Tuesday, April 15, 2014

Peta Koalisi Capres Cawapres 2014

Peta Koalisi Capres-Cawapres 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di Sindo tanggal 13 April 2014: http://pemilu.sindonews.com/read/2014/04/13/116/853637/peta-koalisi-capres-cawapres-2014

Mencermati perolehan suara sementara quick count pemilu legislatif 2014 dan kecenderungan ketokohan sejumlah calon presiden (capres), pasca perhitungan akhir pemilu legislatif nanti ada kecenderungan akan muncul tiga sampai empat pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Kecenderungan capres-cawapres ini lebih dipengaruhi oleh tokoh sang capres dan pola perolehan suara masing masing partai untuk mencukupi 20 % presidential threshold.
Tiga Sampai Empat Pasangan Capres-Cawapres
Tiga sampai empat kecenderungan capres-cawapres tersebut adalah; Pertama, Jokowi berpasangan dengan Suryapaloh atau Muhaimin Iskandar atau Jusuf Kalla. Pasangan capres-cawapres ini hasil koalisi dari partai PDIP ( dengan perolehan suara kurang lebih19 %), PKB (9 %), NASDEM (6%). Secara ideologis koalisi ini lebih dominan kepada Nasionalis-Islam tradisional- cenderung Pro Pasar. Kedua, Prabowo berpasangan dengan Surya Dharma Ali atau Hatta Rajasa atau Dahlan Iskan. Pasangan capres-cawapres ini hasil koalisi dari partai GERINDRA (12%), PPP (7%), dan PAN (7%). Secara ideologis koalisi ini lebih dominan kepada Nasionalis-Islam Moderat- cenderung Pro Pasar. Ketiga, Aburizal Bakri berpasangan dengan Pramono Edhi atau Anis Matta atau Wiranto. Pasangan capres-cawapres ini hasil koalisi partai GOLKAR (14%), PD (9%), PKS (7%) dan HANURA (5%). Secara ideologis koalisi ini lebih dominan kepada Nasionalis-Islam Moderat- cenderung Pro Pasar. Dengan kecenderungan itu dan pola koalisi seperti diatas maka pemerintahan baru kedepan cenderung pro Pasar dan nampaknya akan berjalan kurang efektif karena dukungan parlemen kurang maksimal.

Selain ketiga kecenderungan capres-cawapres dan koalisinya tersebut diatas, masih memungkinkan terjadi perubahan pola koalisi dan bertambahnya capres-cawapres menjadi empat pasangan. Hal ini terjadi jika partai partai Islam moderat melakukan konsolidasi membangun koalisi misalnya PKS, PPP, PAN dan PBB. Koalisi Islam Moderat (KIM) ini nampak sulit tetapi dimungkinkan terjadi jika tiga kecenderungan capres-cawapres sebelumnya gagal membangun koalisi dengan partai Islam karena tidak berhasil meyepakati konpensasi kursi menteri di kabinet mendatang dan perbedaan gagasan tentang solusi masa depan Indonesia. Pola koalisi juga masih mungkin berubah jika Jokowi atau Prabowo memilih berpasangan dengan akademisi atau tokoh independen atau dengan Rismaharini, mantan walikota Surabaya yang dikenal sukses memimpin Surabaya.
Kelemahan,Kekuatan Capres dan Koalisinya
Bagaimana dengan kekuatan dan kelemahan capres dan koalisinya? Kelemahan utama koalisi Jokowi adalah ada pada model leadership Jokowi yang dinilai tidak mengikuti pakem kepemimpinan modern, selain itu juga nampak tidak memiliki kekuatan gagasan-gagasan besar tentang masa depan Indonesia. Selain itu koalisi ini hanya dominan mengandalkan basis masa di Jawa-Bali dan sebagiam kecil di Sumatera. Koalisi ini juga terlihat bergantung dengan tokoh. Sementara kekuatan utama koalisi Jokowi adalah citra positif Jokowi sebagai pemimpin merakyat, finansial yang besar, pemilih tradisional yang setia, kekuatan media massa, dan mesin politik partai yang bekerja.

Kelemahan utama koalisi Prabowo adalah ada pada rekam jejak Prabowo dimasa lalu yang belum menguap dari ingatan publik dalam kasus penculikan aktivis dan kerusuhan mei 1998, belum optimalnya kerja-kerja mesin politik partai di koalisi ini dan tiadanya kepemilikan media utama dalam koalisi ini. Koalisi ini juga terlihat dominannya tokoh Prabowo. Sementara kekuatan utama koalisi Prabowo adalah citra leadership yang kuat Prabowo sebagai pemimpin yang tegas dan berani, finansial yang besar, dan pemilih tradisional yang setia. Sementara kelemahan utama koalisi Aburizal Bakri adalah ada pada rekam jejak bisnis Aburizal Bakri dimasa lalu dalam kasus lumpur Lapindo, dan kurang solidnya Golkar mendukung Aburizal Bakri. Sementara kekuatan utama koalisi Aburizal Bakri adalah finansial yang besar, kekuatan media massa, dan pemilih pemula perkotaan. Sementara jika koalisi Islam moderat (KIM) terbentuk kelemahan utamanya ada pada minimnya kekuatan media massa, dan finansial. Tetapi kekuatan utama KIM ini ada pada mesin politik partai yang bekerja, adanya pemilih setia, pemilih pemula muslim perkotaan, dan dapat memanfaatkan kapital identitas keagamaan.
Pemenang Pilpres 2014?
Dengan mencermati kekuatan dan kelemahan capres-cawapres dan koalisinya tersebut maka dapat diprediksi bahwa pemilu Presiden kedepan akan berlangsung dua putaran karena masing masing capres dan koalisinya memiliki kekuatan berimbang. Perolehan suara juga cenderung tidak jauh berbeda. Selain itu dengan kekuatan yang berimbang ini maka attacking politik akan sangat tinggi antar calon presiden bahkan cenderung mengarah kepada tingginya kecenderungan black campaign (kampanye hitam) antar capres. Keterampilan melakukan serangan balik terhadap kampanye hitam, keterampilan mengemukakan gagasan gagasan besar solusi Indonesia masa depan, marketing politik yang kreatif serta bekerjanya mesin politik pasangan capres-cawapres akan menentukan siapa pemenang pemilu Presiden Juli mendatang.
Ubedilah Badrun, Direktur Puspol Indonesia & Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014

Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di aktual.co tanggal 14 April 2014

Hasil pemilu legislatif 2014 belum usai dihitung, elit politik seolah terhipnotis oleh hasrat berkuasa yang memuncak ketika perbincangan capres cawapres dan soal koalisi mengemuka. Elit politik mupun publik hampir lupa atau bahkan hilang sikap kritisnya terhadap penyelenggaraan pemilu yang sesunggunnya tidak luput dari kecurangan dan tumbuh suburnya money politic yang jauh lebih dahsyat dan lebih liar dan terbuka pada pemilu 2014 ini dibanding pemilu sebelumnya. Para politisi nampaknya lupa tentang spirit utama memasuki arena politik yang telah dicontohkan para pendiri bangsa ini. Mereka lupa menjadikan Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Wahid Hasyim, Natsir, dan lain lain sebagai contoh empirik politisi yang menempatkan national interest (kepentingan nasional) sebagai orientasi utama. Nampaknya elit politik juga lupa menjadikan para pendiri bangsa itu sebagai contoh empirik dari wajah elit politik Indonesia yang menempatkan etika politik sebagai panglima.
Orientasi Politik
Dalam khazanah politik klasik lebih dari dua ribu tigaratus tahun lalu gagasan demokrasi sebagai bagian dari politik diperdebatkan dan diparktekan. Buah perdebatan dan eksperimen demokrasi itu kemudian melahirkan apa yang sekarang dikenal sebagai pemilihan umum atau pemilu. Jika kita merujuk pada gagasan awal politik demokrasi itu sesungguhnya bertujuan untuk mewujudakan kehidupan yang lebih baik ,Aristoteles (450 SM) menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Dari khazanah klasik ini kita diingatkan tentang sebuah orientasi politik yang mulia yakni en dam onia, sebuah kehidupan yang lebih baik, bukan orientasi utamanya merebut kekuasaan.

Tentang etika politik dan kemuliaan orientasi politik dimasa lalu perlu dikemukakan, hal ini untuk mengingatkan tentang sesuatu yang penting dari sekedar perebutan kekuasaan di dalam politik. Salah satu yang menggambarkan hilangnya etika politik dan memudarnya orientasi mulia dalam politik adalah ketika politik dijadikan komoditas dan sebagai arena kompetisi liar dan arena transaksional tak ubahnya seperti jual beli di pasar loak atau bahkan di black market.

Sesungguhnya politisi saat ini bisa belajar banyak hal dari para p[endiri bangsa, dari soal menempatkan kepentingan nasional, idealisme, sampai soal kesederhanaan. Meski pada mereka semua keteladanan itu ada pada masing masing tokoh, penulis coba ambil sisi dominannya dari mereka. Pada Soekarno-Hatta kita bisa belajar bagaimana menempatkan kepentingan nasional dan idealisme kebangsaan sebagai hal utama. Pada Agus Salim kita bisa belajar kesederhanaan meski menjadi pejabat negara tetapi tetap hidup sederhana bahkan nomaden dari kontrakan ke kontrakan. Pada Hatta kita bisa belajar bagaimana ia pandai mengelola emosi dan menahan diri dari keinginan keinginan materialnya, bahkan sepatu impiannya pun tak sampai terbeli hingga akhir hayatnya. Atau kepada Natsir yang menggunakan jas tambal dan mengayuh sepeda ontel kekontrakannya. Atau pada Wahid Hasyim kita bisa belajar bagaimana kita mesti punya sikap menghormati minoritas. Atau pada Tan Malaka yang memilih jalan hening berjuang membangun idealisme anak muda tanpa hingar bingar publikasi media. Keteladanan mereka perlahan kini makin hilang diarena politik liberal negeri ini pasca amandemen UUD 1945. Pemilu yang transaksional dan tumbuh subur nya money politic telah mengikis etika politik kebangsaan elit politik kita. Elit politik nampak membiarkan praktik praktik curang dalam pemilu leguslatif 2014 yang baru saja usai .
Pola Jual Beli Suara Pada Pemilu 2014
Andrew Reynolds & Ben Reilly(2002) meyakini bahwa pemilihan umum adalah metode dimana suara suara rakyat diterjemahkan menjadi kursi-kursi milik partai dan milik para kandidat anggota legislatif yang memenangkan pemilihan. Begitu juga ilmuwan politik lainya seringkali memahami perolehan kursi sebagai produk kompetisi pemilu antar kandidat, tetapi tidak banyak yang meneliti dan mengamati secara serius tentang bagaimana sebuah partai atau kandidat mendapatkan suara yang berbuah kursi di parlemen atau jabatan negara lainnya. Ada banyak cara mendapatkan kursi di parlemen selain cara cara normal seperti kreativitas marketing politik, popularitas dan bekerjanya mesin politik. Dalam konteks inilah menjadi penting mencermati pola pola jual beli suara dalam pemilu legislatif 2014 yang baru saja dilaksanakan beberapa hari lalu.

Sedikitnya ada lima pola jual beli suara yang terjadi pada pemilu 2014 yang penulis temukan dari deep interview kepada para pemilih. Pertama, pola makelar tokoh lokal. Pola ini seringkali terjadi seminggu atau beberapa minggu sebelum pemilihan umum dilangsungkan. Biasanya sang makelar tokoh lokal mendekati para calon anggota legislatif (caleg) atau sebaliknya dan menawarkan jaminan perolehan suara dengan jumlah perolehan suara tertentu dengan harga tertentu. Makin besar jumlah rupiah yang diberikan maka makin banyak jumlah suara yang diperoleh. Rata rata persuara dihargai antara 20 ribu sampai 200 ribu. Cara ini dianggap cenderung lebih aman bagi para caleg karena caleg tidak memberikan uang langsung ke pemilih tetapi sang makelar tokoh lokal tersebut yang memberikan langsung. Kedua, pola Pembeli Surat Berharga. Pola ini dilakukan oleh pelaku pembeli surat panggilan pemilih yang tidak ada orangnya atau meninggal dunia tetapi ada di DPT. Pelaku dalam pola ini biasanya mendekati PPS sehari atau seminggu sebelum hari pelaksanaan pemungutan suara dengan menanyakan kepada panitia atau pengurus ditingkat RW tentang surat panggilan yang tidak ada pemilihnya. Jika sang pembeli ini menemukan jawaban dari PPS bahwa ada banyak surat panggilan yang tidak ada pemilihnya maka mereka tidak segan segan langsung mau membeli surat panggilan tersebut.Rata rata mereka menawarkan harga satu surat panggilan pemilih seharga 5 ribu sampai 20 ribu rupiah. Biasanya mereka menyewa orang untuk memilih di TPS tersebut sesuai surat panggilan.

Ketiga, pola beli langsung. Pola ini dilakukan langsung oleh caleg yang bertemu dengan pemilih dengan memberikan langsung uang kepada pemilih beberapa hari sebelum pemilu dan beberapa jam sebelum pemungutan suara. Besaran pola beli langsung ini satu suara senilai 10 ribu sampai 100 ribu rupiah. Keempat, Pola Sembako. Pola ini dilakukan oleh aktivis atau pengurus partai ditingkat lokal bekerjasama dengan masyarakat setempat. Pola sembako ini mereka memberikan bingkisan kepada pemilih dengan isi bingkisan berupa bahan bahan sembako lengkap yang terdiri dari minyak goreng, beras dua liter, gula 1 kg, teh celup, mie instan 2 sampai 5 bungkus. Pemberian sembako ini dilakuam oleh caleg dengan memanfaatkan struktur partai ditingkat bawah. Besaran caleg atau partai politik dalam satu kabupaten mengeluarkan paket sembako nilainya mencapai 1 sampai 10 Milyar. Kelima, Pola Bom. Pola bom ini dilakukan hanya beberapa jam sebelum pemungutan suara. Disebut bom karena nilai uang yang diberikan kepada pemilih adalah nilai tertinggi dari semua caleg yang memberikan uang kepada pemilih. Sang caleg atau kaki-kakinya berani memberikan uang tertinggi kepada pemilih di jam terakhir atau sering juga disebut serangan fajar beberapa jam sebelum memilih dengan harapan pemilih akan memilih mereka yang memberikan uang paling banyak. Keenam, Pola Beli Suara Caleg Lain. Pola ini dilakukan usai perhitungan suara. Suara caleg yang memenuhi BPP (Bilangan Pembagi Pemilih dalam suatu Daerah Pemilihan) atau suara caleg yang paling besar dalam satu partai dipastikan mendapatkan satu kursi karena limpahan dari suara partai jika memenuhi BPP. Tetapi untuk memenuhi BPP tidaklah mudah oleh karenanya caleg yang berduit berani membeli suara dari caleg lain baik internal caleg satu partai, maupun suara dari caleg partai lain, dan ini membutuhkan keterampilan sistemik untuk melakukan perubahan angka angka dalam form D1 dtingkat KPPS agar tidak merubah jumlah pemilih yang datang ke TPS.

Temuan pola jual beli suara pada pemilu 2014 tersebut membenarkan tesis penulis sebelumnya dalam tulisan dengan judul Persinggungan Tipologi Pemilih dengan Tipologi Caleg pada Pemilu 2014 (http://pemilu.sindonews.com/read/2014/04/04/116/850729/), bahwa kecenderungan pemenang pemilu legislatif adalah mereka caleg yang masuk kategori prestise dan trader yang memiliki modal ekonomi yang besar. Pola jual beli suara ini secara sistemik merusak kualitas demokrasi. Mereka yang terpilih adalah mereka yang mengeluarkan uang banyak dalam pemilu dan dengan caleg seperti itu maka akan cenderung menjadi anggota legislatif yang orientasinya bukan untuk kepentingan nasional. Selain itu, jual beli suara yang marak dan beragam ini juga merusak partai yang bekerja secara serius merawat konstituen sepanjang 5 tahun sebelumnya sekaligus juga merusak konstruksi berfikir masyarakat yang pada akhirnya menganggap lumrah praktek jual beli suara. Jika jual beli suara ini dianggap lumrah, maka kesimpulannya Republik ini sedang rusak!
Ubedilah Badrun, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Direktur Puspol Indonesia.

Persinggungan Tipologi Pemilih Dengan Caleg Pada Pemilu 2014

Persinggungan Tipologi Pemilih Dengan Caleg Pada Pemilu 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di Sindo tgl 4 April 2014: http://nasional.sindonews.com/read/2014/04/04/116/850729/persinggungan-tipologi-pemilih-dengan-caleg-di-pemilu-2014

Dalam khazanah sosiologi politik dikenal konsep voter behavior (perilaku pemilih). Salah satu tokoh yang memperkenalkan konsep perilaku pemilih adalah Seymour Martin Lipset. Dalam karyanya Political Man: The Social Bases of Politic (1960) Lipset menjelaskan sejumlah faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih, diantaranya faktor sosial ekonomi, etnik, dan agama yang membentuk tipologinya sendiri. Aktivis Partai atau calon anggota legislatif (caleg) memerlukan pemahaman ini. Karena dengan pemahaman perilaku pemilih sesungguhnya memudahkan mereka membuat strategi politik, mengetahui cara merebut hati pemilih. Sayangnya sangat sedikit caleg atau partai yang secara serius menganalisis tipologi pemilih sebelum mereka kampanye dan bertarung dalam pemilu. Sementara disisi lain pada arena kontestasi politik pemilu, ternyata caleg juga memiliki tipologinya sendiri. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana tipologi pemilih dan tipologi caleg pada pemilu 2014? Bagaimana persinggungan keduanya? Dengan persinggungan tipologi itu bagaimana kemungkinan hasil pemilu 2014?
Tipologi Pemilih
Dalam pengamatan penulis dengan menggunakan perspektif tipologi dan sosiologi politik, pada pemilu 2014 ini sedikitnya ada enam tipologi pemilih. Pertama, pemilih tradisional (traditional Voter). Pemilih tipe ini memiliki hubungan tradisional dengan kontestan pemilu baik dengan caleg maupun dengan partai politik. Mereka memiliki ikatan kultural, ikatan sosial, ikatan nilai-nilai bahkan ikatan ideologis.Pemilih tipe ini cenderung konsisten memilih satu partai dari generasi ke generasi. Mereka sering juga dijadikan sebagai basis tradisional partai tertentu. Di Indonesia pada pemilu 2014 ini, tipe pemilih seperti ini ada pada partai yang lahir dari ormas keagamaan. Misalnya pada partai PKB yang lahir dari kultur ormas NU, PAN dari kultur ormas Muhammadiyah maupun PBB dari kultur ormas Persis atau Persatuan Islam. Dapat dipastikan partai partai tersebut memiliki pemilih setia. Kedua, pemilih subyektif (subjective voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena memiliki hubungan emosional dengan kontestan, khususnya dengan caleg atau figur populer tertentu. Subyektifitas pemilih ini terjadi karena kontestan telah mencuri perhatian pemilih dengan unsur unsur subyektif ketokohan para kontestan baik di design maupun alamiah. Tipologi pemilih subyektif ini cukup dominan terjadi pada pemilu 99 dengan ketokohan Megawati, pada pemilu 2004 dan 2009 dengan ketokohan SBY, dan pada pemilu 2014 ini pemilih subyektif akan dominan muncul pada ketokohan Jokowi dan Prabowo. Tentu saja pemilih subyektif ini ada yang berkorelasi memilih partai sang tokoh dalam pemilu legislatif tetapi memungkinkan juga mereka memilih tokoh saja saat pemilu Presiden tetapi pada pemilu legislatif memilih partai lain.

Ketiga, pemilih pragmatis (pragmatic voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena pertimbangan pertimbangan pragmatis, mana yang menguntungkannya itulah partai atau kandidat caleg yang dipilihnya. Pada pemilu 2014 ini pemilih pragmatis jumlahnya paling dominan karena trend praktik politik liberal saat ini telah menumbuhsuburkan pola politik transaksional. Perilaku korup adalah turunannya yang tumbuh subur di era politik liberal 2014. Kompetisi antar caleg satu parati maupun beda partai telah menumbuhsuburkan perilaku pemilih pragmatis. Ini adalah dosa politik terbesar dari sistim politik liberal saat ini di Indonesia. Keempat, pemilih skeptis (skeptic voter). Pemilih tipe ini meragukan semua partai, mereka tidak menganggap penting perbedaan partai, termasuk tidak menganggap penting ideologi partai politik. Mereka juga tidak meyakini bahwa partai akan benar benar memperjuangkan kepentimganya. Tetapi mereka ini tidak mau dikategorikan golput (golongan putih) yang tidak ikut pemilu. Mereka tetap ingin dinilai sebagai warga negara yang baik ikut berpartisipasi memilih dalam pemilu. Tetapi mereka memilih dengan dua pola yaitu mencoblos semua partai atau mereka membagi pilihan berbeda pada setiap level calon legislatif dari partai yang berbeda. Misalnya untuk memilih caleg DPR RI ia memilih Partai A, untuk caleg DPRD Provinsi memilih dari partai B, dan untuk memilih caleg DPRD kabupaten mereka memilih partai C.

Kelima, pemilih ideologis (ideologic Voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena kecocokan ideologi dirinya dengan ideologi partai yang dipilihnya. Biasanya mereka memilih melalui pertimbangan ideologi yang dianutnya. Pemilih tipe ini ada dua kategori yaitu kategori mereka anggota inti partai politik. Sebagai anggota inti tentu mereka telah melalui proses ideologisasi yang panjang sehingga ketika memilih ia lakukan karena spirit ideologisnya. Kategori kedua adalah mereka masyarakat umum tetapi memiliki pemahaman ideologis yang kuat. Perspektif ideologisnya menuntunnya menentukan pilihan. Keenam, pemilih rasional (rational voter). Pemilih tipe ini menentukan pilihan karena pertimbangan pertimbangan rasional. Mereka mempelajari berbagai hal tentang caleg dan partai politik yang akan dipilihnya. Mereka mempelajari visi, misi dan program program para caleg maupun partai politik. Rasionalitasnya bekerja untuk menentukan pilihan yang tepat baginya. Mereka juga mempelajari track record caleg dan partai politik yang akan ia pilih. Bahkan mereka sampai menyempatkan waktunya untuk menemui caleg mempertanyakan berbagai hal hingga meyakinkan ia untuk memilihnya. Pemilih tipe ini jumlahnya tidak banyak, mereka ada di wilayah perkotaan
Tipologi Caleg
Untuk mengamati tipologi caleg penulis menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan sosiologi politik khususnya pada kajian stratifikasi sosial politik dan pendekatan psikologi politik khususnya kajian motivasi berpolitik para calon anggota legislatif. Perspektif stratifikasi sosial (social stratification) meyakini bahwa pembacaan terhadap masyarakat bisa dilakukan dengan pengelompokan masyarakat secara vertikal hirarkis (bertingkat). Pitirim A Sorokin (1959) pernah mengemukakan bahwa social stratification is permanent characteristic of any organized social group. Dengan demikian stratifikasi sosial merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Hal ini juga terjadi dalam komunitas partai politik yang menjadi pintu pencalegan. Dalam konteks ini caleg ternyata dapat diklasifikasikan juga sesuai stratifikasinya.

Dengan perspektif stratifikasi ini, caleg pada pemilu 2014 dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu caleg lapisan atas, caleg lapisan tengah dan caleg lapisan bawah. Caleg lapisan atas adalah mereka yang berasal dari kelas ekonomi elit, pengurus elit partai politik dan elit aktivis organisasi quasi politik. Caleg yang masuk kategori ini adalah pengusaha besar, pebisnis sukses, pentolan aktivis dan mereka yang sangat populer. Mereka ini memliki akses ekonomi dan politik yang mudah, termasuk akses ke partai politik. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian atas yaitu nomor urut 1 sampai dengan 3. Caleg lapisan tengah adalah mereka yang berasal dari kelas ekonomi menengah, pengurus organisasi kemasyarakatan tertentu dan aktivis yang tidak terlalu populer. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian tengah yaitu nomor urut 4 sampai nomor urut 6. Sementara caleg lapisan bawah adalah mereka yang secara ekonomi belum mapan bahkan cenderung seperti job seeker (pencari kerja), namun diantara mereka ada yang memiliki idealisme yang kuat. Mereka biasanya dalam pencalegan berada di nomor bagian bawah yaitu nomor urut 7 sampai nomor urut 10.

Sementara jika menggunakan pendekatan psikologi politik khususnya perspektif motivasi berpolitik (motif pencalegan) maka tipologi caleg pada pemilu 2014 ini dapat diklasifikasikan menjadi enam tipe yaitu tipe mencari prestise ( prestise type), tipe pedagang (trader type), tipe petualang (adventurer type), tipe pencari perlindungan (protection seeker type), tipe pencari kerja (job seeker type), tipe pejuang (fighter type). Tipe mencari prestise (prestise type) adalah mereka para caleg yang ingin menjadi anggota legislatif karena status simbolik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Kecenderungan mereka yang termasuk tipe ini adalah incumbent, pengusaha besar (konglomerat) dan mereka yang sudah populer seperti artis, dan tokoh nasional dari organisasi yang sangat populer. Tipe pedagang (trader type), adalah mereka yang menjadi caleg dengan kepentingan mencari keuntungan finansial yang lebih besar. Berpolitik bagi mereka seperti perdagangan yang sarat dengan hukum hukum ekonomi. Mereka meyakini dengan modal tertentu dalam pencalegan mereka akan mendapatkan keuntungan sebesar- besartnya. Mereka ini sudah menghitung kapan waktunya untung dalam berpolitik, sehingga mereka berani memasuki arena politik. Mereka juga berniat menggunakan kedudukan politiknya untuk mengembangkan sayap bisnisnya.

Tipe petualang (adventurer type) adalah mereka yang menjadi caleg karena ingin memanfaatkan beragam peluang dan beragam kepentingan untuk kepentingan pribadinya. Tipe ini juga sering berpindah pindah partai yang penting mendapat nomor urut satu atau nomor urut jadi. Tipe pencari perlindungan (protection seeker type) adalah mereka yang menjadi caleg dengan niat agar ketika menjadi caleg dapat melindungi diri dari beragam kemungkinan tersangkut kasus hukum atau diperkarakan. Mereka yang masuk tipe ini biasanya adalah mantan pejabat yang diduga bermasalah secara hukum atau tidak bermasalah tetapi semacam untuk antisipasi. Tipe pencari kerja (job seeker type) adalah mereka menjadi caleg karena belum memiliki pekerjaan yang mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Bahkan diantara mereka ada yang pekerjaanya belum tetap. Mereka berfikir menjadi caleg itu mirip mendaftar pekerjaan. Tipe pejuang (fighter type) adalah mereka yang menjadi caleg karena memiliki keinginan kuat untuk melayani rakyat memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Biasanya tipe ini dimiliki oleh para pentolan aktivis yang memahami idealisme perjuangan. Bagaimana persinggungan antara tipologi pemilih dan caleg? Berikut ini tabel yang menggambarkan persingungan tersebut:
Tabel Persinggungan Tipologi Caleg-Tipologi Pemilih dan Peluang Perolehan Suara Pada Pemilu 2014
Tipologi Caleg Tipologi Pemilih Peluang Perolehan Suara Pencari Prestise Subyektif, Pragmatis. Tinggi Pedagang Pragmatis Sedang Petualang Skeptis Rendah Pencari Perlindungan Subyektif, Pragmatis Tinggi Pencari Kerja Pragmatis, skeptis. Sedang Pejuang Ideologis, Rasional Sedang Lapisan Atas Subyektif, Pragmatis Tinggi Lapisan Tengah Rasional, Pragmatis Sedang Lapisan Bawah Skeptis, Ideologis Sedang

Dengan memperhatikan tabel diatas maka kemungkinan caleg yang mendapat suara tinggi dalam pemilu 2014 adalah mereka yang termasuk kategori tipe caleg pencari prerstise, caleg pencari perlindungan, dan caleg lapisan atas. Ini artinya anggota DPR yang terpilih cenderung mereka yang bermodal besar. Ini membenarkan tesis bahwa praktek pemilu ala demokrasi liberal hanya akan menghasilkan dominasi caleg yang bermodal besar tetapi cenderung miskin gagasan dan kurang menempatkan national interest sebagai agenda utama bangsa.
Ubedilah Badrun, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Puspol Indonesia.

Mewaspadai Rendahnya Partisipasi Pada Pemilu 2014

Mewaspadai Rendahnya Partisipasi Pada Pemilu 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di Sindonews 13 Maret 2014: http://pemilu.sindonews.com/read/2014/03/12/116/843442/mewaspadai-rendahnya-partisipasi-pada-pemilu-2014

Partisipasi politik menjadi salah satu indikator signifikan dalam negara demokrasi. Makin tinggi partisipasi politik warga negara dalam proses politik maka makin besar nilai demokrasi sebuah negara. Sebab partisipasi yang besar seringkali menjadi indikator kuatnya legitimasi politik. Hal utama dalam demokratisasi sebuah negara salah satu prosesnya ditentukan oleh tinggi rendahnya partisipasi politik warga dalam pemilu. Meskipun mengikuti pemilu menurut Philip Althoff & Michael Rush dalam An Introduction to Political Sociology (1971) ketika berbicara tentang hirarki partisipasi menempatkan memilih dalam pemilu atau memberikan suara dalam pemilu sebagai tingkat partisipasi yang paling rendah setelah apati politik.
Trend Partisipasi Semakin Rendah
Meski demikian partisipasi politik rakyat dianggap penting oleh para pelaku demokrasi. Inilah yang memungkinkan penyelenggara demokrasi seperti KPU melakukan tindakan untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam pemilu.Tidak sedikit biaya yang digunakan untuk mengajak warga mengikuti pemilu. Dari pembuatan baliho ajakan ikut pemilu sampai kampanye di sejumlah media massa baik online, tv, maupun cetak demi banyaknya partisipasi warga. Masalahnya tidaklah mudah mengajak warga datang ke TPS untuk memilih wakilnya duduk di kursi DPR, apalagi ditengah public distrust yang luar biasa terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara.

Dalam sejarah pemilu Indonesia sejak akhir masa rezim orde baru hingga pemilu 2009 menurut catatan Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia) trend prartisipasi dalam pemilu mengalami penurunan yang signifikan. Pada pemilu 1997 tingkat partisipasi pemilu mencapai 96,6 %, pada pemilu 1999 mencapai 92,7%, pada pemilu 2004 mencapai 84,1% (legislatif) dan 78,2 % (Pilpres), dan pada pemilu 2009 mencapai 70,99 %(legislatif) dan 71,7 % (pilpres). Data tersebut menunjukan kecenderungan tingkat partisipasi mengalami penurunan secara signifikan dan terus menerus dalam empat kali pemilu. Apakah pemilu 2014 akan mengalami penurunan angka partisipasi. Dengan situasi public distrust yang luar biasa terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara saat ini, penulis memprediksi akan secara signifikan turut menurunkan angka partisipasi pemilih dalam pemilu 9 April 2014 nanti. Dengan rendahnya tingkat partisipasi secara kualitatif legitimasi politik produk pemilu menjadi rendah, meski tetap dianggap publik dan secara politik sebagai produk politik yang sah.

Antisipasi apa yang mungkin dilakukan ketika partisipasi dalam pemilu rendah mengingat waktu pemilu kian dekat? Dalam konteks ini moratorium iklan pemilu di televisi bukanlah kebijakan yang tepat. Sebab aura publik tentang pemilu perlu terus dikondisikan melalui iklan dibanyak media televisi, tentu dengan aturan yang adil. Meningkatkan angka partisipasi dalam pemilu bukanlah pekerjaan mudah tetapi cukup sulit, sesulit merubah persepsi publik yang sudah distrust terhadap lembaga politik bahkan terhadap lembaga negara. Ini sekaligus menunjukkan besarnya dosa politik rezim dan dosa politik partai politik yang gagal membangun kepercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan lembaga negara. Praktik korupsi para politisi dan pejabat negara memberi kontribusi besar bagi meluasnya ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan terhadap lembaga negara.
Tingkatkan Partisipasi Dengan Dua Cara
Ada dua solusi penting yang mungkin bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pemilu 2014 selain iklan yang adil di media massa. Pertama, partai partai politik perlu bekerja keras menggerakan mesin politiknya mendekat kepada rakyat sebagai pemilih. Kerja kerja mesin politik partai inilah yang lebih efektif meningkatkan partisipasi rakyat dalam pemilu. Bergerak dengan intensitas tinggi menyapa rakyat menuju agenda besar 2014 akan lebih mudah diterima rakyat untuk ikut pemilu dibanding iklan di media. Meski memang diakui ada efek iklan terhadap kemauan rakyat untuk ikut memilih. Tetapi karena ketidakpercayaan yang luar biasa terhadap lembaga politik menyebabkan rakyat memerlukan dialog intensif untuk membuatnya yakin agar ikut pemilu. Bergeraknya mesin politik partai menyapa rakyat membuka ruang dialog intensif yang sedikit banyak akan merubah persepsi rakyat tentang lembaga politik yang kemudian membuatnya ikut memilih dalam pemilu. Kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu terus mengoptimalkan agenda sosialisasi pemilu sampai sebelum 9 april 2014. Tentu komisioner KPU perlu kerja keras bersama relawan demokrasi yang sudah dibentuknya, bukan sekedar memasang balioho pemilu, tidak hanya beriklan di media, tetapi menyatu bersama warga membicarakan hajatan besar pemilu 2014. Jangan pernah ada pikiran KPU untuk mark up persentase angka pemilih.

Jika upaya keras partai politik dan KPU mengajak warga ikut pemilu 2014 sudah dilakukan tetapi kemudian hasilnya tingkat partisipasi politik rakyat juga tetap rendah maka ini adalah lonceng kematian demokrasi liberal yang sudah berusia 15 tahun pasca reformasi 1998 tetapi tidak memberi manfaat besar bagi kesejahteraan rakyat. Rendahnya partisipasi adalah bentuk protes rakyat terhadap praktik politik yang berlangsung. Jika rendahnya partisipasi yang terjadi maka infra struktur politik (parpol, dll) perlu berbenah secara mendasar, sekaligus mulai mengagendakan untuk meninjau ulang sistim politik yang sedang berlangsung. Momentum pemilu 2014 adalah momentum penting untuk melanjutkan demokrasi liberal atau sekaligus mengakhiri demokrasi liberal.
Ubedilah Badrun, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & Direktur Puspol Indonesia.

Memaknai Kemenangan Politik 2014

Memaknai Kemenangan Politik 2014
Oleh: Ubedilah Badrun

Tulisan ini dimuat di Sindonews 28 Feb 2014 :http://nasional.sindonews.com/read/2014/02/28/116/839894/memaknai-kemenangan-politik-2014

Menjelang pemilu 9 April 2014, semua partai politik bekerja untuk menggapai kemenangan memperoleh kursi sebanyak banyaknya di DPR. Para calon anggota legislatif (caleg) bekerja dan berkompetisi untuk memperoleh kursi, bahkan team sukses dan para relawan pendukung caleg juga turut bekerja demi kemenangan caleg-nya. Untuk meperoleh kursi di parlemen para caleg semangat bersaing meski harus kompetisi dengan sesama anggota satu partai dan dipastikan ada yang akan berguguran karena jatah kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan untuk DPRD tidaklah banyak, sementara yang berebut kursi jumlahnya ratusan. Dimungkinkan juga gesekan sesama anak bangsa terjadi antar caleg dari satu partai maupun antar caleg partai politik yang berbeda.. Kursi yang diperebutkan di DPR RI juga tidaklah banyak hanya 550 kursi, sementara yang berebut kursi jumlahnya ribuan. Artinya akan ada ribuan caleg yang berguguran. Ketika para caleg berguguran, partai politik perlu membuat antisipasi. Kanalisasi ide ide para caleg dan kanalisasi psikologis para caleg yang gagal perlu disiapkan partai politik. Jika tidak, realitas menumpuknya caleg yang gagal ini akan menjadi problem tersendiri bagi partai politik. Bahkan tidak sedikit karena stres yang tinggi akibat kegagalan, mereka harus merasakan ruangan khusus bagi penderita gangguan jiwa. Sebab penulis menemukan situasi psikologis para kompetitor dalam pemilu ini memang penuh tekanan, intrik, sakt hati, dan beban psikologis yang berat lainnya.
Faktor Kemenangan
Tentu tidak ada satupun partai dan caleg yang mau bertarung di arena pemilu dengan tujuan gagal, semuanya mau bertarung dengan target ingin menang. Bahkan hampir tidak sedikit partai yang sama sama ingin menjadi 3 besar pemenang. Karena hasrat ingin menang ini begitu kuat maka telah banyak strategi dilakukan partai politik untuk menggapai kemenangan gemilang. Optimisme dibangun oleh masing masing partai dan ditanamkan kuat kuat pada para caleg nya dengan beragam pertemuan. Ada semacam harapan harapan 'surgawi' dan misi misi 'suci' yang melekat dalam bayang bayang pikiran para caleg.

Persoalanya kemudian tidaklah mudah untuk memperoleh kemenangan. Kemenangan politik membutuhkan persiapan. Kemenangan politik juga memerlukan kerja kerja sistimatis yang panjang. Kemenangan politik juga memerlukan modal sosial yang luas.Kemenangan politik juga membutuhkan modal ekonomi yang tidak sedikit. Sebut saja misalnya temuan Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia) bahwa para caleg DPR RI yang ada di Jakarta mengeluarkan biaya antara 200 juta sampai 1,5 Milyar. Angka yang tentu saja jika digunakan untuk bisnis disektor perdagangan sudah cukup untuk digunakan dalam memulai sebuah usaha

Dalam politik seringkali kemenangan diperoleh karena 5 faktor. Pertama, faktor popularitas. Faktor popularitas ini dimiliki seseorang bisa karena secara alamiah ia memamng memiliki magnet untuk menjadi populer. Ia telah menyedot perhatian publik dengan sejumlah kelebihan kelebihannya dan sejumlah aktivitasnya yang diterima publik secara luas. Tetapi dalam politik popularitas seseorang juga bisa di design atau direkayasa atau bahkan 'dibeli' dengan sejumlah uang. Tidak sedikit orang ingin populer dengan melakukan berbagai cara. Dalam The Modern Prince Antonio Gramsci (1971) pernah mengingatkan soal haus popularitas ini yang ia sebut sebagai penyakit manusia modern. Kedua, faktor modal ekonomi. Faktor ini juga menjadi salah satu faktor penentu kemenangan. Semakin besar modal ekonomi seseorang maka semakin tinggi peluangnya untuk mendapatkan kemenangan. Karena dengan uang yang banyak ia dengan mudah memenuhi kebutuhan material dirinya dan pemilihnya untuk menggapai kemenangan. Meskipun uang bukanlah segala galanya untuk menang. Ketiga, faktor marketing politik. Keterampilan memasarkan diri dalam politik juga menjadi salah satu faktor penentu kemenangan. Pada faktor ini dibutuhkan keterampilan khusus dan kreatifitas yang tinggi dari seseorang untuk memasarkan dirinya. Semakin terampil dan kreatif memasarkan diri maka seseorang semakin mudah memperoleh kemenangan. Keterampilan dan kreatifitas memasarkan diri ini tidaklah membutuhkan modal besar, ia hanya membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan habitus yang mendukung berkembangnya kreatifitas. Faktanya tidak semua poltisi memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi ini. Keempat, faktor mesin politik. Faktor kemenangan ini dilakukan bukan oleh politisi nya tetapi dilakukan oleh team yang mau bekerja dan memiliki disiplin kerja yang tinggi untuk mencapai kemenangan. Team relawan atau team sukses atau sering juga disebut kader partai adalah mereka yang bekerja secara terorganisir untuk mencapai target kemenangan. Jika sebuah partai atau politisi minim popularitas, minim uang, minim keterampilan marketing politik, tetapi ia memiliki mesin politik yang solid dan gigih, peluang untuk menang ada pada mereka.Kelima, faktor integritas politisi atau partai. Integritas seseorang atau partai saat ini menjadi barang mahal, karena integritas itulah yang membuat seseorang menjadi memiliki idealisme yang kuat sekaligus menjadi pilihan rakyat. Temuan Puspol Indonesia menunjukkan bahwa disejumlah daerah dalam pemilihan kepala desa dimenangkan oleh mereka yang memiliki integritas, bukan dimenangkan oleh mereka yang populer atau yang punya uang banyak.Begitu juga dalam sejumlah pemilihan kepala daerah.
Kemenangan Substantif
Apa yang dinarasikan diatas adalah kemenangan politik dalam arti yang sangat material atau formal struktural. Selain kemenangan formal struktural, ada makna kemenangan politik yang lebih substansial yaitu kemenangan gagasan mewujudkan kehidupan yang baik. Karena kemenangan gagasan inilah yang sebenarnya inti kemenangan politik dalam arti yang sebenarnya dan dalam arti yang paling klasik. Pemikir politik klasik seperti Plato dan Aristoteles (450 SM) menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Politik itu sesungguhnya untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Pesan penting dari kemenangan gagasan ini adalah, menjadi tidak berarti kemenangan formal struktural jika nihil gagasan. Kemenangan formal struktural juga tidak berarti jika pun ia punya gagasan tetapi gagasan gagasan kebaikannya tidak mampu diwujudkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang paling real. Lebih hina lagi jika kemenangan formal struktural (mendapatkan kursi parlemen) tetapi ia menghianati gagasannya sendiri, menghianati janji janjinya sendiri, dan menghianati rakyat yang memilihnya.

Ketika kemenangan formal struktural tidak tercapai, bagi politisi yang memahami kemenangan substansial ia tak kan mengalami beban psikologis yang berat, ia tetap akan lapang dada. Karena kemenangan substansial sesungguhnya bisa diperoleh oleh politisi atau para caleg meski ia tak mendapatkan kemenangan formal struktural. Hal ini bisa terjadi jika gagasan gagasan para caleg yang gagal ternyata mampu ditangkap oleh para caleg yang memperoleh kemenangan formal struktural dan mampu direalisasikan. Karenanya kemenangan sesungguhnya bisa dimiliki siapapun. Tetapi kemenangan itu hanya bisa didapat oleh caleg yang memiliki gagasan gagasan besar yang pro terhadap kepentingan rakyat banyak dan sekaligus pro terhadap kepentingan nasional. Selamat mendapat kemenangan substansial!.
Ubedilah Badrun, Pengamat Poloitikl UNJ

Tuesday, January 28, 2014

Demokrasi, Media Massa dan Kepentingan Politik: Sebuah Gugatan

Demokrasi Media Massa dan Kepentingan Politik Sebuah Gugatan
Oleh : Ubedilah Badrun
Membaca perkembangan Demokrasi di Indonesia saat ini memunculkan banyak pertanyaan. Diantara pertanyaan tersebut adalah tentang bagaimana demokrasi bisa meyakinkan menjadi jalan terwujudnya kesejahteraan rakyat jika dalam masa demokrasi justru jumlah angka kemiskinan tidak beranjak berkurang? Mengapa ketika ruang demokrasi dibuka lebar justru konflik sosial makin menajam dan variatif? Mengapa dalam demokrasi justru korupsi, terorisme, dan radikalisasi tumbuh subur? Mengapa atas nama demokrasi pers bebas boleh dikuasai politik secara hegemonik? Pertanyaan pertanyaan tersebut tidak semuanya hendak dijawab dalam artikel ini tetapi penulis hendak menggugat pada pertanyaan terakhir tentang atas nama demokrasi pers bebas boleh dikuasai politik secara hegemonik? Dan apakah dengan demikian negara masih disebut Demokrasi?

Sesungguhnya jika kita menelisik lebih dalam tentang kriteria demokrasi, selain kriteria prosedural model Robert Dahl (on democracy, 1989), menempatkan demokrasi sebagai kontinum bisa menjadi alat ukur demokrasi seperti model yang dikemukakan oleh Lary Diamond, Juan Linz dan S martin Lipset (Democracy in Developing Countries,1989). Jika kita menempatkan Demokrasi sebagai kontinum maka setidaknya ada tiga kategori. Pertama, sistem politik dikatakan demokrasi penuh apabila memenuhi kriteria kompetisi, partisipasi dan kebebasan (fully democracy). Kedua, semi demokrasi atau demokrasi terbatas (restricted democracy) diantara cirinya adalah ketika pemilu menyimpang masih dikompromikan. Selain itu juga bisa dicirikan pada tataran terbatasnya kebebasan sipil dan politik dimana kepentingan dan orientasi politik tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan secara adil. Ketiga, derajat terendah adalah nondemokrasi yakni ketika rezim tidak memberi kesempatan kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik. Dengan perspektif tersebut penulis menempatkan Indonesia hari ini masuk kategori restricted democracy yakni ketika pemilu menyimpang masih dikompromikan seperti yang terjadi pada pemilu 2004 dan 2009 lalu. Selain itu kepentingan dan orientasi politik juga tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan secara adil. Kompetisi, partisipasi dan kebebasan menjadi bias. Pada titik inilah gejala restricted democracy itu makin jelas dengan kuatnya hegemoni politik atas media dengan adanya kepemilikan media massa oleh elit strategis partai partai politik.
Posisi Kontinum Media Massa Dalam Demokrasi
Mencermati fakta politik posisi media massa di Indonesia saat ini posisi kontinumnya secara umum tidak lagi sebagai sumber informasi yang independen. Padahal media massa adalah pilar keempat dalam demokrasi. Rakyat bisa mengontrol jalannya pemerintahan melalui media massa. Peran yang dimainkan media massa adalah menjadi  social control dan pressure groups, dengan demikian posisinya sebagai penyeimbang kekuasaan negara. Namun, idealisme media itu kini terkikis oleh hegemoni kepentingan dan bahkan hegemoni politik. Benar bahwa media massa sejak keberadaanya sudah dipengaruhi oleh kepentingan ideologi, kepentingan bisnis, kepentingan pribadi dan bahkan kepentingan politik. Problemnya adalah ketika begitu hegemoniknya partai politik di Indonesia menguasai media massa karena pemilik media massa adalah juga pengurus inti partai politik bahkan ketua partai atau ketua dewan Pembina partai. Hal ini bisa dicermati pada media massa TV dan media massa Koran. Pada posisi inilah yang kemudian menjadikan peran kontrol media menjadi bias. Dengan demikian kualitas demokrasi juga menjadi rendah karena faktor penyeimbang keuasaan negara atau salah satu pilar penting demokrasi telah rapuh digerogoti kepentingan politik secara subyektif dan besar besaran.

Pertanyaan rasional yang muncul dari posisi kontinum media massa yang dihegemoni itu adalah apa akibat rasional dari fenomena hegemoni politik terhadap media massa secara besar besaran tersebut? Tentu saja kepentingan pemilik modal yang sekaligus politisi lebih diakomodasi. Sementara, aspirasi rakyat banyak tidak dapat tersalurkan sepenuhnya. Sumber berita yang pro terhadap pemilik modal media massa tersebut lebih banyak diberi porsi sementara kelompok masyarakat lainya yang juga membutuhkan advokasi media ditempatkan secara minimalis. Persoalan kemudian yang muncul adalah jika kebenaran sesungguhnya adalah ada pada kelompok yang tidak pro terhadap partai pemilik media massa maka media massa tersebut tidak melakukan advokasi terhadap kebenaran. Ini artinya kebenaran informasi telah ditelikung oleh hegemoni politik terhadap media massa. Rakyat banyak yang juga memiliki hak memperoleh informasi yang benar pada giliranya menjadi dibohongi oleh media. Fakta relasi politik dan media seperti tersebut bisa dibayangkan betapa rusaknya demokrasi jika hampir semua petinggi partai politik memilki media massa secara bebas.
Lalu Dimana Posisi Media Massa
Undang Undanag No 34 Tahun 2004 tentang TNI tegas mengatakan bahwa prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan politik. Semangat dibalik undang-undang tersebut adalah agar politik berjalan secara netral. Pengalaman kelam masa orde baru yang diktator menjadi catatan buruk keterlibatan tentara dalam politik dimana tentara memiliki kursi di parlemen secara cuma-cuma dan bahkan hampir semua bupati dan gubernur berlatar belakang tentara aktif. Para analis sering mengatakan berbahaya jika yang punya senjata menjadi penguasa politik. Menurut hemat penulis kepemilikan media massa oleh petinggi partai politik secara substansial sama berbahayanya dengan tentara yang berkuasa secara politik.

Selain TNI, PNS juga pasca reformasi dilarang berpolitik dan dilarang menjadi anggota partai. Undang- Undang yang melarang PNS berpolitik dan menjadi anggota partai politik adalah UU nomor 10 Th. 2008 Tentang Pemilu. Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 juga dinyatakan bahwa Pegawai Negeri termasuk PNS sebagai unsur aparatur negara harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik, tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Pegawai Negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat.Semangat dibalik larangan tersebut adalah netralitas. Bahwa pegawai negara atau PNS ada untuk melayani rakyat banyak, maka ketika PNS berpolitik bisa mengganggu jalanya tugas tugas negara karena intervensi politik. Hal ini juga berdasarkan pengalaman masa lalu pada masa orde lama (1950-1965) bahwa jatuh bangunnya kabinet berdampak besar pada stabilitas kepegawaian. Juga terjadi pada masa orde baru (1966-1997), PNS dijadikan alat politik utk mempertahankan ke kuasaan. Penguasaan media massa oleh petinggi partai secara besar-besaran yang terjadi saat ini sama juga bahayanya seperti PNS yang dijadikan alat oleh penguasa masa lalu.

Dua fenomena kelam masa lalu yang mengaitkan TNI dan PNS dalam arena politik telah merendahkan kualitas demokrasi secara tajam dan mengerikan. Oleh karena itu media massa seharusnya diposisikan secara netral sama dengan TNI dan PNS. Dalam konteks demi kepentingan kualitas demokrasi itulah sudah saatnya ada undang-undang baru tentang kepemilikan media massa. Tetapi jika hal ini tidak dilakukan maka ada kemungkinan masa depan kualitas demokrasi di Indonesia makin suram bahkan membahayakan sebagaimana yang diungkap Robert Kaplan dalam The Coming Anarchy (1994) ketika menemukan fakta bahwa demokrasi tidak menyelamatkan bangsa Afrika. Mungkin Indonesia adalah fakta berikutnya akibat kekerasan subyektif media massa atas kebenaran dan ketidakberpihakanya pada keluhuran politik.
Ubedilah Badrun, Direktur Pusat Studi Sosial Politik (PUSPOL) Indonesia, dan pengajar Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Perbaiki Sistim Politik Kita

Perbaiki Sistim Politik Kita
Oleh: Ubedilah Badrun
Hiruk pikuk politik menjelang 2014 makin ramai. Sejumlah partai politik berlomba melakukan manufer politik dengan berbagai agenda politik, baik internal partai maupun agenda yang dikonsumsi untuk publik. Dari agenda pencalegan, pencitraan partai melalui sejumlah iklan di media, konvensi calon Presiden, sampai isu koalisi partai sebelum pemilu.Bahkan tak ketinggalan kampus juga ikut meramaikan hiruk pikuk itu dengan mengadakan seminar Dewan Guru Besar. Momentum 2014 nampaknya menjadi begitu sangat penting bagi perjalanan bangsa ini sehingga seluruh komponen bangsa menguras energi untuk memasuki episode sejarah baru Indonesia pasca 2014.

Dari sekian banyak hiruk pikuk menyambut 2014 itu hampir tidak ada yang mencermati sisi yang membahayakan dari sistim politik yang sedang dipraktekan. Semuanya seolah larut dalam euphora demokrasi yang saat ini berjalan. Logika stake holders politik masih meyakini bahwa jika menang pemilu semua masalah akan selesai. Dari soal dominasi asing di sektor pertambangan yang mencapai 75%, korupsi yang merajalela dengan total kerugian negara mencapai ratusan triliun, hingga utang luar negeri yang mencapai Rp.2.600 triliun dianggap akan bisa selesai setelah terpilih pemimpin baru pasca 2014. Penulis mencermati bahwa dengan sistim politik yang saat ini berjalan, pasca Pemilu 2014 diprediksi akan tetap menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Kapabilitas sistim politik saat ini sesungguhnya tidak mampu menghasilkan suatu rezim yang efektif mengatasi masalah dan mewujudkan tujuan negara. Mimpi besar mewujudkan tujuan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia itu akan tetap menjadi mimpi karena pemerintahan baru hasil pemilu 2014 tidak efektif. Dengan prediksi itu, sudah saatnya sistim politik kita harus diperbaiki.
Kapabilitas Sistim Politik Kita Lemah
Jika kita meminjam perspektif Gabriel A. Almond (1978) tentang kapabilitas sistim politik suatu negara dengan mencermati 5 kapabilitas maka Sistim politik Indonesia saat ini berada pada posisi yang lemah. Bahkan penulis memprediksi pasca pemilu 2014 juga kita akan melihat kapabilitas sistim politik yang sama. Gabriel A.Almond mengemukakan bahwa semakin mampu sistim politik merespon problem yang ada dalam suatu negara maka semakin maju sistim politik tersebut. Menurut Almond setidaknya ada 5 kapabilitas dari sistim politik yang bisa diamati, yaitu; (1) kapabilitas ekstraktif (kemampuan sistim politik mengelola sumber sumber material & manusiawi ), (2) kapabilitas regulatif (kemampuan sistim politik untuk mengendalikan perilaku warga), (3) kapabilitas distributif ( kemampuan sistim politik untuk mendistribusikan hal hal material, maupun memberi beragam peluang menguntungkan bagi warga), (4) kapabilitas simbolik (kemampuan secara simbolik untuk menunjukkan kekuatan atau eksistensi negara), (5) kapabilitas responsif ( kemampuan menanggapi input yang masuk dan memprosesnya menjadi output politik). Jika kita mencermati kapabilitas sistim politik kita dengan menggunakan perspektif tersebut maka fakta tentang dominasi asing disektor pertambangan hingga mencapai 75%, dan kurang lebih 90 % tanah dikuasai asing (AEPI, 2013) itu menunjukkan bahwa kapabilitas ekstraktif sistim politik kita lemah, sistim politik tidak mampu menghadirkan regulasi yang melindungi tanah air Indonesia dari dominasi asing. Efek lanjut dari lemahnya kapabilitas ekstraktif antara lain adalah angka kemiskinan kita yang dalam 9 tahun terakhir tidak berubah secara signifikan berada pada kisaran 12-15 %. Kapabilitas simbolik dan Kapabilitas internasional sistim politik kita juga lemah dengan menunjuk pada kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia maupun kasus sebelumnya kekalahan diplomatik wilayah Indonesia dari Malaysia. Secara ekonomi dengan merujuk data utang luar negeri Indonesia yang mencapai Rp.2.273,76 triliun (Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu,2013) juga menunjukkan lemahnya kapabilitas simbolik sistim politik kita di sektor keuangan. Kapabilitas sistim politik untuk mengendalikan perilaku warga (kapabilitas regulatif) juga nampak semakin lemah. Konflik sosial sepanjang 10 tahun terakhir ini secara kuantitatif dan kualitatif justru meningkat. Misalnya jumlah angka konflik sosial yang setiap tahun rata rata meningkat antara 5 sampai 10 kasus dengan jumlah total kasus konflik sosial pertahun rata rata mencapai antara 70 kasus sampai 80an kasus(Kemendagri, 2013), bahkan makin parah ketika konflik tersebut terjadi antara Polisi dan Tentara. Kapabilitas menanggapi input yang masuk dan memprosesnya menjadi output politik berupa undang undang (kapabilitas responsif) juga lemah, misalnya merujuk pada target program legislasi nasional (prolegnas) yang tidak tercapai seperti pada prolegnas tahun 2013 dengan target 76 RUU sampai dengan penutupan masa sidang I tahun 2013-2014 hanya 15 RUU yang sudah disyahkan. Bahkan pada periode 2009-2014 ini ada RUU yang sudah jadi Undang Undang kemudian dibatalkan oleh MK karena ada gugatan rakyat, seperti pada kasus UU Badan Hukum Pendidikan. Ini artinya kemampuan merespon input dan memprosesnya menjadi kebijakan nampak begitu lemah.

Praktek korupsi yang merajalela hingga merugikan negara mencapai kurang lebih rartusan triliun rupiah per tahun juga menunjukkan lemahnya sistim politik mencegah tumbuh suburnya parktek korupsi. Bahkan korupsi tumbuh subur dalam praktek politik. Lebih dari 60 % kepala daerah hasil pemilu yang berbiaya mahal itu tersangkut kasus korupsi. Sejumlah menteri juga tersangkut korupsi.Ratusan anggota legislatif juga tersangkut korupsi. Sistim politik saat ini berbiaya mahal hingga setiap kali pemilu biayanya mencapai 49.7 triliun (KPU & Kandidat). Caleg DPRD di tingkat daerah rata rata membutuhkan dana antara 100 sampai dengan 500 juta Rupiah, ditingkat pusat rata rata memerlukan dana 500 sampai 1,5 Milyar Rupiah, calon kepala daerah memerlukan dana antara 50 sampai 100 Milyar, untuk calon Presiden memerlukan dana antara 1 sampai 3 triliun Rupiah( Puspol Indonesia, 2013). Sistim politik yang berbiaya mahal ini telah mendorong praktek korupsi yang saat ini merajalela bahkan sampai pada jantung kekuasaan di Republik ini seperti pada kasus Bailout Bank Century dan kasus korupsi Hambalang yang merontokan Partai Demokrat sebagai partai berkuasa saat ini.
Apa Yang Harus Diperbaiki Dari Sistim Politik Kita
Fakta fakta diatas yang membuktikan lemahnya kapabilitas sistim politik kita seharusnya membuat kita miris, apalagi jika kita terus berulang melakukan kesalahan yang sama mempraktekan sistim politik yang sudah berjalan hampir 10 tahun ini dan bahkan akan terus dipakai pada pemilu 2014 nanti. Fakta fakta diatas mendorong penulis untuk ikut urun rembuk melalui tulisan ini agar sistim politik kita saat ini harus diperbaiki. Jika tidak mungkin dipakai untuk 2014 maka perbaikan sistim politik ini mungkin bisa digunakan pada pemilu berikutnya pada 2019. Bagaimana dan apa yang harus diperbaiki dari sistim politik kita?

Ada tiga pola perbaikan sistim politik kita yang mungkin bisa dilakukan. Pola Pertama, kembali menggunakan sistim politik berdasarkan UUD 1945 seperti ketika sebelum diamandemen dengan sedikit perubahan pada masa jabatan Presiden yaitu dibatasi hanya untuk 2 periode masa jabatan. Hal ini berarti hanya dilakukan semacam addendum (tambahan klausul yang terpisah tetapi secara hukum melekat) untuk pasal 7 UUD 1945. Addendum yang dimaksud adalah sebagai berikut :"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan". Dengan demikian masa jabatan Presiden menjadi terbatas hanya dua periode. Hal ini untuk menghindari absolutisme dan diktatorisme kekuasaan. Selebihnya sama dengan sistim politik pada masa sebelumnya. Sistim politik pada masa sebelumnya (Orla & Orba) adalah sistim politik yang memadukan perspektif teori politik modern dengan politik khas Indonesia.

Itulah sebabnya ada dua konsep penting dalam struktur politik kita yaitu konsep musyawarah (politik khas Indonesia) yang secara struktural berbentuk MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan konsep perwakilan/representasi (politik modern) yang secara struktural berbentuk DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sesungguhnya bisa membuat kapabilitas sistim politik terukur dan terarah karena MPR memiliki wewenang melalui musyawarah untuk menyusun Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai arah pembangunan, MPR juga yang memilih Presiden dan wakil Presiden, sekaligus juga MPR sebagai majelis tertinggi negara bisa melakukan impeachment terhadap Presiden jika Presiden melanggar konstitusi UUD 1945. Pola pertama ini juga diyakini bisa meminimalisir politik uang saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden karena pemilihan dilakukan di MPR dengan pantuan publik yang ketat dan keberadaan KPK yang kuat saat ini. Apakah pola pertama ini tidak demokratis? Tentu demokratis, karena pola pertama ini tetap menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR dari partai politik. DPR inilah yang dalam konsep trias politica sebagai lembaga legislatif membuat Undang Undang. Bagaimana dengan pemilihan anggota MPR? Untuk menjadi anggota MPR perlu diatur dalam Undang Undang tentang susunan dan kedudukan MPR dan DPR RI. Bisa saja misalnya dalam undang-undang tersebut dimungkinkah anggota DPR adalah juga anggota MPR dan anggota MPR juga bisa berasal dari utusan golongan dan daerah yang berasal dari perwakilan tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan perwakilan kesultanan seluruh Indonesia.
Pola pertama tersebut paling cocok dengan kultur politik Indonesia dan dengan basis ideologis yang jelas yakni Pancasila yang mengedepankan musyawarah mufakat sebagai politik khas Indonesia. Apa mungkin ini bisa dilakukan? Hal ini mungkin dilakukan karena bangsa ini pernah mempraktekkannya hampir setengah abad sejak Orde lama. Pertimbangan ongkos politik yang murah juga menjadi pertimbangan rasional untuk memilih pola pertama ini. Selain itu efektifitas pemerintahan juga bisa terjadi karena dukungan mayoritas parlemen terhadap Presiden dan Wakil Presiden saat pemilihan itu memungkinkan keduanya bisa bekerja efektif.

Pola Kedua, mempertahankan sebagian amandemen UUD 1945 dan menghapus sebagian hasil amandemen UUD 1945. Tentu hal ini dilakukan melalui sidang umum MPR dan dengan pola adendum.. Hal yang dipertahankan dari amandemen bisa saja adalah hanya pasal 6 A hasil amandemen ketiga dari ayat 1 sampai 5, dimana Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh rakyat. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi tuntutan mutakhir politik demokrasi modern. Selebihnya dari seluruh hasil amandemen UUD 1945 pertama, kedua dan keempat dihapus. Termasuk di dalamnya penghapusan pemilihan kepala daerah tingkat I maupun tingkat II. Dengan demikian struktur politiknya tetap sama seperti pola pertama tetapi perbedaanya hanya pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja yang dipilih langsung oleh rakyat. Pola ini memang bisa membuat Presiden dan Wapres tidak bekerja efektif karena bisa jadi Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih tidak didukung mayoritas anggota parlemen di MPR maupun DPR. Tetapi pola ini memenuhi harapan publik domestik maupun internasional tentang tuntutan demokrasi modern.

Pola Ketiga, mempertahankan hasil amandemen seperti saat ini tetapi melalui undang undang baru menyerahkan pemilihan kepala daerah pada DPRD tingkat Provinsi dan DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Sementara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dilaksanakan secara langsung. Selain itu Pemilu Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR, DPD, dan DPRD bisa dilakukan secara serentak sebagai cara untuk mengurangi ongkos politik (efisiensi). Jika pola ketiga ini terus menjadi pilihan sistim politik Indonesia maka yang perlu diperbaiki adalah pada keberadaan DPD. Dengan sistim parlemen bicameral saat ini peran DPD nampak tidak signifikan, sebagai senator selayaknya DPD diberikan juga wewenang untuk turut memiliki wewenang legislasi yang luas sebagaimana juga wewenang DPR. Selain itu perlu ada perubahan pada undang-undang politik berkaitan dengan parliamentary threshold yang 3,5 % menjadi 6 %. Karena dengan angka 6 % ini maka akan muncul partai politik yang memiliki suara dominan dan bisa meminimalisir koalisi pragmatis partai politik yang selama ini terjadi sejak 2004 lalu. Menaikan angka Parliamentary threshold menjadi 6 % ini menjadi keniscayaan politik jika kita ingin bangsa dan negara ini pemerintahannya bisa bekerja efektif dan mencapai tujuan negara yang ingin dicapai Republik ini. Tetapi jika tidak berubah angka Parliamentary threshold ini maka kapabilitas sistim politik kita akan tetap lemah dan dapat dipastikan pemerintahan tidak akan bisa bekerja efektif. Semoga tiga pola perubahan tersebut bisa menjadi agenda politik penting pada masa sidang MPR pasca pemilu 2014.
Ubedilah Badrun, Pengamat Sosial Politik UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dan Direktur Puspol Indonesia (Pusat Studi Sosial Politik Indonesia). .

Korupsi MK,Kleptokrasi dan Hukuman Mati

Korupsi MK,Kleptokrasi dan Hukuman Mati
Oleh: Ubedilah Badrun
Sehari setelah menangkap Akil Mochtar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia itu sebagai tersangka. Akil Mochtar menjadi tersangka dua kasus dugaan suap dengan barang bukti uang sekitar Rp 3 milyar dalam mata uang asing dan Rupiah.

Kepastian status tersangka ketua MK itu disampaikan setelah penyidik KPK menggelar pemeriksaan terhadap 13 orang selama lebih dari dua belas jam sejak penggerebekan Rabu lalu. Ketua MK, Akil Mochtar, merupakan pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia yang ditangkap KPK. Dia diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan dua kepala daerah, yakni di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten.

Dari kronologi yang disampaikan oleh pimpinan KPK, penyerahan uang dilakukan langsung di rumah tersangka dalam mata uang US$ dan SING$ senilai Rp 2 milyar, sementara Rp 1 milyar lainnya disita dari tempat lain.

Peristiwa ini sontak membuat nurani kita bergejolak marah bercampur miris karena yang tertangkap tangan adalah pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia. Sebuah institusi yang sejak berdirinya sangat disegani dan berhasil membangun wibawa hukum di Indonesia. Kini itu semua telah runtuh. Jika kita mencermati kasus korupsi yang melibatkan pejabat dari tingkat daerah sampai pejabat tinggi negara ini menurut data Puspol dalam 15 tahun terakhir ini telah menggenapkan jumlah kasusnya menjadi 150 kasus. Ini artinya makin menguatkan tesis bahwa negeri ini adalah benar benar negeri kleptokrasi. Kleptokrasi adalah pola kekuasaan yang dikendalikan para maling, bentuknya berupa kerjasama licik yang dijalin antara aparat negara dan korporat, atau antara aparat negara dengan pihak pihak lain. Antara keduanya berbagi peran dan berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan jahat itu. Korupsi di MK menjadi bukti makin mengerikan negeri kleptokrasi ini.Mengapa?

Selain karena yang tertangkap tangan adalah pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia, juga karena peristriwa ini membuat publik meragukan kebenaran semua putusan sengketa pemilu yang dibuat MK. Dapat dibayangkan jika semua putusan sengketa pemilu itu terbongkar maka betapa banyak kepala daerah mendapatkan kekuasaan dengan transaksi di MK. Dan itu artinya legitimasi kepala daerah tersebut adalah lemah dan bisa batal demi hukum. Ya makin mengerikan jika kemudian memberi pengaruh bagi munculnya gerakan sosial karena protes keras terhadap banyaknya kasus kleptokrasi ini dan salah satu sarang terbanyaknya justru ada di MK, sebuah lembaga hukum negara.

Kleptokrasi ini juga menunjukkan sedemikian parahnya perilaku korup para pejabat. Korupsi pejabat ini begitu sistemik dan meluas. Indonesia sesungguhnya sedang kronis korupsi. Lalu, bagaimana solusinya?Sebagai penyakit kronis maka solusi terbaiknya adalah amputasi atau jika ia tidak bisa diamputasi maka tubuh akan mati sendiri. Rakyat banyak yang dikorbankan. Negeri ini bisa mati oleh korupsi yang meluas dan sistemik itu. Solusi amputasi untuk membuat korupsi berhenti adalah hukuman mati untuk para koruptor. Kleptokrasi ini akan berhenti jika hukuman mati untuk koruptor dipraktekkan. Karenanya hukuman mati harus berlaku untuk para koruptor, sebagaimana juga berlaku untuk teroris, pemilik dan pengedar narkoba, pelaku mutilasi dan atau pembunuhan berencana.
Ubedilah Badrun, Pengamat Sosial Politik UNJ dan Direktur Puspol Indonesia.

Nasionalisme Dalam Krangkeng Neolib, Oligarki & Kleptokrasi

Nasionalisme Dalam Krangkeng Neolib, Oligarki & Kleptokrasi
Oleh : Ubedilah Badrun
Akhir akhir ini mulai muncul elit politik dan elit pebisnis di Indonesia yang menanggalkan nasionalisme dalam praktik bisnis dan politiknya. Penulis masih ingat ada pejabat negara yang berkata “ katongi dulu nasionalismemu” untuk mengikuti arus dominasi asing di Republik ini. Nampaknya elit politik dan elit pebisnis republik ini berlindung dibalik kata kata itu agar kita percaya bahwa dia sedang menembunyikan nasionalisme nya untuk kepentingan nasionalisme yang lebih besar. Pada realitanya justru persembunyian nasionalisme itu makin terkubur dan elit politik dan elit pebisnis itu larut dalam gelombang neoliberalisme yang menggerus Republik ini. Implikasi dari makin terkuburnya nasionalisme itu adalah wajah ekonomi kita yang terus dililit utang yang terus bertambah hingga melampaui 2000 Triliun dan kini target pertumbuhan ekonomi juga tidak tercapai sehingga mau tidak mau negara juga akan menambah hutang lagi. Sementara sumber daya alam kita juga dikuasai asing hingga mencapai kurang lebih 75 %, serta sektor perbankan juga dikuasai asing mencapai 51 %. Angka kemiskinan juga belum berubah kisarannya antara 12 s.d. 15 %. Angka pengangguran usia produktif bahkan terburuk di Asia Pasifik. Lalu pantaskah elit politik dan pebisnis berkata “kantongi dulu nasionalismemu!” ?.Elit politik dan Pebisnis yang demikian itu sudah waktunya diakhiri. Terlalu besar social cost yang diderita rakyat akibat nihilnya nasionalisme di kepala dan hati elit politik dan elit pebisnis Republik ini. Nasionalisme kita telah dikungkung dalam krangkeng neoliberalisme, sementara rakyat sebagai pewaris sah hak kesejahteraan telah mereka kangkangi. Sesungguhnya elit politik dan elit pebisnis telah berdosa terhadap rakyat banyak yang kini mengalami derita ekonomi dan sosial. Jangan lagi kesampingkan nasionalisme dalam mengurus negeri ini. Bukankah Bung Karno pernah mengingatkan sejak awal sebelum Republik ini merdeka ketika di depan pengadilan Belanda melakukan pembelaan dengan judul Indonesia menggugat. Pada 18 Agustus 1930 itu Bung Karno mengatakan “ Zonder nasionalisme tiada kemajuan, zonder nasionalisme tiada bangsa” (Indonesia Menggugat, hlm 106). Poin penting dari penggalan pidato itu adalah bangsa ini ada karena semangat nasionalisme yang kuat dan semangat nasionalisme yang kuat itu pulalah yang bisa menjadi energi besar bagi kemajuan bangsa.

Selain nasionalisme dikungkung dalam krangkeng neolib, nasionalisme juga kini dikrangkeng oleh tumbuh suburnya oligarki. Nasionalisme ditinggalkan dalam praktek politik, dipasung dalam krangkeng tertentu, karena nafsu oligarki lebih dominan dalam praktek politik Republik ini. Oligarki dalam praktek politik dimaknai sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang karena motif mempertahankan kekayaan dan kekuasaan dengan berbagai cara. Para oligark berjaya dalam kekuasaan karena ditopang oleh apa yang dinamakan income defense industry yang implikasi lebih sistemiknya salah satunya dapat berupa konsesi penundaan kewajiban pajak pendapatan terhadap negara. Akuntan, konsultan hukum, aparat hukum, pengelola pajak ada yang dikendalikan oleh para oligark ini dan mereka menjadi bagian penting dari apa yang disebut income defense industry (Jeffrey A Winters, Oligarchy, Cambridge University Press, 2011).

Jika meminjam perspektif Winters (2011) diatas maka Indonesia saat ini dalam praktek politiknya masuk kategori Oligarki Sultanistik yang bercirikan monopoli patron-klien. Pola pola seperti SBY Connection, ARB Connection, RR Connection, SMI Connection, SP Connection, dll yang didalamnya membangun pola patron-klien telah menjadi fakta politik yang dalam praktiknya dibangun dalam bingkai oligarki sultanistik. Mereka itulah yang mengendalikan jalannya ekonomi dan politik di republik ini. Demokrasi hanyalah formalitas untuk menutupi praktik ‘Oligarki sultanistik’ itu. Rakyat kembali hanya sebagai objek penderita dari kamuflase Demokrasi. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tidak lagi dipake dalam praktik politik di Republik ini. Demokrasi kita kehilangan originalitasnya. Praktek demokrasi liberalistik telah banyak menumbuh suburkan praktek money politic dan sekaligus makin memperkuat ‘oligarki sultanistik’. Dalam sistem yang demikian itu maka nasionalisme dan kepentingan nasional ditinggalkan.

Nasionalisme juga dikrangkeng ketika Kleptokrasi menjadi salah satu dari wajah ganda kekuasaan di Indonesia selain Oligarki. Lengkap sudah derita ekonomi politik Republik ini. Kleptokrasi adalah pola kekuasaan yang dikendalikan para maling, bentuknya berupa kerjasama licik yang dijalin antara aparat negara dan korporat. Antara keduanya berbagi peran dan berbagi kenikmatan dari hasil permufakatan jahat itu (M.Mustofa, 2010). Tidak sedikit data untuk menunjukkan bahwa kleptokrasi memang terjadi di Indonesia. Lebih dari 147 kasus pola kleptokrasi ini terjadi di Indonesia. Peristiwa mutakhir yang masih lekat dalam ingatan kita antara lain adalah kasus Century, kasus Nazarudin Hambalang dan baru baru ini dalam kasus RR SKK Migas.

Dalam momentum 17 Agustus ini, sudah waktunya seluruh elit politik, elit pengusaha, dan bangsa Indonesia meninggalkan oligarki dan kleptokrasi dan merumuskan secara tegas apa hakekatnya kepentingan nasional dan bagaimana kepentingan nasional ditempatkan dalam praktek politik dan ekonomi negeri ini.
Ubedilah Badrun Direktur Eksekutif Puspol Indonesia.

Tuesday, February 26, 2013

Titik lemah Kurikulum 2013

Titik Lemah Kurikulum 2013
Oleh: Ubedilah Badrun
Belum genap 10 tahun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/2006) diterapkan, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum 2013. Sejak 29 November 2012 lalu Kemendikbud telah mengumumkan draft resmi Kurikulum 2013. Draft ini sedang diuji publik. Berikut ini dua titik lemah kurikulum 2013 dan solusinya.
Tidak Berbasis Data Evaluasi Yang Komprehensif
Dari tahapan yang dijelaskan Kemendikbud, kurikulum 2013 dimulai dengan penyusunan kurikulum dari internal Kemendikbud dengan melibatkan sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu dan praktisi pendidikan. Dari tahapan ini terlihat bahwa perubahan kurikulum tidak dimulai dari data riset evaluasi kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang sedang berjalan. Tetapi lebih merupakan pandangan para pakar dan praktisi pendidikan. Logika nya masih top down. Bebarapa alasan pengembangan Kurikulum 2013 dikemukakan Kemendikbud aantara lain karena kebutuhan akan perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output). Selain itu Kemendikbud mengemukakan ada kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran (di AS, Korea Selatan).
Argumentasi Kemendikbud tersebut sangat lemah dan tidak berbasis data yang sebenarnya. Padahal sejak kurikulum 1984 yang mengedepankan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sudah merubah proses pembelajaran dari teacher center menjadi student center. Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Semangat Students Center Learning ini masih terus dilanjutkan dalam kurikulum kurikulum selanjutnya baik Kurikulum 1994,1999,2004, maupun 2006 (KTSP). Jadi paradigma Student Active Leraning itu sudah berjalan sejak 1984. Dengan demikian alasan Kemendikbud sangat memprihatinkan jika alasan perubahan kurikulum 2013 seolah menihilkan praktek student center dalam pembelajaran selama ini. Dalam konteks ini problem nya justru Kemendikbud belum pernah tuntas melaksanakan kurikulum dan tanpa evaluasi komprehensif. Perubahan kurikulum yang seperti ini menunjukan logika kepentingan proyek bukan logika kepentingan pendidikan. Argumentasi menggunakan AS dan Korea Selatan Sebagai rujukan penambahan jam juga tidak relevan karena tidak memperhatikan kebutuhan yang sebenarnya bagi seorang siswa di Indonesia.
Alasan lain Kemendikbud mengganti kurikulum adalah kritiknya terhadap Kurikulum 2006(KTSP) diantaranya dikemukakan bahwa kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan, beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum, kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global, standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru, standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala, dan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir. Argumentasi ini juga lagi lagi tidak berbasis data penelitian yang komprehensif. Kata siapa KTSP belum sepenuhnya berbasis kompetensi? Bukankah ruh KTSP tidak meninggalkan KBK? Kata siapa domain sikap, keterampilan dan pengetahuan tidak ada dalam KTSP? Bukankah seluruh domain sudah dimasukan dalam KBK dan KTSP? Siapa bilang KTSP tidak peka terhadap perubahan sosial ditingkat lokal, nasional dan global? Bukankah semangat KTSP adalah otoritas sekolah yang member ruang besar bagi sekolah untuk peka terhadap perubahan sosial ditingkat local, nasional dan global ? Siapa bilang standar proses nya belum menggambarkan urutan yang rinci? Bukankah kerincian itu menjadi sarat KTSP? Siapa bilang KTSP penilaiannya tidak berbasis proses dan hasil? Bukankah KTSP berbasis proses dan hasil

Problem sebenarnya ada pada Kemenduikbud itu sendiri yang tidak berpihak pada semangat perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada keunggulan proses. Itulah yang kemudian merusak idealisme pelaksanaan kurikulum. Ada tiga hal yang merusak idealisme kurikulum di Indonesia. Pertama, Kemendikbud tidak melakukan riset evaluasi komprehensif atas pelaksanaan kurikulum sebelumnya. Kedua, Kemendikbud tidak menyiapkan guru terlebih dahulu secara sungguh-sungguh untuk mampu menterjemahkan kurikulum baru secara benar. Ketiga, Kemendikbud merusak seluruh semangat kreativitas guru untuk mengembangkan proses pembelajaran karena di kejar target Ujian Nasional yang cenderung cognitive oriented. Karena itu Ujian Nasional menjadi tidak relevan untuk anak SD. Jadi dalam pandangan penulis tidak ada argumentasi substansial ide perubahan kurikulum 2013.
Menghilangkan Beban Tetapi Menciptakan Beban Baru
Kurikulum 2013 memuat rencana perubahan pada 4 elemen yakni perubahan pada standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan pada standar penilaian. Perubahan yang paling krusial adalah pada perubahan standar isi, karena perubahan standar kompetensi lulusan, perubahan standar proses, dan perubahan standar penilaian sesungguhnya tidak ada perubahan karena jika kita merujuk pada riset yang lebih komprehensif dan kualitatif secara paradigmatic ketiga perubahan tersebut sudah dipraktikan guru.

Semangat perubahan standar isi nampaknya ingin mengurangi beban kognitif siswa tetapi telah membuat beban baru. Hal ini terlihat dari perubahan standar isi pada bagian struktur kurikulum dari SD, SMP sampai SMA/SMK. Untuk SD struktur nya holistik dan integratif berfokus pada alam, sosial dan budaya. Pembelajaran dilaksanakn dengan pendekatan sains. Jumlah mata pelajaran akan dirubah dari 10 menjadi 6. Jumlah jam pelajaran bertambah 4 jam pelajaran. Perubahan tersebut tidak menjawab semnagat awal perubahan, selain tidak jelas struktur integratifnya kaitannya dengan pembentukan karakter juga bertambahnya jam pelajaran untuk anak SD juga merupakan tambahan beban. Dengan bertambahnya jumlah jam diantaranya akan meminimalisir waktu bermain dan waktu bersosialisasi anak di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Hal senada juga terjadi pada SMP yang bertambah 6 jam. Selain itu, Integrasi IPA dan IPS selaian ada kontradiksi keilmuan, juga membutuhkan kesiapan guru yang tidak mudah. Pada problem kesiapan guru ini juga menjadi beban baru sementara beban kurikulum sebelumnya belum diimplementasikan guru secara tuntas. Perubahan klasifikasi mata pelajaran menjadi wajib, pilihan dan vokasional juga akan merubah struktur jumlah jam kewajiban mengajar guru yang akan bertentangan dengan syarat jam terpenuhi dalam sertifikasi guru. Dalam konteks ini perubahan kurikulum 2013 benar-benar menghilangkan beban lama tetapi menciptakan beban baru.

Lalu, apa solusinya? Solusinya sebelum kurikulum 2013 diberlakukan riset komprehensif terhadap pelaksanaan KTSP perlu dilakuakn secara utuh. Penambahan jumlah jam pelajaran tidak perlu dilakukan. Integrasi IPA-IPS dalam bentuk integrated learning membutuhkan kesiapan guru. Dari hal itu semua Kemendikbud perlu befikir keras untuk memiliki kurikulum yang kokoh secara sistem tetapi fleksibel secara isi. Tetapi karena riset komprehensif tidak dilakukan maka kurikulum 2013 layak ditolak.
Ubedilah Badrun, pengajar Sosiologi Politik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Wednesday, June 01, 2011

Apa Yang Jalan Di tempat Dari Agenda Reformasi

Apa Yang Jalan di Tempat dari Agenda Reformasi
Oleh: Ubedilah Badrun
Tulisan ini dimuat di www.Detik.com 27 Mei 2011

Masih melekat diingatan penulis ketika bersama kawan-kawan dari kampus, kejalanan dan sampai gedung DPR/MPR melangkah tegap meneriakan yel perjuangan ”Revolusi...Revolusi...Revolusi sampai Mati!”. Gaung teriakan itu kini tinggal kenangan 13 tahun lalu 21 Mei 1998. Menjelang jatuhnya Soeharto teriakan Revolusi yang diteriakan mahasiswa berubah menjadi Reformasi. Ada pergeseran gerakan dari yang semula begitu radikal lalu berubah menjadi bahasa penguasa dan khalayak, bahasa yang diakomodir oleh penguasa saat itu dengan membentuk kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999. Reformasi adalah bahasa penguasa, Revolusi sebagai bahasa perjuangan di lapangan menjadi hilang, yang ada adalah Reformasi, sebuah konsepsi perubahan yang diyakini berbagai kalangan sebagai jalan tengah perubahan di Indonesia. Sebuah perubahan tatanan politik yang dilakukan secara gradual atau bertahap. Reformasi lalu dimaknai lebih jauh sebagai gerakan moral yang bertujuan untuk menata kembali perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berda-sarkan Pancasila, serta mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sebagai sebuah gerakan sosial ia lahir karena dua hal. Pertama karena faktor eksternal yaitu situasi krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, dan faktor melemahnya kepercayaan terhadap pemerintahan Presiden Suharto. Selain itu Nilai tukar rupiah terus merosot. Para investor banyak yang menarik investasinya. Inflasi mencapai titik tertinggi dan pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah selama pemerintahan Orde Baru. Reformasi kemudian meluas maknanya sebagai keseluruhan perubahan gradual di semua bidang kehidupan karena disadari betapa sistemiknya kerusakan dan persoalan bangsa saat itu. Kedua, faktor internal aktor gerakan sosial ia lahir karena munculnya kesadaran kolektif dari kaum terpelajar mahasiswa dan kaum cendekiawan untuk memperbaiki bangsanya yang kemudian didukung rakyat.
Kini setelah 13 tahun Reformasi berlalu, pertanyaan yang patut dimunculkan adalah apa yang jalan ditempat dari agenda reformasi 1998? Jika kita mengingat tuntutan mahasiwa pada saat itu setidaknya yang paling mendasar ada lima poin yakni (1) Amandemen UUD 1945, (2) Pemberantasan KKN , (3) Mengadili pelanggaran HAM , (4) Cabut Dwi Fungsi ABRI, (5) Demokratisasi, dan (6) otonomi daerah. Dari keenam poin tersebut ada dua poin yang masih jalan ditempat meskipun poin yang lainya juga masih menuai kritik dan kelemahan-kelemahan. Dua poin yang raportnya belum mencapai angka 5,5 tersebut adalah Pemberantasan KKN dan Mengadili Pelanggaran HAM (kasus Trisakti, Semanggi, Munir, dll). Dua agenda tersebut jalan ditempat setidaknya karena tiga hal. Pertama , karena elit lama yang tersangkut KKN dan pelanggaran HAM masih memiliki akses yang kuat terhadap elit politik dan elit penegak hukum saat ini. Hal ini menyulitkan upaya keras pemberantasan KKN dan pengadilan Pelanggaran HAM. Selain itu pelaku KKN makin meluas dan melebar di semua lini politik saat ini dari lingkaran eksekutif sampai lingkaran legislatif. Kedua, minimnya keberanian elit politik dan penegak hukum. Faktor penyebab pertama sebenarnya bisa diatasi jika ada keberanian dari elit politik dan penegak hukum saat ini untuk tidak tebang pilih dan siap mengambil resiko dari keputusannya. Ketiga, minimnya tekanan publik untuk pemberantasan KKN. Mahasiswa dan kaum intelektual seperti kehilangan ruh idealismenya. Tekanan publik yang dilakukan seperti pepatah ” hangat-hangat tai ayam”. Ia hanya panas dalam hitungan menit. Tekanan publik yang garang pada soal Korupsi dan pelanggaran HAM hanya pada momentum satu dua hari, atau pada momentum peringatan reformasi atau momentum hari anti korupsi sedunia dan hari deklarasi Hak Azasi Manusia se-dunia.
Mahasiswa setiap bulan Mei selalu ada agenda aksi untuk mengingatkan agenda Reformasi. Tetapi nampaknya tekanan publik yang dilakukan mahasiswa juga nampak hanya sebagai seremoni saja. Ketika agenda Reformasi jalan ditempat, dimanakah kaum intelektual? Ia sedang tertidur lelap diatas bantal-bantal beasiswa dan selimut proyek-proyek penelitian yang kontribusinya patut dipertanyakan bagi perbaikan bangsa. Hal lain juga terlihat bahwa kaum intelektual lebih suka menjadi selebriti ketimbang mendekati mereka yang papa dan yang secara ekonomi dan sistemik disakiti. Pertanyaan mendasar kemudian adalah siapa yang paling bertanggungjawab dari mandegnya agenda Reformasi? Para aktivis gerakan reformasi sudah mencoba untuk masuk dalam sistem, meskipun masih lapisan menengah kebawah, mereka masuk di parlemen maupun di eksekutif. Tetapi ternyata jamaah yang anti reformasi jauh lebih bergigi. Reformasi bukan pekerjaan mudah dan memerlukan waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Apalagi jika elit-elit politik baru yang terpilih adalah bagian dari jamaah yang anti reformasi. Lucunya jamaah yang sejatinya anti reformasi ini mengaku reformis dan menggunakan simbol-simbol reformasi, walhasil dua agenda reformasi menjadi jalan ditempat. Kemunafikan politik menjadi tontonan yang dianggap mafhum di Republik ini. Ketika para aktivis reformasi tidak bergigi, penguasa baru bagian dari masalah, dan kaum intelektual tertidur nyenyak, perubahan tidak akan pernah datang. Ia akan tertimbun masalah yang terus bertubi-tubi. Dalam situasi yang semacam ini setidaknya kita bangsa Indonesia patut mengoreksi diri siapapun kita untuk menjawab pertanyaan mau dibawa kemana arah bangsa ini? Lalu, mengapa diam?!
Ubedilah Badrun, Aktivis 1998, mantan Presidium FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta), saat ini bekerja sebagai pengajar Sosiologi Politik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Monday, May 23, 2011

Dinamika Politik Menjelang 2014

Dinamika Politik Menjelang 2014
Ubedilah Badrun

Menjelang 2014 trend politik di Indoneisa makin dinamis dan cenderung memanas. Kecenderungan dinamis dan memanasnya suhu politik Indonesia setidaknya dapat dianalisis dengan memahami enam area sensitif politik Indonesia saat ini. Enam area sensitif tersebut meliputi problem Etika elit politik, isu Amandemen UUD 1945, aksi Evaluasi Pemerintahan, aturan Pemilu 2014 dan serangan politik. Enam area sensitif inilah yang akan memicu dinamika politik hingga 2014 dan menentukan perubahan politik baik sebelumnya maupun sesudahnya.
Etika Elit Politik
Fenomena perilaku elit politik kita dalam lima tahun terakhir ini masih diwarnai sejumlah persoalan etika, hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa hal menyangkut ketidakmampuan elit politik mengelola modal legitimasi dari rakyat, ketidakmampuan menterjemahkan filosofi bangsa dalam berpolitik, rendahnya sensitifitas wakil rakyat maupun eksekutif pada penderitaan rakyat, ketidakmampuan mengelola konflik, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, tidak bisa membangun teamwork (gotong-royong), meluapnya kemarahan dalam menghadapi kritik, hilangnya kejujuran dalam komunikasi politik, dan memutarbalikan kesalahan menjadi kebenaran dengan politik pencitraan. Perilaku elit politik yang tidak etis dalam lima tahun terakhir ini menjalar ke arena etik dalam makna moralitas.
Hal tersebut dilihat dengan adanya perilaku amoral atau asusila dari para politisi, dari sekedar membuka file video porno sampai sebagai pelaku utama aktor video porno dan perilaku asusila lainya. Tidak sedikit kasus asusila yang merasuki wakil rakyat di parlemen. Seperti terjadi beberapa waktu lalu dalam kasus Amin Nasution, Yahya Zaini, Max Moein, Ahmad Tohari dan terakhir kasus Arifinto yang kemudian dengan cepat mengundurkan diri dari Anggota DPR. Tidak etisnya elit politik jauh sebelum kasus asusila tersebut, sesungguhnya telah terjadi praktik yang secara sistemik merugikan negara yakni kuatnya praktik korupsi. Bahkan korupsi yang paling memalukan terjadi di Kementrian terhormat yang menaungi agama-agama di Indonesia dan juga terjadi pada Kementrian terhormat yang mendidik anak bangsa dan membawa misi peradaban, bahkan korupsi juga terjadi pada lembaga wakil rakyat yang terhormat. Tidak tanggung-tanggung lembaga eksekutif paling top juga tersandera Century Gate dan ‘Abused Power’. Ini semua menyangkut etika elit politik kita yang akan terus memicu gejolak politik dalam tahun tahun kedepan. Semua lembaga negara sebagai penjaga paling otoritatif telah runtuh ditelan citra yang buruk dan meluasnya ketidakpercayaan publik (public distrust) pada lembaga otoritatif tersebut. Situasi public distrust akibat asusila politik ini jika tidak mampu dibenahi ia akan mendorong sikap protes masyarakat dan menjadi batu sandungan politik menjelang 2014, atau bahkan tidak hanya batu sandungan tapi juga bisa menjadi semacam tsunami politik menerjang karang kekuasaan.
Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 dalam beberapa tahun kedepan akan menjadi agenda politik nasional yang cukup serius. Kemungkinan besar akan terbelah menjadi dua kelompok politik, yakni kelompok politik yang menginginkan amandemen UUD’45 dan kelompok politik yang menginginkan kembali ke UUD 1945 asli. Kelompok politik yang menginginkan amandemen UUD 1945 didasari oleh realitas politik saat ini yang menyangkut pemilihan umum Presiden, pilkada, peran DPD, dan tentang hubungan ketatanegaraan antar lembaga negara. Tentang pemilihan presiden, sebagian kelompok politik ini menginginkan dibolehkannya calon independen karena menjadi presiden diyakini sebagai hak politik seluruh rakyat Indonesia. Tentang pilkada, kelompok ini sebagian menghendaki bahwa pilkada di tingkat Kabupaten tidak diperlukan karena ongkos besar politik dan kejenuhan politik ditingkat daerah, termasuk konflik politik yang cukup banyak di tingkat daerah. Pilkada cukup dilakukan di tingkat profinsi.
Sementara tentang peran DPD, ini disuarakan oleh anggota DPD yang memang minus peran legislasi padahal mereka adalah wakil rakyat yang suaranya harus didengar dalam menyusun setiap Undang-undang. Mereka juga dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Mereka menginginkan peran DPD layaknya senator di Amerika atau senator di Era Republik Indonesia Serikat (RIS) yang juga memiliki peran dalam setiap penyusunan Undang-Undang. Karena itu kelompok pro amandemen menginginkan dilakukannya amandemen tentang DPD ini. Tentang hubungan ketatanegaraan antar lembaga negara, kelompok politik pro amandemen juga mempertanyakan posisi lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi super body dalam membatalkan Undang-Undang. Mereka mempertanyakan posisi MK yang begitu kuat bisa membatalkan Undang-Undang yang sudah dibuat DPR dan Presiden, padahal MK dipilih melalui fit and proper test DPR, sementara DPR dan Presiden dipilih langsung oleh Rakyat yang memiliki legalitas dari rakyat yang lebih kuat dibanding MK. Realitas ini dinilainya sebagai ironi demokrasi, karena itu fungsi MK perlu diperbaiki.
Kelompok politik yang menghendaki amandemen UUD 1945 ini jumlahnya jauh lebih banyak dibanding kelompok politik yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli. Kelompok yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli meyakini bahwa arah politik nasional saat ini sudah terlalu liberal dan sudah keluar dari kaedah-kaedah politik kebangsaan Indonesia. Meski jumlahnya lebih sedikit dari yang pro amandemen namun kelompok politik yang menghendaki kembali ke UUD 1945 ini di dukung kuat oleh kelompok nasionalis sipil dan militer yang kuat. Realitas ini akan menjadi sumber dinamika politik yang menyita energi politik nasional. Jika realitas politik ini tidak mampu dikelola dengan baik oleh elit politik maka ia akan memicu meluasnya gerakan kembali ke UUD 1945 yang asli.
Evaluasi Pemerintahan
Momentum evaluasi pemerintahan tahunan di Indonesia yang paling dominan mempengaruhi politik nasional ada pada lima peristiwa, yakni momentum peringatan reformasi, momentum pidato tahunan Presiden, momentum hari buruh, momentum hari pendidikan nasional dan momentum sumpah pemuda. Pada momentum peringatan reformasi 21 Mei, seringkali dijadikan kelompok mahasiswa untuk melakukan refleksi tahunan untuk melakukan evaluasi terhadap praktik penyelenggaraan negara. Jika pada momentum peringatan reformasi ini ditemukan banyak pembelokan arah reformasi dimana agenda-agenda penting reformasi seperti pemberantasan korupsi, penegakan supremasi hukum, demokratisasi politik dan ekonomi tidak lagi sesuai dengn track nya maka kemungkinan besar mahasiswa akan kembali melakukan protes terhadap persoalan ini. Sebut saja misalnya kasus Century yang belum tuntas, kasus mafia pajak dan penggelapan pajak, kasus pemberitaan Wikileaks, dan masalah-masalah kemiskinan yang masih terus mendera rakyat Indonesia. Mahasiswa sebagai kekuatan sosial politik kelas menengah yang paling independen ia akan tetap muncul menyuarakan kepentingan rakyat banyak, karena panggilan moralnya yang setiap hari pada mereka diajarkan tentang objektivitas, rasionalitas, kejujuran, dan sejumlah budaya intelektual lainnya. Mahasiswa pada setiap zaman akan tetap menjadi kekuatan yang masih menakutkan bagi pemerintahan yang korup dan diktator.
Momentum evaluasi tahunan juga terjadi pada momentum pidato tahunan presiden yang dilakukan pada setiap tanggal 16 Agustus dihadapan paripurna DPR. Pada momentum ini semua kelompok politik, , akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum menyaksikan pidato langsung Presiden. Dalam pidato inilah berbagai analisis dilakukan oleh kelompok politik, akademisi, mahasiswa maupun masyarakat umum. Jika pidato presiden tidak mampu menjelaskan secara baik terutama menyangkut kebijakan politik, ekonomi dan berbagai masalah respon negatif dari mahasiswa, akademisi, bahkan termasuk dunia bisnis dapat memicu protes masyarakat. Oleh sebab itu pidato tahunan Presiden adalah arena terbuka munculnya kritik dari masyarakat luas.
Hari buruh yang jatuh pada 1 Mei dan hari pendidikan nasional 2 Mei juga menjadi momentum evaluasi tahunan yang sering dijadikan sebagai momentum perjuangan hak-hak buruh dan momentum perjuangan bagi para guru. Problem buruh dan guru saat ini masih didera persoalan yang sama menyangkut kesejahteraan. Tuntutan upah minimum propinsi yang layak bagi buruh masih “jauh panggang dari api”, harapan buruh untuk sejahtera masih ada dalam mimpi. Misalnya di DKI Jakarta Upah Minimum Propinsi (UMP) hanya Rp.1.290.000 tidaklah cukup bagi buruh untuk memikul beban hidup yang berat di Jakarta. Wal hasil penderitaan buruh nampaknya masih terus mewarnai Indonesia, karena itu protes para buruh dalam tahun tahun kedepan juga akan terus terjadi dan jika skala nya meluas akan turut mempengaruhi dinamika politik nasional.
Hari pendidikan nasional juga menjadi momentum penting evaluasi tahunan. Tidak sedikit problem yang mendera begitu berat di dunia pendidikan. Dari Problem kesejahteraan guru, banyaknya guru honorer yang belum diangkat, mandegnya uang tunjangan guru yang telah lulus sertifikasi, korupsi di lembaga dan kementrian pendidikan, hingga kapitalisasi pendidikan yang melahirkan diskriminasi di dunia pendidikan. Hal itu akan mewarnai protes komunitas akademis terhadap dunia pendidikan, baik yang dilakukan akademisi kampus, guru-guru, maupun yang dilakukan mahasiswa. Protes dunia pendidikan ini juga akan mewarnai dinamika politik nasional.
Momentum sumpah pemuda sering dijadikan kalangan kaum muda Indonesia untuk melakukan refleksi kritis tentang kabangsaan. Tidak sedikit problem kebangsaan yang mendera bangsa Indonesia, dari soal lemahnya kedaulatan politik, lemahnya kedaulatan ekonomi, sampai memudarnya nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks nasionalisme, koruptor juga bagi kaum muda sama dengan penghianat bangsa. Seorang koruptor adalah orang yang minus nasionalisme. Selain memahami problem-problem kebangsaan dan pada saat yang sama kaum muda juga sering menjadikan nilai-nilai kepeloporan pemuda era 1928 telah memberi inspirasi bagi lahirnya militansi pemuda untuk melakukan perjuangan membela rakyat. Momentum ini jika bersentuhan dengan politik ia bisa melahirkan gerakan protes militant dari kelas menengah pemuda Indonesia dalam tahun-tahun mendatang.
Aturan Pemilu 2014 dan Serangan Politik
Jika sampai menjelang 2014 tidak ada gejolak politik signifikan maka Pemilu 2014 akan berlangsung sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya dan pemenangnya sudah dapat diketahui sejak saat ini. Jika tidak ada tokoh muda alternatif yang visioner, memiliki integritas, dan memiliki leadership yang kuat dari calon independen, pemenang pemilu presiden kemungkinan besar akan dimenangkan dengan pola yang sama, yakni dimenangkan oleh sosok yang popular dan memiliki modal kapital yang besar. Bukan oleh mereka yang minus popularitas apalagi yang minus modal kapital. Hal menarik lain yang akan mewarnai dinamika politik menjelang pemilu 2014 adalah problematika menyangkut aturan main pemilu. Nampaknya yang akan banyak menyita energi politik sebelum pemilu adalah menyangkut batas Parliamentary Threshold (PT) yang dijadikan patokan untuk mendapatkan kursi di tingkat DPR RI dan DPRD. Jika perolehan kursi di DPRD ditentukan oleh partai yang lulus PT, tentu ini menjadi sumber picu politik baru. Selain soal PT, penggalangan koalisi politik juga akan mewarnai dinamika politik nasional. Koalisis politik ini bisa terjadi dimulai saat pembahasan aturan pemilu. Koalisi politik akan dilakukan semata-mata karena hal pragmatis kekuasaan. Hal ini bisa memicu protes dari massa partai maupun berbagai kalangan lainya.
Selain aturan pemilu 2014, serangan politik antar partai dan antar kekuatan politik juga akan menjadi menu sehari-hari. Makin mendekati pemilu maka makin santer dan intensif serangan-serangan politik dilancarkan para politisi. Hal ini dilakukan untuk melemahkan citra politik lawan dan sekaligus membangun citra politik diri dan partainya. Lebih berdampak sosial politik bahkan ekonomi jika arena serangan elit politik ini merambat ke massa akar rumput !
Ubedilah Badrun, pengajar Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Ketua Laboratorium Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Thursday, April 01, 2010

Membaca Etika Elit Politik Kita

Membaca Etika Elit Politik Kita

Relasi psikologis elit politik dengan perilakunya

Oleh: Ubedilah Badrun

Fenomena perilaku elit politik kita dalam sepuluh tahun terakhir ini masih diwarnai sejumlah persolan etika politik, hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa hal menyangkut ketidakmampuan mengelola modal legitimasi dari rakyat, ketidakmampuan menterjemahkan filosofi bangsa dalam berpolitik, ketidakmampuan mengelola konflik, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, tidak bisa membangun teamwork, meluapnya kemarahan dalam menghadapi kritik, hilangnya kejujuran dalam komunikasi politik, memutarbalikan kesalahan menjadi kebenaran dengan politik make up, menurut perspektif penulis merupakan persoalan psikologis elit politik yang berdampak pada etika politiknya. Robertus Robert dalam makalahnya mengungkapkan bahwa hidup dan berpolitik saat ini berjalan tanpa prinsip. Inilah salah satu persoalan etis paling mendasar dalam demokrasi kontemporer. Dimensi etis dalam relatifisasi dan kematian prinsip ini secara simultan bertemu dengan kerusakan dalam dimensi psikologis yang sama-sama diakibatkan oleh industri media kontemporer berupa tenggelamnya ingatan (Demokrasi, Mediakrasi, dan kaum Medioker,2010).

Perilaku elit politik Indonesia yang demikian sesungguhnya berkorelasi dengan peristiwa politik. Pergolakan politik Indonesia mutakhir sebagai sebuah peristiwa politik nampak secara jelas dipengaruhi oleh perilaku elit politik yang ada di republik ini. Peristiwa paling dekat kita bisa cermati dari konflik KPK-POLRI beberapa bulan lalu dan kasus Bank Century.

Etika politik Indonesia sesungguhnya bisa dibangun dengan dua hal, yakni oleh kemampuan menterjemahkan konsensus nasional secara tepat dalam kehidupan politik dan kemampuan menterjemahkan kejujuran nurani dalam kehidupan politik. Hal pertama akan melahirkan perilaku politik yang taat pada konstitusi dasar dan taat pada aturan-aturan politik serta tidak menghianatinya. Hal kedua akan melahirkan perilaku politik yang santun, rasional, apresiatif pada prestasi politik orang lain termasuk lawan politik, dan menempatkan kejujuran sebagai spirit komunikasi politik. Pada ranah kedua ini coba penulis konstruksikan dalam analisis relasi psikologis elit politik dengan perilaku elit politik. Karenanya kajian yang menyangkut hal psikologis dalam kaitanya dengan perilaku elit politik penting untuk didiskusikan.

Robert Frost pernah mengemukakan bahwa sesuatu yang kita sembunyikan membuat kita lemah, sampai kita menemukan bahwa sesuatu itu adalah diri kita sendiri. Apa yang membuat diri kita begitu hebat di mata hati orang lain? Data empiris menunjukkan bahwa hampir setiap hari tak terbilang jumlahnya manajer dan profesional yang cemerlang menunjukkan kebolehan mereka sebelum diterima bekerja, serta pemimpin yang cemerlang, ternyata yang melekat dan nampak pada diri mereka sesungguhnya adalah hati nurani. Inilah yang mengiringi kesuksesan mereka. Ada komentar rasional yang menunjukkan pentingnya hati nurani dan lebih sedikit menyindir para pengagum IQ (baca-rasionalitas semata), yakni komentar psikolog dari Yale, Robert Stenberg, ahli dalam bidang Succesful Intelligence menyatakan bahwa bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk. (Robert J.Sternberg, Succesful Intelligence,1996).

Praktik politik elit politik nasional juga nampaknya cenderung membiarkan ‘rasionalitas’ lebih berkuasa dibanding nurani atau kejujuran. Logika kuantitatif politik lebih digunakan elit ketimbang keberpihakan kepada nurani atau kepentingan rakyat banyak. Hal ini bisa dicermati dalam kasus koalisi elit politik sejak pemilu 2004 dan pemilu 2009. Koalisi politik yang terjadi cenderung koalisi pragmatis yang mengedepankan bagi-bagi kue kekuasaan yang sangat akuntatif, berkoalisi sekedar mendapatkan kekuasaan berapa?. Walhasil koalisi tidak pernah menghasilkan pemerintahan yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan besar. Koalisi menjadi sangat rapuh karena tidak dibangun dengan dasar koalisi gagasan besar yang menjadikan filosofi bangsa dan konstitusi Negara sebagai pijakan dalam menjalankan pemerintahan. Efek berbahaya dari lenahnya basis etika politik elit politik nasional adalah pencapaian cita-cita besar berbangsa dan bernegara menjadi sangat lamban tercapai dan berdampak pada berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya , integrasi bangsa dan moralitas hidup.

Analisis diatas menunjukkan ada dua persoalan besar yang menyangkut problem etika politik kehidupan politik nasional kita. Dua persoalan tersebut menyangkut (1) menjauhnya etika politik elit politik dari basis hidup berbangsa dan bernegara yakni dasar bernegara dan konstitusi bernegara.(2)menjauhnya elit politik dari basis etika hidup antar manusia sebagai warga yakni hati nurani dan kearifan hidup. Dua hal tersebut terjadi karena menempatkan “rasionalitas akuntatif’ sebagai panglima. Dalam kajian psikologi menggunakan perspektif Robert J.Stemberg sebagaimana ditulis diatas sebagai membiarkan IQ berkuasa, dan karenanya dinilai memilih penguasa yang buruk (1996).

Lalu persoalannya adalah bagaimana dua persoalan etika politik itu bisa diminimalisir? Dua problem etika tersebut hanya bisa diminimalisir dengan pendekatan yang holistic. Bahwa problem pertama bisa dilakukan dengan analisis utuh tentang praktik-praktik politik nasional yang menjauh dari filosofi berbangsa dan bernegara Indonesia dan melakukan regulasi untuk memperkuat komitmen pada kesepakatan berbangsa dan bernegara. Misalnya menyangkut problem koalisi politik bisa ditelusuri sampai pada pentingnya meningkatkan jumlah persentase parliamentary threshold dari 2,5 % menjadi 4 % atau 5 % untuk menciptakan sistem multi partai sederhana yang cenderung dapat menjalankan pemerintahan yang efektif. Dalam kasus lain misalnya menyangkut pentingnya regulasi baru atau amanden UUD menyangkut Pilkada yang memakan dana yang cukup besar dan melahirkan buruknya etika poitik dalam praktik politik di daerah. Pemilihan kepala daerah dapat diubah polanya dengan pemilihan oleh anggota DPRD dengan dasar budaya politik nasional musyawarah mufakat, khususnya untuk tingkat kabupaten. Hal-hal demikian setidaknya dapat meminimalisir problem etika politik dalam praktik politik baik nasional maupun daerah.

Masalah “rasionalitas akuntatif” yang berkuasa dalam praktek politik elit politk nasional memungkinkan dapat diminimalisir dengan menguatnya kontrol civil society maupun media massa. Problemnya memang ketika media juga menempatkan “rasionalitas akuntatif” dalam pemberitaan politik. Karenanya pers yang mampu memadukan antara idealism pers, kepentingan “rasionalitas akuntatif”(capital), dan kepentingan berbangsa dan bernegara menjadi jalan tengah perlu didiskusikan lebih lainjut.

Ubedilah Badrun Dosen Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

<