetomo untuk menghimpun dana bagi nasib belajar anak-anak Indonesia. Pada saat itu sudah disadari betul bahwa pendidikan merupakan faktor penting yang perlu terus dijaga dan dikembangkan. Tentu saja pendidikan pada saat itu mampu membentuk karakter kebangsaan yang amat kuat. Hal ini selanjutnya menemukan bentuknya ketika Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman siswa pada 1922. (lihat I Wayan Badrika, Sejarah, hlm.152-153). Sebuah pendidikan yang mampu membentuk karakter kebangsaan yang memiliki ketundukan rasional pada cita-cita luhur bangsa Indonesia atau sebuah komitmen idiologis yang kuat pada kemerdekaan sebuah bangsa..
Beberapa Catatan Penting
Lalu, jika kita mencermati persoalan bangsa yang sedang kita hadapi saat ini, komitmen idiologis apa yang perlu dikembangkan? Beberapa catatan berikut ini bisa dijadikan pijakan untuk menata Indonesia ke depan:
Pertama, menjadikan pendidikan sebagai hal utama sebagai upaya untuk menata karakter kebangsaan manusia Indonesia masa depan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sebagaimana juga digagas pada Kebangkitan Nasional thn 1908. Sebab pendidikan sesungguhnya merupakan institusi yang paling strategis untuk membangun masa depan bangsa. Persoalannya, seringkali tanggungjawab pendidikan dianggap hanya sebagai tanggungjawab pemerintah atau tanggungjawab sekolah, padahal pendidikan hakekatnya juga meliputi tanggungjawab orang tua, masyarakat, dan seluruh komponen bangsa. Alangkah indahnya jika seluruh komponen bangsa ikut bertanggungjawab untuk memajukan pendidikan bangsa Indonesia.
Selain itu, orientasi pendidikan juga perlu dikembangkan ke arah memanusiakan manusia , yakni tidak hanya mampu menjadikan siswa atau mahasiswa untuk menguasai Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi tetapi juga memiliki moralitas yang kuat. Bukankah persoalan moralitas yang membuat bangsa Indonesia terperosok jauh ke lembah krisis yang berkepanjangan ?. Sebab moralitas sesungguhnya tidak hanya mampu membangkitkan etos untuk maju, tetapi juga mampu membendung perilaku yang merugikan bangsa & negara.
Kedua, mengoreksi total seluruh kesalahan-kesalan dalam menjalankan negara untuk kemudian menyatakan menolak terhadap segala bentuk kejahatan, termasuk didalamnya menolak Korupsi, menolak kekerasan, menolak ketidakadilan, dan menolak otoriterisme. Ini dilakukan oleh seluruh komponen bangsa Hal ini amat penting untuk membangun kepercayaan bangsa Indonesia maupun publik internasional. Sebab saat ini kita bangsa Indonesia memang sedang dihadapkan pada sebuah kenyataan Public Distrust yang amat memprihatinkan. Berkurangnya tingkat korupsi, tegaknya supremasi hukum, dan berjalannnya Demokrasi, sesungguhnya menjadi bagian penting bagi pemulihan kepercayaan publik, baik nasional maupun internasional.
Ketiga, diandaikan pemilu 2004 nanti mampu menghasilkan lembaga legislatif (DPR&DPD) dan Eksekutif (Presiden & Wapres) yang berkualitas dan representatif mewakili kepentingan nasional, maka komitmen pertama yang harus dijalankan adalah membuat “Garis Tegas” atau “Garis Pembeda” antara yang salah dan yang benar, antara yang korup dan tidak korup, antara rezim orba dan rezim reformasi total, antara nasionalisme dan neokolonialisme. Garis tegas ini yang selama ini tiada sekalipun rezim berganti. Sehingga kebijakan-kebijakan rezim baru sampai hari ini tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan bangsa yang sesungguhnya membutuhkan ketegasan. Jika garis tegas atau garis pembeda itu dimiliki rezim maka langkah -langkah implementasi jalannya negara akan berjalan sesuai agenda reformasi total sebagaimana juga cita – cita The founding Fathers and Mothers bangsa ini .
Ubedilah Badrun ( Alumnus Program pascasarjana Ilmu Politik UI, kini mengajar Civics Education & Social Science di Tokyo Indonesian School- Jepang)


Demokratisasi Ala NU Jepang

Demokratisasi ala NU Jepang
Oleh : Ubedilah Badrun
Tulisan ini pernah di muat di www.nu-nihon.org

Robert A Dahl, ilmuwan politik peraih Lippincott Award pada tahun 1989 untuk karyanya yang luar biasa, A Preface to Democratic Theory (1956), melakukan kritik cukup tajam terhadap demokrasi dalam buku Democracy and Its Critics (1989). Salah satu point penting yang bisa diambil dari kritik Dahl adalah ketika demokrasi memberi ruang kebebasan sementara pada saat yang sama juga membatasi kebebasan. Misalnya kasus batasan usia pemilih, atas nama undang-undang politik produk lembaga demokrasi (parlemen), atau seperti kasus aktual di Indonesia misalnya terhalangnya Gus Dur memperoleh hak kebebasan untuk dipilih melalui pemilihan Presiden 2004 dengan alasan tidak memenuhi syarat kesehatan sesuai SK KPU Nomor 26 tahun 2004 yang diyakini KPU merujuk Undang-undang kesehatan Nomor 23 tahun 1992 produk lembaga demokrasi. Pada satu perspektif demokrasi memang nampak bermasalah. Bahkan beberapa paparan sejumlah studi, dari Robert Kaplan (The Coming Anarchy, 2000) hingga Noreena Hertz (Silent Takeover, 2001) cukup mempertegas betapa "buruk"-nya demokrasi.
Sejumlah kelemahan tentang demokrasi sesungguhnya tidak mengurangi betapa demokrasi memiliki keunggulan yang patut di apresiasi. Seperti apa yang dikemukakan pengkritik demokrasi Robert Dahl. Justru kemudian Robert Dahl dalam bukunya yang cukup baru On Democracy (1999) memaparkan keunggulan-keunggulan demokrasi dibanding alternatif mana pun yang mungkin ada. Menurut Dahl, demokrasi, paling tidak, memiliki keunggulan dalam sepuluh hal yakni (1) menghindari tirani; (2) menjamin hak asasi; (3) menjamin kebebasan umum; (4) menentukan nasib sendiri; (5) otonomi moral; (6) menjamin perkembangan manusia; (7) menjaga kepentingan pribadi yang utama; (8) persamaan politik; (9) menjaga perdamaian; dan (10) mendorong kemakmuran. Kelebihan kelebihan demokrasi inilah yang kami coba apresiasi dalam bentuknya yang khas NU-Nihon untuk turut mendorong gerbang pentingnya konsolidasi kekuatan pro demokrasi dari tingkat elit sampai ke akar rumput, dari kaum muda yang ada di Jepang sampai akar rumput yang ada di tanah air. Sebuah tugas untuk turut melakukan proses demokratisasi yang hakekatnya tak kan ada finish. Sebab demokratisasi memang pilihan paling mungkin sebagi sebuah proses yang tak kan pernah selesai digarap oleh seluruh pencinta demokrasi, apatah lagi Indonesia yang masih transisi. Disinilah pentingnya kesabaran dalam memperjuangkan demokrasi, begitu kata Gus Dur pada 3 Agustus 2001 di tugu Proklamasi.
Persoalanya “apa yang bisa kita lakukan untuk tanah air dalam konteks demokratisasi itu?”. Paling tidak ada tiga agenda penting yang bisa dilakukan NU-Nihon untuk turut mengambil bagian dalam demokratisasi. Pertama, demokrasi masih terus perlu didiskusikan untuk mematangkan gagasan-gagasan demokrasi yang aplicable untuk Indonesia. Artinya proses produksi gagasan dari komunitas muda Nu-Nihon perlu terus difasilitasi, dan tak menutup kemungkinan bersama komunitas muda lainya untuk sama-sama berjuang menegakkan demokrasi di Indonesia. Termasuk juga membuka ruang kemungkinan diskursus demokrasi dalam perspektif Islam maupun ala Jepang. Ini semua bisa dilakukan dengan model pengajian politik. Kedua, forum-forum yang lebih luas melibatkan komponen masyarakat Indonesia di Jepang untuk membicarakan masa depan bangsa perlu diadakan, terutama berkenaan dengan kasus-kasus aktual yang memiliki pengaruh besar bagi jalanya Republik yang kita cintai. Ini bisa dilakukan dengan mengadakan diskusi publik atau seminar. Ketiga, turut menjadi mediasi bagi terbangunya kekutan Civil Society di tingkat pedesaan , terutama membangun kesadaran masyarakat Desa untuk turut berpartisipasi dalam mempengaruhi kebijakan Pemerintah daerah bagi kesejahteraan rakyat di pedesaan. Ini bisa dilakukan dengan melakukan pendidikan politik di pedesaan atau melalui pesantren-pesantren yang ada. Ini hanya bisa dilakukan ketika Komunitas Muda NU-Nihon melakukan misi proletar ke pedesaan atau pesantren ketika sedang di tanah air. Dari NU, oleh NU, untuk proletar, umat, dan bangsa.
( Ubedilah Badrun, pernah aktif di NU Japang)

Pendidikan Politik Yang buruk

Pendidikan Politik yang Buruk
Oleh Ubedilah Badrun
Tulisan ini di muat di Kompas

BANGSA yang demokratis, sudah cukup lama menjadi harapan rakyat Indonesia. Identifikasi harapan demokrasi tersebut sesungguhnya bisa dilihat pada konstitusi kita yang menuangkan bahasa demokrasi seperti "kedaulatan rakyat", "suara terbanyak", "berseri-kat", dan "kebebasan menyatakan pendapat". Bahasa-bahasa demokrasi tersebut dua bulan lagi berumur lima puluh lima tahun. Berarti sudah berumur lebih dari setengah abad. Namun, kenyataan sesungguhnya sampai hari ini secara kualitatif bangsa ini belum demokratis. Artinya kenyataan masih jauh dari demokrasi.
Jauhnya kenyataan dari demokrasi ini bisa jadi disebabkan karena pendidikan politik yang buruk. Walaupun senyatanya pendidikan politik itu ada, tetapi yang buruk itulah yang berjalan dalam proses sejarah bangsa ini. Kenyataan ini sesungguhnya berlawanan dengan kehendak ideal pendidikan politik. Sebab kehendak ideal pendidikan politik adalah melahirkan demokrasi menjadi kenyataan empiris yang "membumi" pada setiap warga negara. Hingga warga negara terlibat dalam penjagaan demokrasi yang dihasilkan dari pendidikan politik.
Arah pendidikan politik sesungguhnya adalah demokrasi itu sendiri (Kartini Kartono, Pendidikan Politik, 1996). Jika kenyataan menunjukkan arah yang sebaliknya dari arah pendidikan politik maka mungkin pantas diduga bahwa pendidik-an politik bangsa ini adalah pendidikan politik yang buruk. Untuk melihat secara lebih teliti pendidikan politik bangsa ini yang buruk bisa dicermati dari tiga poin penting, yakni (1) peristiwa politik, (2) elite politik, dan (3) partai politik. Ketiga poin tersebut sangat berpengaruh bagi baik buruknya pendidikan politik di negeri ini.
Peristiwa politik
Peristiwa politik sebagai sebuah kenyataan yang berpengaruh bagi pendidikan politik bangsa seharusnya menunjukkan fenomena demokratis. Sehingga demokratisasi di tingkat warga negara berjalan dengan mengambil makna peristiwa politik yang demokratis. Akan tetapi, peristiwa politik Indonesia justru berulang kali mengingkari demokrasi. Pengingkaran demokrasi ini bisa dicatat, misalnya, pada saat kinerja politik Soekarno mulai otoriter (mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan pembubaran Konstituante). Peristiwa ini disebut pengingkaran demokrasi karena menunjukkan, kedaulatan rakyat ada di tangan presiden. Peristiwa ini bagi pendidikan politik bangsa adalah buruk.
Peristiwa politik berikutnya adalah naiknya Soeharto menjadi presiden tanpa proses demokratis dan dengan sejarah berda-rah (G30S) yang sampai kini sejarah tersebut masih mengundang banyak tanya. Inilah awal Orde Baru yang kemudian membangun sejarah gelap demokrasi Indonesia. Gelapnya demokrasi ini berjalan hingga 32 tahun. Peristiwa politik ini bagi pendidikan politik bangsa adalah buruk.
Runtuhnya rezim Orde Baru dan diserahkan pada BJ Habibie adalah juga peristiwa politik yang mengingkari demokrasi. Soeharto menyerahkan kekuasaannya tanpa sebuah pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban seorang presiden adalah keharusan dalam negara demokrasi. Peristiwa politik ini bagi pendidikan politik bangsa adalah buruk. Terpilihnya Abdurrahman Wahid menjadi presiden pun adalah peristiwa politik yang mengingkari demokrasi. Sebab naiknya Abdurrahman Wahid berarti melukai hati rakyat partai politik pemenang pemilu.
Peristiwa-peristiwa politik yang mengingkari demokrasi tersebut sesungguhnya tanpa disadari telah menanamkan dendam-dendam politik (luka hati sebagian rakyat Indonesia) yang pada akhirnya selalu menimbulkan persoalan dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, pendidikan politik bangsa ini hakikatnya telah dinodai. Warga negara berulang kali menyaksikan peristiwa politik yang mengingkari demokrasi. Ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara.
Elite politik
Elite politik yang dimaksud di sini adalah salah satu elite yang dikemukakan Pareto, yaitu elite yang memerintah (SP Varma, Modern Political Theory, 1975). Elite politik ini dalam sejarah sering kali memainkan peran yang amat menentukan. Pernyataan elite politik bisa membius emosi dan pikiran rakyat. Karenanya bagi proses pendidikan politik bangsa, elite politik bisa menjadi lokomotif bagi jalannya demokrasi di sebuah negara. Di Indonesia hal tersebut cukup sulit terjadi.
Kesulitan-kesulitan tersebut tampak dari contoh mutakhir perilaku elite politik Indonesia (Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Akbar Tandjung). Emosional dan tidak konsisten adalah perilaku yang ditampilkan mereka dalam mengelola negara ini. Perilaku yang emosional dan tidak konsisten ini tampak dari trik-trik politik di antara mereka yang tidak konstruktif (cara merespon kasus Ambon, pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, pencopotan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, kasus Banser di Jawa Pos) sampai keengganan mereka melaksanakan angenda reformasi total (KKN Soeharto dan sebagainya) yang digagas mahasiswa. Bahkan tragedi Trisakti dan Semanggi pun sampai kini pengusutannya tidak jelas. Padahal mereka sebelumnya mengaku reformis.
Perilaku elite politik demikian adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara. Warga negara kesulitan memastikan sebuah kebenaran dan memaknai keadilan.
Partai politik
Salah satu fungsi partai politik adalah sosialisasi politik (Gabriel A Almond, Comparative Politics Today, 1974). Sosialisasi politik partai selain memiliki makna sosialisasi kepentingan partai politik juga dimaksudkan dalam kerangka upaya demokratisasi. Sehingga partai politik juga turut memberi kontribusi besar bagi upaya pendidikan politik menuju demokrasi.
Jikalau kita mengamati perkembangan partai politik Indonesia mutakhir maka fungsi sosialisasi politik tersebut berubah menjadi "provokasi politik". Hampir setiap partai politik di Indonesia membuat bulletin atau tabloid yang isinya provokasi. Dendam dan kebencian ditanamkan pada rakyat. Sehingga setelah membaca bulletin atau tabloid yang muncul dibenak pembaca adalah kebencian dan dendam antarsesama. Bukannya semangat untuk menghargai perbedaan. Ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara.
Selain fungsi sosialisasi politik, partai politik menurut Almond juga memiliki fungsi komunikasi politik. Fungsi komunikasi politik ini dimaksudkan untuk menyampaikan ide atau gagasan-gagasan partai politik melalui media massa maupun media elektronik. Sehingga masyarakat merespon gagasan-gagasan partai politik. Komunikasi politik tersebut penting bagi upaya pendidikan politik menuju demokrasi.
Partai politik Indonesia saat ini memiliki kecenderungan tidak menampilkan gagasan-gagasan partai tetapi menunjukkan dengan gamblang praktik-praktik politik yang tidak demokratis dan konflik elite partai politik yang tidak konstruktif bagi jalannya demokrasi. Sebut saja, misalnya, pada saat Kongres I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Semarang, Kongres I Partai Amanat Nasional di Yogyakarta, dan Muktamar I Partai Bulan Bintang di Jakarta, yang menunjukkan praktik dan konflik elite partai politik yang tidak konstruktif. Bahkan konflik elite partai politik tersebut sampai tulisan ini dibuat masih mewarnai berita di sejumlah media massa. Ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara.
Selain fungsi partai yang menampilkan pendidikan politik yang buruk. Partai politik di Indonesia secara tidak sadar atau mungkin sadar telah membuka ruang militerisme di tubuh partai (satuan tugas-satuan tugas yang memang dilatih secara militer). Militerisme di tubuh partai ini berlawanan dengan semangat demokrasi. Satgas-satgas partai sering menampilkan militerisme di hadapan publik, misalnya, dengan cara kekerasan mengamankan pemimpin partai. Tampilan militerisme partai di depan publik ini adalah pendidikan politik yang buruk, karena dengan cara seperti itu tampak partai politik melegitimasi militerisme.
Refleksi
Sejumlah peristiwa politik, perilaku elite politik, dan partai politik yang dikemukakan di atas adalah kenyataan politik Indonesia. Ketiga hal tersebut di atas sesungguhnya secara tidak langsung maupun langsung telah mendidik watak politik warga negara. Sungguh hal tersebut sangat disesalkan. Sebab telah mengeluarkan ongkos sosial yang amat besar. Kerugian material maupun nonmaterial (pendidikan politik warga negara) sangat besar.
Akan tetapi, jika hal tersebut dianggap lumrah (Begitu aja kok repot!) berarti tuan-tuan elite politik sepakat untuk terus melanggengkan pendidikan politik yang buruk. Karenanya jangan heran jika mahasiswa dan rakyat yang tertindas akan terus bergerak.
(* Ubedilah Badrun, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan Guru SMU Swasta di Jakarta Timur.)

Wednesday, September 14, 2005

Aichi Expo 2005

Ini ketika saya berada diantara paviliun Thailand dan Indonesia saat study lapangan ke Aichi Expo-Nagoya-Jepang tanggal 3 September 2005 bersama rombongan SRIT. Meskipun tidak semua paviliun bisa dikunjungi tetapi disitu kita bisa memahami bahwa betapa pentingnya melihat beragam budaya dan pentingnya peduli dan menjaga lingkungan untuk kepentingan warga dunia kini dan mendatang. Apa sih Aichi Expo 2005 itu ? Dibawah ini adalah penjelasan tentang Aichi Expo dari berbagai sumber. Aichi Expo 2005 bertujuan untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia mengenai lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi. Forum Expo ini memberikan kesempatan pula kepada segenap warga dunia untuk berinteraksi dan saling belajar mengenai mekanisme alam serta daya kehidupan agar dapat memahami budaya serta peradaban yang harus dikembangkan bagi masyarakat dunia di abad 21.
Dengan tema nature's wisdom, Expo 2005 akan mencoba mewujudkan suatu bentuk ideal untuk kebudayaan dan peradaban mengikuti kearifan alam (nature's wisdom), sebagai model bagi kehidupan masyarakat di abad 21 dengan belajar dari semua pengalaman dan pengetahuan serta kearifan manusia dalam berinteraksi dengan alam. Hal semacam ini dapat menjadi arah menuju terciptanya solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia di abad 21. Terdapat tiga sub tema dalam Expo 2005 ini, yakni nature’s matrix, art of life dan development of eco-communities . Sub-tema nature's matrix akan menggali dan mengembangkan model peradaban di abad 21, mengatasi permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup dengan berbagai percobaan dan kemajuan telah diraih di bidang bio-teknologi dan IT.Sub-tema art of life memperlihatkan bagaimana seni rupa, seni pertunjukan, adat dan tradisi yang beragam dari berbagai penjuru dunia dapat menciptakan berbagai interaksi antara manusia dengan alam yang membuka kemungkinan arah baru dari tata kehidupan umat manusia di abad 21.Sub-tema development of eco-communities akan menunjukkan suatu model gaya hidup ideal dengan infrastruktur yang menggunakan sumber daya secara efisien. Keseimbangan antara pembangunan sosial dan pengelolaan lingkungan menjadi model ideal bagi kehidupan masyarakat abad 21.
Bertemunya berbagai perbedaan di bidang keilmuan dan budaya dari seluruh penjuru dunia pada Expo 2005 Aichi akan menciptakan Grand Intercultural Symphony yang mempertautkan interaksi dari berbagai perbedaan baik manusia maupun budayanya. Expo 2005 akan menjadi tempat dimana peserta dan pengunjung dapat merasakan nilai dari perbedaan. Expo 2005 diharapkan akan melahirkan suatu gerakan pemikiran baru yang dapat menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia mengenai lingkungan hidup di abad 21.

<